Saturday, November 14, 2009

Chapter 2 ( sistem politik islam)


Islam mengandung ajaran yang berlimpah tentang etika dan moralitas kemanusiaan, termasuk etika dan moralitas politik. Karena itu, wacana politik tidak bisa dilepaskan dari dimensi etika dan moralitas. Melepaskan politik dari gatra moral-etis, berarti mereduksi Islam yang komprehensif dan mencabut akar doktrin Islam yang sangat fundamental, yakni akhlak politik. Dengan demikian, muatan etika dalam wacana politik merupakan keniscayaan yang tak terbantahkan.

Dalam sistem sekular, politik lebih didasarkan pada politik Machiavellis yang ditulis dalam buku The Prince. Machiavelli mengajarkan bahwa: (1) kekerasan (violence), brutalitas, dan kekejaman merupakan cara yang diperlukan penguasa; (2) penaklukan total atas musuh-musuh politik dinilai sebagai kebajikan puncak (summum bonum); (3) dalam menjalankan kehidupan politik seseorang harus dapat bermain seperti binatang buas. Karenanya, praktik politik sistem sekular merupakan homo homini lupus; manusia menjadi serigala terhadap manusia yang lain. Slogannya pun adalah, “Kiranya dapat diterima akal bila demi tuntutan profesionalnya, seorang serdadu harus membunuh dan seorang politikus harus menipu” (It is thought that by the necessities of his profession a soldier must kill and politici on lie).

Fakta politik seperti inilah yang menjadikan sebagian kalangan Muslim tertipu hingga menyimpulkan bahwa politik itu kotor. Karenanya, Islam tidak boleh mencampuri politik; Islam harus dipisahkan dari politik. Dakwah Nabi saw. pun didudukkan sebagai dakwah spiritualitas dan moral belaka, bukan dakwah yang bersifat politik.

Islam berbeda dengan itu. Politik dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyâsah, artinya: mengurusi urusan, melarang, memerintah (Kamus al-Muhîth, dalam kata kunci sâsa). Nabi saw. menggunakan istilah politik (siyâsah) dalam salah satu hadisnya:

«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاََ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ»

Jadi, politik artinya adalah mengurusi urusan umat. Berkecimpung dalam dunia politik berarti memperhatikan kondisi kaum Muslim dengan cara menghilangkan kezaliman penguasa dan melenyapkan kejahatan kaum kafir atas mereka. Politik Islam berarti mengurusi urusan masyarakat melalui kekuasaan, melarang dan memerintah, dengan landasan hukum/syariah Islam (MR Kurnia; Al-Jamaah, Tafarruq dan Ikhtilaf, hlm. 33-38).


Islam: Gerakan Keagamaan dan Politik

Sebagai gerakan keagamaan, Islam sudah disepakati oleh semua kalangan. Artinya, Islam merupakan ajaran ritual, spiritual dan moral. Islam mengandung ajaran ritual seperti shalat, zikir, puasa, dll. Islam juga mengajarkan spiritualitas dan moral seperti sabar, tawaduk, istiqamah, berpegang pada kebenaran, amanah, dll.

Siapapun yang menelaah sirah Nabi saw., baik yang ada dalam as-Sunnah maupun al-Quran akan menyimpulkan, bahwa dakwah yang dilakukan oleh Beliau dan para Sahabat, selain bersifat ritual, spiritual dan moral, juga merupakan dakwah yang bersifat politik. Di antara hal-hal yang menunjukkan hal tersebut adalah: Pertama, sebelum diangkat sebagai nabi dan rasul, Muhammad ber-tahanuts di Gua Hira. Namun, setelah dipilih sebagai utusan Allah, Beliau langsung diperintahkan untuk memberikan peringatan di tengah-tengah masyarakat mulai dari keluarga terdekat dan kawan-kawannya. Nabi saw. pun menyebarkan dakwah di tengah-tengah mereka. Beliau bergerak di masyarakat.

Kedua, Rasulullah saw. melakukan pemantapan akidah. Sejak awal, Nabi saw. Memproklamirkan: Lâ ilâha illâ Allâh, Muhammad Rasûlullâh. Dengan syahadat tersebut berarti tidak ada yang wajib disembah, diibadahi dan dipatuhi selain Allah. Menaati Allah haruslah dengan mengikuti utusan-Nya, Muhammad saw. Jadi, syahadat merupakan pengingkaran terhadap thâghût serta keimanan kepada Allah dan Rasul. Ini merupakan deklarasi politik. Karenanya, dapat dipahami mengapa Abu Jahal dan Abu Lahab, misalnya, tidak mau mengucapkannya. Bukan tidak bisa, melainkan mereka tahu apa isi kandungan dan konsekuensinya: kekuasaan mereka untuk menetapkan hukum hilang; hak mereka menetapkan baik-buruk, benar-salah, dan terpuji-tercela yang selama ini mereka miliki pun tidak ada lagi. Semuanya harus ditetapkan oleh wahyu.

