Wednesday, September 29, 2010

Ummu Sulaim, si Cerdas yang dijamin Masuk Surga



Ia seorang wanita keturunan bangsawan dari kabilah Anshar suku Khazraj yangmemiliki sifat keibuan. Selain itu ia juga berotak cerdas penuh kehati-hatian dalam bersikap, dewasa dan berakhlak mulia, sehingga dengan sifat-sifatnya yang istimewa itulah pamannya yang bernama Malik bin Nadhar melirik dan mempersuntingnya. Rumaisha Ummu Sulaim binti Milhan bin Khalid bin Zaid bin Malik adalah satu dari wanita saliha yang memiliki kedudukan istimewa di mata Rasulullah.


Pada saat Rasululllah menyerukan dakwah menuju tauhid, tanpa keraguan lagi Ummu Sulaim langsung memeluk agama Islam, dan tidak peduli akan gangguan dan rintangan yang kelak akan dihadapinya dari masyarakat jahili paganis.


Namun suaminya, Malik bin Nadhir sangat marah saat mengetahui istrinya telah masuk Islam. Dengan dada gemuruh karena emosi, ia berkata pada Ummu Sulaim: “Engkau kini telah terperangkap dalam kemurtadan!”


“Saya tidak murtad. Justru saya kini telah beriman,” jawab Ummu Sulaim dengan mantap. Dan kesungguhan Ummu Sulaim memeluk agama Allah tidak hanya sampai di situ. Ia juga tanpa bosan berusaha melatih anaknya, Anas, yang masih kecil untuk mengucapkan dua kalimat syahadat.


Melihat kesungguhan istrinya serta pendiriannya yang tak mungkin tergoyahkan membuat Malik bin Nadhir bosan dan tak mampu mengendalikan amarahnya. Hingga ia kemudian bertekad untuk meninggalkan rumah dan tidak akan kembali sampai istrinya mau kembali kepada agama nenek moyang mereka. Ia pun pergi dengan wajah suram. Sayangnya, di tengah jalan ia bertemu dengan musuhnya, kemudian ia dibunuh..


Saat mendengar kabar kematian suaminya dengan ketabahan yang mengagumkan ia berkata, “Saya akan tetap menyusui Anas sampai ia tak mau menyusu lagi, dan sekali-kali saya tak ingin menikah lagi sampai Anas menyuruhku.”


Setelah Anas agak besar, Ummu Sulaim dengan malu-malu mendatangi Rasulullah dan meminta agar beliau bersedia menerima Anas sebagai pembantunya. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam pun menerima Anas dengan rasa gembira. Dan dari semua keputusannya itu, Ummu Sualim kemudian banyak dibicarakan orang dengan rasa kagum.


Dan seorang bangsawan bernama Abu Thalhah tak luput memperhatikan hal itu. Dengan rasa cinta dan kagum yang tak dapat disembunyikan tanpa banyak pertimbangan ia langsung melangkahkan kakinya ke rumah Ummu Sulaim untuk melamarnya dan menawarkan mahar yang mahal. Namun di luar dugaan, jawaban Ummu Sulaim membuat lidahnya menjadi kelu dan rasa kecewanya begitu menyesakkan dada, meski Ummu Sulaim berkata dengan sopan dan rasa hormat,


“Tidak selayaknya saya menikah dengan seorang musyrik, ketahuilah wahai Abu Thalhah bahwa sesembahanmu selama ini hanyalah sebuah patung yang dipahat oleh keluarga fulan. Dan apabila engkau mau menyulutnya api niscaya akan membakar dan menghanguskan patung-patung itu.”


Perkataan Ummu Sulaim amat telak menghantam dadanya. Abu Thalhah tak percaya dengan apa yang ia lihat dan ia dengar. Namun itu semua merupakan realita yang harus ia terima. Abu Thalhah bukanlah orang yang cepat putus asa. Dikarenakan cintanya yang tulus dan mendalam terhadap Ummu Sulaim, di lain kesempatan ia datang lagi menjumpai ibunda Anas dan mengiming-iming mahar yang lebih wah serta kehidupan kelas atas.


Sekali lagi, Ummu Sulaim muslimah yag cerdik dan pintar ini tetap teguh dengan keimanannya. Sedikit pun ia tidak tergoda oleh kenikmatan dunia yag dijanjikan oleh Abu Thalhah. Baginya kenikmatan Islam akan lebih langgeng daripada seluruh kenikmatan dunia. Masih dengan penolakanya yang halus ia menjawab, “Sesungguhnya saya tidak pantas menolak orang yang seperti engkau, wahai Abu Thalhah. Hanya sayang engkau seorang kafir dan saya seorang muslimah. Maka tak pantas bagiku menikah denganmu. Coba Anda tebak apa keinginan saya?”
“Engkau menginginkan dinar dan kenikmatan,” kata Abu Thalhah. “Sedikitpun saya tidak menginginkan dinar dan kenikmatan. Yang saya inginkan hanya engkau segera memeluk agama Islam,” tukas Ummu Sualim tandas.


“Tetapi saya tidak mengerti siapa yang akan menjadi pembimbingku?” Tanya Abu Thalhah. “tentu saja pembimbingmu adalah Rasululah sendiri,” tegas Ummu Sulaim.


Maka Abu Thalhah pun bergegas pergi menjumpai Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam yang mana saat itu tengah duduk bersama para sahabatnya. Melihat kedatangan Abu Thalhah, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam berseru, “Abu Thalhah telah datang kepada kalian, dan cahaya Islam tampak pada kedua bola matanya.”


Ketulusan hati Ummu Sulaim benar-benar terasa mengharukan relung-relung hati Abu Thalhah. Ummu Sulaim hanya akan mau dinikahi dengan keislamannya tanpa sedikitpun tegiur oleh kenikmatan yang dia janjikan. Wanita mana lagi yang lebih pantas menjadi istri dan ibu asuh anak-anaknya selain Ummu Sulaim? Hinnga tanpa terasa di hadapan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam lisan Abu Thalhah basah mengulang-ulang kalimat, “Saya mengikuti ajaran Anda, wahai Rasulullah. Saya bersaksi, bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusanNya.”


Ummu Sulaim tersenyum haru dan berpaling kepada anaknya Ana, “Bangunlah wahai Anas.”
Menikahlah Ummu Sulaim dengan Abu Thalhah, sedangkan maharnya adalah keislaman suaminya. Hingga Tsabit –seorang perawi hadits- meriwayatkan dari Anas, “Sama sekali aku belum pernah mendengar seorang wanita yang maharnya lebih mulia dari Ummu Sulaim, yaitu keislaman suaminya.” Selanjutnya mereka menjalani kehidupan rumah tangga yang damai dan sejahtera dalam naungan cahaya Islam.


Abu Thalhah sendiri adalah seorang konglomerat nomor satu dari kabilah Anshar. Dan harta yang paling dia cintai yaitu tanah perkebunan “Bairuha”. Tanah perkebunan itu letaknya persis menghadap masjid. Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah minum air segar yang ada di lokasi itu, sampai kemudian turun ayat yang berbunyi:
“Sekali-kali belum sampai pada kebaktian yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (Ali Imran:92)


Mendengar ayat ini, kontan Abu Thalhah menghadap Rasulullah. Setelah membacakan ayat tadi Abu Thalhah melanjutkan, “Dan sesungguhnya harta yang paling saya cintai adalah tanah perkebunan Bairuha. Saat ini tanah itu saya sedekahkan untuk Allah dengan harapan akan mendapatkan ganjaran kebaikan dari Allah kelak. Maka pergunakanlah sekehendak Anda, wahai Rasulullah.”


Dan bersabdalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, “Bakh, bakh itu adalah harta yang menguntungkan dan saya telah mendengar perkataanmu tentang harta itu dan saya sekarang berpendapat sebaiknya engkau bagi-bagikan tanah itu untuk keluarga kalian.”


Abu Thalhah pun menuruti perintah Rasululah dan membagi-bagikan tanah itu kepada sanak familinya dan anak keturunan pamannya. Tak berapa lama Alah memuliakan seorang anak laki-laki kepada pasangan berbahagia itu dan diberi nama Abu Umair. Suatu kali burung kesayangan Abu Umair mati sehingga Abu Umair menangis dengan sedih. Saat itu lewatlah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam di hadapannya. Melihat kesedihan Abu Umair, Rasulullah segera menghibur dan bertanya, “Wahai Abu Umair apa gerangan yang diperbuat oleh burung kecil?”
Namun takdir Allah memang tak mampu diduga. Allah subhanahu wa ta’ala kembali ingin menguji kesabaran pasangan sabar ini. Tiba-tiba saja, bocah mungil mereka Abu Umair jatuh sakit sehingga ayah dan ibunya dibuat cemas dan repot. Padahal ia adalah putra kesayangan Abu Thalhah. Jika ia pulang dari pasar, yang pertama kali ditanyakan adalah kesehatan dan keadaan putranya dan ia belum mereasa tenang bila belum melihatnya. Tepat pada waktu sholat, Abu Thalhah pergi ke masjid. Tak lama setelah kepergiannya, putranya Abu Umair menghembuskan nafas terakhir.


Ummu Sulaim memang seorang ibu mukminah yang sabar. Ia menerima peristiwa itu dengan sabar dan tenang. Ummu Sulaim lantas menidurkan putranya di atas kasur dan berujar berulang-ulang, “Innaa lillahi wa inna ilaihi rrji’un.” Dengan suara berbisik ia berkata kepada sanak keluarganya, “Jangan sekali-kali kalian memberitahukan perihal putranya pada Abu Thalhah sampai aku sendiri yang memberitahunya.”


Sekembalinya Abu Thalhah, alhamdulillah, air mata kesayangan Ummu Sulaim telah mongering. Ia menyambut kedatangan suaminya dan siap menjawab pertanyaannya.


“Bagaimana keadaan putraku sekarang?”
“Dia lebih tenang dari biasanya.” Jawab Ummu Sulaim dengan wajar.
Abu Thalhah merasa begitu letih hingga tak ada keinginan menengok putranya. Namun hatinya turut berbunga-bunga mengira putranya dalam keadaan sehat wal afiat. Ummu Sulaim pun menjamu suaminya dengan hidangan yang istimewa dan berdandan serta berhias dengan wangi-wangian, membuat Abu Thalhah tertarik dan mengajaknya tidur bersama.


Setelah suaminya terlelap, Ummu Sulaim memuji kepada Allah karena berhasil menentramkan suaminya perihal putranya, karena ia menyadari Abu Thalhah telah mengalami keletihan seharian, sehingga ia amembiarkan suaminya tertidur pulas.