Ketiga, dakwah Nabi saw. menyerukan pengurusan masyarakat (ri‘âyah syu’ûn al-ummah). Ayat-ayat Makiyyah banyak mengajari akidah seperti takdir, hidayah dan dhalâlah (kesesatan), rezeki, tawakal kepada Allah, dll. Ratusan ayat berbicara tentang Hari Kiamat (kebangkitan manusia dari kubur, pengumpulan manusia di padang mahsyar, pahala dan dosa, surga dan neraka, dll); tentang pengaturan terkait akhirat seperti nasihat dan bimbingan, membangkitkan rasa takut terhadap azab Allah, serta memberikan semangat untuk terus beramal demi menggapai ridla-Nya.

Selain itu, ratusan ayat al-Quran dan hadits di Makkah dan Madinah diturunkan kepada Nabi tentang pengaturan masyarakat di dunia. Misal: jual-beli, sewa-menyewa, wasiat, waris, nikah dan talak, taat pada ulil amri, mengoreksi penguasa sebagai seutama-utama jihad, makanan dan minuman, pencurian, hibah dan hadiah kepada penguasa, pembunuhan, pidana, hijrah, jihad, dll. Semua ini menegaskan bahwa apa yang didakwahkan Nabi saw. bukan hanya persoalan ritual, spiritual dan moral. Dakwah Nabi saw. berisi juga tentang hal-hal pengurusan masyarakat. Artinya, dilihat dari isinya dakwah Rasulullah saw. juga bersifat politik.

Keempat, Rasulullah melakukan pergulatan pemikiran. Pemikiran dan pemahaman batil masyarakat Arab kala itu dikritisi. Terjadilah pergulatan pemikiran. Akhirnya, pemikiran dan pemahaman Islam dapat menggantikan pemikiran dan pemahaman lama. Konsekuensinya, hukum-hukum yang diterapkan di masyarakat pun berubah.

Rasulullah saw. dengan al-Quran menyerang kekufuran, syirik, kepercayaan terhadap berhala, ketidakpercayaan akan Hari Kebangkitan, anggapan Nabi Isa as. sebagai anak Tuhan, dll. Hikmah, nasihat, dan debat secara baik terus dilakukan oleh Nabi saw. Al-Quran mengabadikan hal ini:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (argumentasi yang kuat) dan nasihat yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah Yang mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia pula yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS an-Nahl [16]:125).

Jelas, ini merupakan aktivitas politik karena merupakan aktivitas ri‘âyah syu’ûn al-ummah, mengurusi urusan rakyat.

Kelima, para pembesar Quraisy banyak menzalimi rakyat, kasar, menghambur fitnah, dan banyak bersumpah tanpa ditepati. Rasulullah saw. dengan tegas menyerang mereka karena kesombongan dan penentangan mereka. Di antara pembesar yang diserang langsung oleh Beliau adalah Abu Lahab dan istrinya (Ummu Jamil). Sementara itu, Walid bin Mughirah diserang dengan menyebutkan ciri, perilaku, dan tindakannya terhadap masyarakat. Misalnya, Nabi saw. menyerang Walid dengan ayat:

وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَهِينٍ، هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ، مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ، عُتُلٍّ بَعْدَ ذَلِكَ زَنِيمٍ، أَنْ كَانَ ذَا مَالٍ وَبَنِينَ، إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ ءَايَاتُنَا قَالَ أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ، سَنَسِمُهُ عَلَى الْخُرْطُومِ

Janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah, yang sangat enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa, yang kaku (kasar), selain dari itu yang tidak diketahui siapa bapaknya karena dia mempunyai banyak harta dan anak. Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami (Allah), ia berkata, “Ini adalah dongengan orang-orang terdahulu.” Kelak akan Kami beri tanda di belalainya (hidungnya). (QS al-Qalam [68]: 10-16).

Selain itu, Nabi saw. menyampaikan wahyu dari Allah yang berisi pembongkaran terhadap tipudaya para penguasa Quraisy itu (QS ath-Thariq [86]: 15-17; al-Anfal [8]: 30). Semua ini merupakan perjuangan politik. Arahnya adalah menghentikan kezaliman pembesar terhadap rakyatnya, seraya menyerukan Islam sebagai keadilan yang menggantikannya.

Keenam, Nabi saw. menentang hubungan-hubungan rusak di masyarakat dan menyerukan Islam sebagai gantinya. Pada saat itu, kecurangan dalam takaran dan timbangan sudah merupakan hal lumrah dalam jual-beli. Rasulullah menentang keras sistem masyarakat seperti ini (QS al-Muthaffifin [83]: 1-6).