Menjelang subuh, baru Ummu Sulaim berbicara pada suaminya, seraya bertanya, “Wahai Abu Thalhah apa pendapatmu bila ada sekelompok orang meminjamkan barang kepada tetangganya lantas ia meminta kembali haknya. Pantaskan jika si peminjam enggan mengembalikannya?”
“Tidak,” jawab Abu Thalhah.
“Bagaimana jika si peminjam enggan mengembalikannya setelah menggunakannya?” “Wah, mereka benar-benar tidak waras,” Abu Thalhah menukas.
“Demikian pula putramu. Allah meminjamkannya pada kita dan pemiliknya telah mengambilnya kembali. Relakanlah ia,” kata Ummu Sulaim dengan tenang. Pada mulanya Abu Thalhah marah dan membentak, “Kenapa baru sekarang kau beritahu, dan membiarkan aku hingga aku ternoda (berhadats karena berhubungan suami istri)?”


Dengan rasa tabah Ummu Sulaim tak henti-henti mengingatkan suaminya hingga ia kembali istirja dan memuji Allah dengan hati yang tenang.


Pagi-pagi buta sebelum cahaya matahari kelihatan penuh, Abu Thalhah menjumpai Rasulullah shollallahu ’alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian itu. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan barakah pada malam pengantin kalian berdua.”


Benar saja Ummu Sulaim lantas mengandung lagi dan melahirkan seorang anak yang diberi nama Abdullah bin Thalhah oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. Dan subhanallah barakahnya ternyata tak hanya sampai di situ. Abdullah kelak di kemudian hari memiliki tujuh orang putra yang semuanya hafizhul Qur’an. Keutamaan Ummu Sulaim tidak hanya itu, Allah subhanahu wa ta’ala juga pernah menurunkan ayat untuk pasangan suami istri itu dikarenakan suatu peristiwa. Sampau Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam menggembirakannya dengan janji surga dalam sabdanya


Aku memasuki surga dan aku mendengar jalannya seseorang. Lantas aku bertanya “Siapakah ini?” Penghuni surga spontan menjawab “Ini adalah Rumaisha binti Milhan, ibu Anas bin Malik.”

Friday, September 24, 2010

Hantarkan Aku kesana...


Gejolak yang membuncah memenuhi dada ini…
Bersama asa yang rindu mendalam…
Dari hamba yang berlumur dosa dan kealpaan…
Berharap dapat bersua dengan-Mu…
Wahai Rabbul`alamiin…

Dengan taubat ku berharap…
Kuatkan jiwa ini mendatanginya…
Kokohkan langkah kaki ini menempuhnya…
Azzamkan niat ini dalam mencapainya…
Ikhlaskan hati ini menjalaninya…

Aku rindu…aku rindu…aku rindu…
Rindu berjumpa dengan-Mu dalam SYAHADAH…
Rindu bersua dengan-Mu dalam IMAN…
Rindu bersama-Mu dalam TAUHID…
Rindu indahnya hidup dalam naungan ridha-Mu…
Syari`at ISLAM…Daulah ISLAM…Khilafah ISLAM

Duhai Alloh yang tiada sekutu bagi-Mu…
Hantarkanlah kerinduanku ini…
Mudahkanlah…
Lapangkanlah…
Tuk raih cita-cita…
KEMULIAAN HIDUP DALAM ISLAM, ATAU
KESYAHIDAN DALAM PERJUANGAN

Aku berharap termasuk yang Kau hantarkan….
Ridhai dan kabulkanlah…
Amien ya Alloh, ya Rabbal`alamiin…

Kehancuran Daulah Khilafah - punca kepada seluruh tragedi di dunia Islam

Mustafa Kamal Attaturk laknatullah 'alaih


Lebih 80 tahun yang lalu, pada tanggal 28 Rajab 1342H (3 Mac 1924), sebuah kelompok berlatar belakang Yahudi-Masonis, yang dipimpin oleh Mustafa Kamal Attaturk laknatullah, telah mengisytiharkan pembubaran Daulah Khilafah (Khilafah Utsmaniyyah) dan menggantikannya dengan sebuah negara sekular Turki.

Setelah 13 abad keemasan, Daulah Khilafah, yang merupakan kesinambungan dari Daulah Islam (Negara Islam) yang di bangun oleh Rasulullah saw, di Madinah telah dihancurkan melalui tangan seorang manusia terkutuk Mustafa Kamal. Bermula dari tanggal 28 Rajab 1342H itu, maka Daulah Khilafah yang selama ini telah membawa Islam ke seluruh penjuru alam telah lenyap dari muka bumi. Bermula dari tarikh itu juga, lenyaplah sudah sebuah Daulah Islam yang selama lebih 1400 tahun telah memberikan rahmat dan kedamaian kepada dunia amnya dan umat Islam khasnya, musnahnya sebuah Daulah Islam yang selama ini menghilangkan seluruh belenggu yang memisahkan manusia, seperti nasionalisme, patriotisme dan juga rasisme.

Tidak terhenti di situ, sebagai seorang Muslim kita harus faham bahawa penghancuran Daulah Khilafah adalah merupakan hasil sebuah senario dan rencana berabad-abad lamanya dari kaum kuffar untuk melawan Islam dan kaum Muslimin. Contoh yang nyata bahawa ini adalah perancangan jahat mereka adalah tragedi Perang Salib pada abad ke-12 serta invasi tentera Tartar ke atas Baghdad dan Damaskus pada 1258. Meskipun serangan kaum kuffar ini “berhasil”, namun tak berapa lama selepas itu, kaum Muslimin, dengan izin Allah, mampu bangkit dan mengalahkan mereka semula. Bahkan kaum Muslimin berhasil membawa Islam sampai ke benteng-benteng negara kuffar hingga hampir menembusi jantung Eropah

Dari kekalahan demi kekalahan yang mereka alami, maka segeralah kaum kuffar ini mengkaji dan cuba memahami mengapa kaum Muslimin selalu mampu merebut kembali setiap tanah yang mereka taklukkan. Oleh karena itu, kaum kuffar ini mulai mengganti taktik konvensional, yang berupa invasi militer, lalu mencuba pakai strategi yang lebih berbahaya dan dahsyat. Mereka lalu melakukan invasi ideologi dan missionaris; menanamkan rasisme dan nasionalisme; mengukuhkan agen-agen mereka dari kalangan Muslim sendiri; dan mengkolonisir negeri-negeri Islam yang jauh tempatnya dari pusat Daulah. Metode baru ini terbukti sangat efektif, sehingga akhirnya mereka berjaya menghancurkan Daulah Khilafah, tepatnya pada 28 Rajab 1342H.

Arti Penghancuran Khilafah dan Kesan-kesannya

Hancurnya Daulah Khilafah memiliki konsekuensi yang amat besar, yakni tidak diterapkannya aturan-aturan Islam, dan berlakunya hukum-hukum kufur buatan manusia yang telah mengakibatkan kemurkaan dan azab Allah. Allah Swt. berfirman:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

“Siapa saja yang berpaling dari Peringatan-Ku, sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.” (TMQ Thaha [20]:124).

Negara Khilafah adalah negara Islam yang selama ini membawa risalah Islam ke seluruh bangsa-bangsa di dunia dengan jalan dakwah dan jihad. Hancurnya Negara Khilafah telah mengakibatkan terhentinya penyebaran Islam dan futuhat (pembukaan negeri-negeri baru). Hancurnya negara Khilafah bererti semakin mudahnya jalan kaum kafir untuk menyebarkan ajaran dan pemikiran sesat mereka ke atas anak-anak kaum Muslimin di seluruh dunia Islam.

Daulah Khilafah adalah negara Islam, yang menyatukan seluruh kaum Muslimin di bawah satu payung pemerintahan. Hancurnya Daulah Khilafah juga telah mengakibatkan perpecahan kaum Muslimin berserta negeri-negeri mereka kepada negara-negara kecil yang tidak bersatu dan tidak berdaya. Saat ini lebih dari 50 buah negara kaum Muslimin yang tercerai berai telah berdiri dengan lemahnya! Hal tersebut mengakibatkan semakin kuatnya nasionalisme, rasisme, dan patriotisme di kalangan kaum Muslimin, serta hilangnya ikatan ukhuwwah yang di dasarkan atas satu kesatuan akidah. Allah swt. berfirman:

إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ

“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kalian semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu. Karena itu, sembahlah Aku. (TMQ al-Anbiya [21]:92).

Daulah Khilafah adalah negara Islam yang menjaga tanah-tanah kaum Muslimin dan kesatuan umat Islam. Hancurnya Daulah Khilafah juga telah mengakibatkan kolonisasi kaum kafir terhadap negeri-negeri umat Islam dan berdirinya pangkalan-pangkalan militer di negeri kita semua. Palestin adalah contoh yang nyata. Daulah Khilafah-lah yang selama ini menjaga Palestin dari invasi Yahudi. Namun, saat negara Islam hancur, Palestin terus berhasil diduduki oleh Yahudi laknatullah. Rasulullah saw bersabda:

«إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ»

“Sesungguhnya Imam (Khalifah) itu laksana perisai; orang-orang berperang dengannya dan dilindungi olehnya.” (HR Muslim).

Negara Khilafah adalah negara Islam yang menjaga darah dan harta kaum Muslimin serta menjaga kekayaan negara dengan melaburkannya untuk urusan Islam dan kaum Muslimin semata-mata. Hancurnya Negara Khilafah telah mengakibatkan adanya perompakan oleh penguasa-penguasa Muslim yang zalim dan khianat, berleluasanya kemiskinan, banyaknya huru-hara dan kemaksiatan dalam negara, berleluasanya rompakan, pencurian, perzinaan, diskriminasi, eksploitasi dan melayangnya segala kekayaan umat Islam ke tangan orang-orang kafir dan kepada penguasa-penguasa pengkhianat umat. Perang saudara dan tertumpahnya darah sesama Muslim silih berganti. Jumlah korban mencecah jutaan nyawa hasil perbalahan sesama sendiri. Sifat persaudaraan sudah hilang, ketakutan kepada Allah sudah musnah, kaum Muslimin hidup hanya untuk mengejar kekayaan dan benar-benar takut untuk mati.

Wahai kaum Muslimin! Daulah Khilafah adalah Daulah Islam. Setiap individu warga negara yang pernah hidup di dalamnya merasa aman dan tenteram. Keluarga, kekayaan, harga diri, martabat, dan kehormatan mereka dijamin oleh Negara. Hancurnya Negara Khilafah telah membawa kepada segala kehancuran umat Islam seperti mana yang kita sedang saksi dan rasakan sekarang. Tidak ada lagi keamanan dan keselamatan, yang ada malah ketakutan dan kesengsaraan. Semua ini merupakan akibat aturan-aturan Islam yang melindungi seluruh individu sudah tidak diterapkan, malah diganti dengan hukum kufur penjajah dan hukum kufur rekaan tangan-tangan manusia Muslim itu sendiri.