Sistem masyarakat yang diterapkan penguasa/pembesar kala itu membiarkan pembunuhan terhadap anak-anak karena takut miskin, khawatir tidak terjamin makan dan kehidupannya. Rasul saw. justru berteriak lantang bahwa tindakan tersebut adalah dosa besar. Beliau menyerukan: tidak perlu takut dan khawatir miskin karena Allahlah yang mengatur rezeki. Perzinaan pun merajalela. Di tengah masyarakat yang mengagungkan pergaulan bebas itu, Nabi saw. mencela perzinaan. Beliau juga menentang keras pembunuhan yang ketika itu merupakan kebiasaan masyarakat yang dilegalkan oleh hukum penguasa. Perilaku para pembesar yang biasa mengambil harta anak yatim ditentang habis-habisan. Kebiasaan rakyat dan penguasa yang sering tidak memenuhi janji pun dilawannya; diluruskan. Lalu diserukan perubahan semua itu dengan syariah Islam (QS al-Isra’ [17]: 31-34).

Jelas, Rasul saw. bergerak di tengah masyarakat, membela kepentingan mereka, menentang aturan dan sistem yang rusak, serta mendakwahkan ajaran Islam sebagai gantinya. Semua ini merupakan aktivitas politik.

Ketujuh, setelah berhijrah dari Makkah ke Madinah, Beliau mendirikan institusi politik berupa negara Madinah. Beliau langsung mengurusi urusan masyarakat. Misal: dalam bidang pendidikan Beliau menetapkan tebusan tawanan Perang Badar dengan mengajari baca-tulis kepada sepuluh orang kaum Muslim pertawanan. Dalam masalah pekerjaan Nabi saw. mengeluarkan kebijakan dengan memberi modal dan menyediakan lapangan pekerjaan berupa pencarian kayu bakar untuk dijual (HR Muslim dan Ahmad). Nabi saw. pernah menetapkan kebijakan tentang lebar jalan selebar tujuh hasta (HR al-Bukhari). Beliau juga mengeluarkan kebijakan tentang pembagian saluran air bagi pertanian (HR al-Bukhari dan Muslim). Begitulah, Nabi saw. sebagai kepala pemerintahan telah memberikan arahan dalam mengurusi masalah rakyat.

Secara langsung, Rasulullah saw. menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai penulis (kâtib) setiap perjanjian dan kesepakatan, Harits bin Auf sebagai pemegang stempel kepala negara (berupa cincin) Nabi saw., Muaiqib bin Abi Fatimah sebagai pendata rampasan perang (ghanîmah), Hudzaifah bin Yaman sebagai kepala pusat statistik hasil buah-buahan di Yaman, dll.

Berdasarkan perilaku dakwah Nabi saw. dan para Sahabatnya di atas, jelaslah, dakwah Beliau tidak sekadar mencakup ritual, spiritual dan moral. Dakwah Beliau juga bersifat politik, yakni mengurusi urusan umat dengan syariah. Karenanya, dakwah Islam haruslah diarahkan seperti yang dilakukan Beliau. Politik tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan dari Islam. Tentu, sekali lagi, politik yang dimaksud bukanlah politik Machiavellis atau sekular.

Dari apa yang dilakukan oleh Nabi saw. jelas terlihat bahwa tujuan gerakan politik Beliau bukanlah untuk diri sendiri atau kelompok. Buktinya, Beliau menolak tawaran utusan Quraisy, Abu Jahal dkk. Padahal segala hal ditawarkan: harta, tahta, wanita, dan kekuasaan. Syaratnya, Beliau menghentikan dakwah untuk menerapkan Islam. Namun, ketika di Madinah Beliau dapat meraih kekuasaan untuk menerapkan seluruh hukum Islam maka Beliau pun menegakkan pemerintahan Islam dengan momentum Baiat Aqabah II. Berbeda dengan saat ditawari Quraisy, kali ini kekuasaan tidak Beliau tolak. Ini menggambarkan dengan terang, bahwa gerakan dakwah politik Rasulullah saw. ditujukan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan Jahiliah menuju penerapan Islam yang penuh cahaya dengan diraihnya kekuasaan dan kekuatan untuk itu. Muara dakwah Nabi saw. adalah penerapan Islam secara total di tengah-tengah masyarakat melalui kekuasaan.

Dengan gerakan dakwah politik, umat dapat meraih kembali kejayaannya. Tanpa gerakan dakwah yang bercorak politik, umat akan terus dininabobokan dan dizalimi oleh pihak lain. Hukum-hukum yang sifatnya pribadi memang masih bisa dilaksanakan sekalipun tanpa kekuasaan; sekalipun tidak sempurna. Namun, hukum-hukum selainnya (sosial, ekonomi, pendidikan, budaya, dll) tidak dapat diterapkan. Tanpa gerakan dakwah politik kekuasaan untuk menerapkan syariah Islam tidak dapat diraih. Konsekuensinya, penerapan Islam secara kâffah pada individu, keluarga, masyarakat dan negara sulit dibayangkan terlaksana.

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.