Pasca hancurnya negara Khilafah, orang-orang kafir mengekang seluruh negara umat Islam dan mengendalikan semua urusannya, baik aspek pemerintahan, politik, media, institusi pendidikan, ekonomi, bahkan kehidupan publik dan rumah tangga sekalipun telah berjaya di serapkan ideologi Kapitalis kuffar ini.

Apa respons anda?

Bagi kaum Muslimin yang ikhlas, yang hidupnya hanya untuk Allah dan yang matinya hanya untuk Allah, mereka melihat dan memahami bahawa segala penderitaan yang dialami oleh umat Islam setelah hancurnya Khilafah, ini adalah permulaan kepada sebuah perjalanan dan perjuangan yang akan mengantarkan mereka kepada syurga Allah. Sebuah perjuangan yang mulia untuk mengembalikan semula kehidupan Islam dengan jalan menegakkan kembali Daulah Khilafah yang akan mengatur semula dunia ini dengan hukum Allah dan RasulNya. Ya inilah perjuangan yang akan dilakukan oleh pemuda-pemuda Muslim yang ikhlas, yang tidak takut kecuali hanya kepada Allah. Mereka berjuang siang dan malam bagi mengejut dan membangkitkan saudara-saudara mereka yang terleka dan terlena dengan keindahan dunia yang bersifat sementara ini. Kaum Muslimin yang ikhlas ini berjuang untuk menerapkan semula sebuah kewajipan agung yang telah membawa kemuliaan kepada umat Islam satu ketika dahulu. Mereka telah menyahut seruan Allah dan seruan RasulNya untuk mengembalikan semula keagungan Islam sebagaimana yang telah dirintis oleh Rasulullah 1400 tahun yang lampau. Dan para pemuda Muslim ini yakin dengan janji dan kemenangan dari Allah dalam perjuangan mereka. Justeru, mereka menyeru agar anda semua menyahut perintah Allah dan Rasul untuk menegakkan semula Daulah Khilafah ala minhaj nubuwwah…

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا ِللهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila dia menyeru kalian pada sesuatu yang memberikan kehidupan kepada kalian. (QS al-Anfal [8]: 24).

Dimanakah al-Mu’tashim untuk Menghalangi Pembakaran al-Quran di Amerika?



Media massa memberitakan bahwa seorang pendeta yang disebut Tery Jones, seorang yang hina diusir oleh teman-temannya dari gereja Jerman. Sebelumnya ia telah divonis bersalah oleh pengadilan Jerman dan divonis bersalah telah melakukan manipulasi. Pendeta Tery Jones bertekad membakar mushhaf al-Quran al-Karim bersama dengan pendukungnya yang tidak lebih dari puluhan orang di Dove World Outreach Center sebuah gereja di Florida pada hari Sabtu dalam peringatan 11 September 2001. Sebagian pejabat barat meneteskan air mata penyesalan atas rencana perbuatan pendeta Jones itu untuk menampakkan protes dan kecaman mereka terhadap perbuatan itu seraya menegaskan bahwa mereka menghormati agama Islam.

Orang yang memperhatikan sejarah hubungan barat dengan Islam akan menemukan bahwa politik metodologis yang ditempuh sejak berabad-abad dan diterapkan oleh persekutuan kekuasaan gereja dengan kekuasaan politik bertujuan menciptakan kebencian yang berurat berakar di dalam hati barat terhadap Islam dan pemeluknya.

Contoh paling jelas dari hal itu adalah sikap Kanselir Jerman Angela Merkel yang menggambarkan rencana pembakaran al-Quran hari Sabtu dalam peringatan 11 September itu sebagai “sama sekali tidak menghormati, ofensif dan salah”. Ia mengatakan bahwa kebebasan “selalu berkaitan dengan tanggungjawab”.

Berkaitan dengan ucapannya itu, maka dahulu ia memberi penghormatan kepada penjahat Denmark yang menistakan Nabi saw ketika menyebarkan kartun penghinaan, ucapannya itu dikeluarkan dalam perayaan Rabu sore tanggal 8 September 2010 di depan federasi A 100 di depan berbagai media massa di kota Postdam Jerman. Kenyataannya, pendeta Jones itu, seandainya ia tidak mendapati semua dukungan dari berbagai organisasi berkuasa dan media-media massa yang menjadi kepanjangan tangan mereka yang menguatkan api kebencian dan kedengkian terhadap Islam dan kaum muslim, niscaya tidak ada seorangpun di dunia yang mendengarkan kedunguannya. Akan tetapi, langkah Jones itu sebenarnya bergerak dalam melayani politik imperialisme barat, di mana Amerika menghadapi serangkaian krisis yang ia tidak bisa keluar dari krisis itu kecuali di atas jasad dan darah umat Islam dan perampokan kekayaan mereka. Dari sini ada kebutuhan terus menerus untuk menciptakan hantu dan monster bahaya Islami setelah runtuh dan lenyapnya bahaya komunisme.

Pernyataan Merkel yang bernada tinggi di depan media massa itu merupakan bukti terbesar atas kemunafikan Merkel dan kemunafikan politik barat. Kemunafikan itu hanya bisa diimbangi oleh kemunafikan dan kebohongan pernyataan para pejabat Amerika bahwa mereka menghormati Islam, bahkan sebagian dari mereka pergi menghadiri buka puasa ramadhan.

Jhon Brennan penasehat senior Obama untuk urusan terorisme menyatakan dan ia memeriksa lembaran-lembaran dokumen strategi keamanan yang baru yang diumumkan oleh presiden Obama pada akhir bulan Mei lalu bahwa Amerika Serikat “tidak menganggap dirinya sedang berperang melawan Islam”. Ia mengklaim “kami tidak akan dan tidak akan pernah selamanya berada dalam perang melawan Islam”.

Adapun terbunuhnya ratusan ribu kaum muslim baik laki-laki, perempuan dan anak-anak di Irak, Afganistan, Palestina dan Lebanon maka kami tidak tahu semua itu dianggap apa oleh Mr. Brennan? Bisa jadi ia tidak menganggapnya lebih dari takdir (biaya) tak terelakkan (manifest destiny) -ungkapan Amerika sebanding dengan “beban laki-laki kulit putih” (The White man Burden), sebuah ungkapan Inggris yang menjustifikasi pembangunan kekaisaran Inggris di atas jutaan korban selama invasi imprialisme pada abad ke sembilan belas-. Perang terhadap Islam dan kaum muslim tidak pernah berhenti sejak Nabi saw diutus. Hal itu ditegaskan oleh mantan presiden AS, Bush, dengan menggambarkan sebagai “perang salib”. Saat ini kita hidup dalam bagian-bagian yang mengerikan dalam bentuk pendudukan, pembunuhan, pencacian Nabi kekasih kita, pembakaran al-Quran al-Karim, pelarangan hijab dan syiar-syiar Islam lainnya. Maha benar Allah SWT yang berfirman:

قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآياتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ

Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. (QS Ali Imran [3]: 118)

Wahai Kaum Muslim

  • Beredar dalam ucapan sebagian orang bahwa perbuatan orang rendahan itu menghinakan dan merendahkan dia dan kaumnya serta menelanjangi aib dan kemunafikan peradaban barat. Meski perkataan itu benar, namun itu bukan pokok bahasannya. Pokok bahasannya adalah hukum syara’ yang wajib ditebus oleh kaum muslim dengan darah dan nyawa, dan yang wajib menghalangi kelancangan orang-orang hina terhadap kehormatan agama bahkan kehormatan kaum muslim sebagaimana yang terjadi dalam kejadian pelanggaran yang dilakukan oleh seorang Yahudi terhadap kehormatan seorang wanita. Hal itu merupakan pelanggaran perjanjian bani Qainuqa’ dengan Rasulullah saw, maka Rasul pun mengusir mereka dari Madinah Munawarah.

  • Jika kaum muslim sibuk “berkoar” dibelakang tuan mereka yang ada di istana-istana barat dari pada membela agama Allah, bahkan mereka justru berlomba dalam memerangi Allah dan Rasul-Nya untuk menyenangkan Amerika dalam apa yang disebut perang melawan terorisme, maka kewajiban syar’inya adalah umat wajib mencabut para penguasa itu dan selanjutnya membaiat seorang imam yang memerintah menurut Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dan menerapkan hukum-hukum syara’, melindungi kemuliaan kaum muslim dan mempertahankan kehormatan dan kemuliaan mereka, agar orang-orang hina tidak berani lancang terhadap mereka.

  • Kewajiban terendah dan segera bagi umat Islam seluruhnya adalah hendaknya mereka tidak tidur hingga para duta negara-negara imperialis diusir dari negeri-negeri kita. Dan hendaknya mereka mengumumkan jihad untuk mengusir semua pengaruh militer barat agressor di negeri-negeri kaum muslim. Kaedah syar’i menyatakan “suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib”. Dan bahwa hal itu tidak akan sempurna di bawah penguasa yang menjual diri mereka kepada setan, maka Islam mewajibkan untuk mencabut kekuasaan mereka hari ini, bukan besok; dan membaiat seorang penguasa yang memerintah menurut apa yang telah diturunkan oleh Allah, menjunjung tinggi panji jihad, memimpin armada kaum muslim untuk membebaskan negeri-negeri yang diduduki di Irak, Afganistan, Palestina dan lainnya. Juga mengambil langkah tegas yang membuat para penguasa negara-negara barat berpikir ulang seribu kali sebelum berani lancang terhadap kehormatan dan syiar-syiar Islam baik dalam bentuk pembangunan masjid atau pelaksanaan kewajiban syar’i dalam berhijab dan lainnya. Pada saat itu seorang muslim tidak perlu hidup dalam kerendahan dan ketidakadilan di masyarakat barat yang menyerang agamanya pagi dan petang.

Allah SWT berfirman:

كَتَبَ اللَّهُ لأغْلِبَنَّ أَنَا وَرُسُلِي إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ

Allah telah menetapkan: “Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang”. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS Mujadilah [58]: 21)

Utsman Bakhash

Direktur Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir

(sumber : Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir; No : 1431 H / 13; Tanggal: 30 Ramadhan 1431 H / 09 September 2010 M)

DO'A SENJATA KAUM MUSLIMIN



Kaum muslimin hamba-hamba Allah yang dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala, merupakan perkara yang telah diketahui oleh kaum muslimin, bahkan tidak samar lagi bagi seorang mukmin yang benar-benar beriman kepada Allah dan rasul-Nya, bahawa do’a adalah ibadah dari sekian ibadah-ibadah yang Allah perintahkan kepada hanba-hamba-Nya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Berdo’alah kepadaKu pasti Aku kabulkan bagi kalian.” (Al-Mu’min: 60)

dan juga firman-Nya: “Jika hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku maka katakanlah bahwa Aku dekat (terhadap hamba-Nya) dan Aku mengabulkan do’a orang yang berdo’a, jika mereka berdo’a kepada-Ku.” (Al-Baqarah: 186)

Dari dua ayat diatas jelas adanya perintah dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada para hamba-Nya agar berdo’a hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala saja. Hal ini kerana do’a merupakan ibadah yang agung. Bahkan do’a merupakan ibadah yang sangat penting, yang mana dengan ibadah do’a tersebut menunjukkan bahawa hamba yang berdo’a tersebut benar-benar lemah dan senantiasa sangat memerlukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Juga, dengan berdo’a kepada Allah subhanahu wa ta’ala menunjukkan betapa rendahnya kedudukan hamba tersebut di hadapan-Nya, serta sangat memerlukan terhadap rahmat serta kasih sayang-Nya.

Sebening Air Mata

Yakinlah...


Tika ini,
langkah terasa payah,
nafas terasa lelah,
hati teramat gelisah,
menghadapi ujian yang Maha Esa..

Kalbuku,
yakinlah pada janji ar-Rahim,
kau tak pernah sendiri,
tidak mungkin jua terasa sunyi,
mustahil jua tandus tanpa cinta,
kerana kasih Nya sentiasa ada buatmu…

Nuraniku,
tabahlah kau menjamah getir ujian buatmu,
teguhlah kau terus berdiri,
kerana kau pasti mampu hadapinya,
itu janji Tuhan yang Esa…

Penawar,
biar perih terasa mengejar cinta Yang Esa,
dari terleka mencari fatamorgana yang fana,
berimanlah ini terbaik untukmu,
segala tersurat sudah,
kerana Dia Khalidmu,
Maha mengetahui segala sesuatu,
pasti ada sebabnya setiap kisah hidupmu….

Monday, September 6, 2010

NIZAMUL ISLAM-Jalan Menuju Iman



BAB 1: JALAN MENUJU IMAN
oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani

Bangkitnya manusia tergantung pada pemikirannya tentang hidup
1), alam semesta, dan manusia, serta hubungan ketiganya dengan Zat yang ada sebelum alam kehidupan dan alam yang ada sesudah kehidupan dunia. Oleh kerana itu, harus ada perubahan yang mendasar dan menyeluruh terhadap pemikiran manusia dewasa ini, untuk kemudian diganti dengan pemikiran lain agar ia mampu bangkit. Sebab, pemikiranlah yang membentuk mafahim
2) terhadap segala sesuatu serta yang memperkuatnya. Selain itu, manusia selalu mengatur tingkah lakunya di dalam kehidupan ini sesuai dengan mafahim-nya terhadap kehidupan. Sebagai contoh, mafahim seseorang terhadap orang yang dicintainya akan membentuk perilaku terhadap orang tersebut, yang nyata-nyata berlawanan terhadap orang lain yang dibencinya, dimana ia memiliki mafahim kebencian terhadapnya. Begitu juga akan berbeza terhadap orang yang sama sekali tidak dikenalnya, dimana ia tidak memiliki mafhum apapun terhadap orang tersebut. Demikianlah, tingkah laku manusia selalu berkaitan erat dengan mafahim yang dimilikinya.

Maka dari itu, apabila kita hendak mengubah tingkah laku manusia yang rendah menjadi luhur, tidak ada jalan lain kecuali harus mengubah mafhum-nya terlebih dahulu. Dalam hal ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :



Satu-satunya jalan untuk mengubah mafahim seseorang adalah dengan mewujudkan suatu pemikiran tentang kehidupan dunia sehingga dapat terwujud mafahim yang benar akan kehidupan tersebut pada dirinya. Namun, pemikiran seperti ini tidak akan melekat erat dan memberikan hasil yang bererti, kecuali jika terbentuk dalam dirinya pemikiran tentang alam semesta, manusia, dan hidup; tentang Zat yang ada sebelum kehidupan dunia dan alam yang ada sesudahnya; disamping juga keterkaitan kehidupan dunia dengan Zat yang ada sebelumnya dan alam yang ada sesudahnya. Semua itu dapat dicapai dengan memberikan kepada manusia pemikiran menyeluruh dan sempurna tentang apa yang ada di balik ketiga unsur utama tadi. Sebab, pemikiran menyeluruh dan sempurna seperti ini merupakan landasan berfikir (al-qa’idatul fikriyah) yang dapat melahirkan seluruh pemikiran cabang tentang kehidupan dunia. Memberikan pemikiran yang menyeluruh mengenai ketiga unsur tadi merupakan pemecahan al-uqdatul kubra

3) Pada diri manusia. Apabila al-uqdatul kubra ini diurai, maka terurailah berbagai permasalahan lainnya, kerana seluruh masalah kehidupan pada dasarnya merupakan cabang dari al-uqdatul kubra tadi. Namun demikian, pemecahan tersebut tidak akan membawa kita kepada kebangkitan yang benar, kecuali apabila pemecahan itu sendiri adalah benar, iaitu pemecahan yang sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal, dan memberikan ketenangan hati.

Pemecahan yang benar itu tidak akan dapat ditempuh kecuali dengan al-fikrul mustanir --iaitu pemikiran yang sangat dalam, yang mencakup hakikat segala sesuatu, termasuk semua hal yang berhubungan dengannya-- tentang alam semesta, manusia, dan hidup. Bagi mereka yang menghendaki kebangkitan dan menginginkan kehidupannya berada pada jalan yang mulia, mahu tidak mahu terlebih dahulu harus memecahkan al-uqdatul kubra ini dengan benar. Caranya, melalui al-fikrul mustanir tadi. Pemecahan inilah yang menghasilkan aqidah, sekaligus menjadi landasan berfikir yang melahirkan pemikiran-pemikiran cabang tentang perilaku manusia di dunia ini serta peraturan-peraturannya.

Islam telah menangani al-uqdatul kubra ini, serta telah dipecahkan untuk manusia dengan cara yang sesuai dengan fitrah, memuaskan akal, dan memberikan ketenangan jiwa. Ditetapkannya pula bahawa untuk memeluk agama Islam tergantung sepenuhnya pada pengakuan terhadap pemecahan ini, iaitu pengakuan yang betul-betul muncul dari akal. Oleh sebab itu, Islam dibangun di atas satu dasar, iaitu aqidah. Aqidah ini menjelaskan bahawa di balik alam semesta, manusia, dan hidup, terdapat Pencipta (Al-Khaliq) yang telah meciptakan ketiganya, serta telah meciptakan segala sesuatu yang lainnya. Dialah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahawasanya Pencipta telah menciptakan segala sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Ia bersifat wajibul wujud, wajib adanya, sebab kalau tidak demikian, bererti Ia tidak mampu menjadi Khaliq. Ia bukanlah makhluk, kerana sifat-Nya sebagai Pencipta memastikan bahawa diri-Nya bukan makhluk. Dipastikan pula bahawa Ia mutlak adanya, kerana segala sesuatu menyandarkan wujud atau kewujudannya kepada diri-Nya; sementara Ia tidak bersandar kepada apapun.

Bukti bahawa segala sesuatu mempastikan adanya Pencipta yang menciptakannya dapat diterangkan sebagai berikut: bahawa segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal terbahagi dalam tiga unsur, iaitu manusia, alam semesta, dan hidup. Ketiga unsur ini bersifat terbatas, lemah, serba kurang, dan saling memerlukan satu dengan yang lain. Misalnya manusia. Manusia terbatas sifatnya, kerana ia tumbuh dan berkembang sampai pada batas tertentu yang tidak dapat dilampuinya lagi. Jadi, amat jelas bahawa manusia bersifat terbatas. Begitu pula halnya dengan hidup, bersifat terbatas, kerana penampakannya bersifat individual. Apa yang kita saksikan selalu menunjukkan bahawa hidup ini berakhir pada satu individu sahaja. Dengan demikian, jelas bahawa hidup itu bersifat terbatas. Alam semesta pun demikian, memiliki sifat terbatas. Sebab, alam semesta merupakan kumpulan dari benda-benda angkasa, yang setiap bendanya memiliki keterbatasan. Sementara kumpulan segala sesuatu yang terbatas, tentu terbatas pula sifatnya. Jadi, alam semesta pun bersifat terbatas. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahawa manusia, hidup, dan alam semesta, ketiganya bersifat terbatas.

Apabila kita melihat kepada segala sesuatu yang bersifat terbatas, akan kita simpulkan bahawa semuanya tidak azali. Sebab bila bersifat azali (tidak berawal dan tidak berakhir), tentu tidak mempunyai keterbatasan. Dengan demikian jelaslah bahawa segala yang terbatas pasti diciptakan oleh ''sesuatu yang lain''. ''Sesuatu yang lain'' inilah yang disebut Al-Khaliq. Dialah yang menciptakan manusia, hidup, dan alam semesta.

Dalam menentukan keberadaan Pencipta ini akan kita dapati tiga kemungkinan. Pertama, Ia diciptakan oleh yang lain. Kedua, Ia menciptakan diri-Nya sendiri. Ketiga, Ia bersifat azali dan wajibul wujud. Kemungkinan pertama bahawa Ia diciptakan oleh yang lain adalah kemungkinan yang bathil, tidak dapat diterima oleh akal. Kerana, bila benar demikian, tentu Ia bersifat terbatas. Begitu pula dengan kemungkinan kedua, yang menyatakan bahawa Ia menciptakan diri-Nya sendiri. Jika memang demikian bererti Dia sebagai makhluk dan Khaliq pada saat yang bersamaan. Suatu perkara yang jelas-jelas tidak dapat diterima. Oleh kerana itu, Al-Khaliq harus bersifat azali dan wajibul wujud. Dialah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sesungguhnya siapa saja yang mempunyai akal akan mampu membuktikan --hanya dengan adanya benda-benda yang dapat diindera-- bahawa di balik benda-benda itu pasti terdapat Pencipta yang telah menciptakannya. Sebab, kenyataan menunjukkan bahawa semua benda itu bersifat serba kurang, sangat lemah, dan saling memerlukan. Ini saja sudah menunjukkan bahawa segala sesuatu yang ada hanyalah makhluk. Jadi untuk membuktikan adanya Al-Khaliq Yang Maha Pengatur, sebenarnya cukup hanya dengan mengarahkan perhatian manusia terhadap benda-benda yang ada di alam semesta, fenomena hidup, dan diri manusia sendiri. Dengan mengamati salah satu planet yang ada di alam semesta, atau dengan merenungi fenomena hidup, atau meneliti salah satu bahagian dari diri manusia, akan kita dapati bukti nyata dan meyakinkan akan adanya(wujudnya) Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Di dalam Al-Quran, kita jumpai ajakan untuk mengarahkan perhatian manusia terhadap benda-benda yang ada, seraya mengajak untuk turut mengamati dan memfokuskan perhatian terhadap benda-benda tersebut serta segala sesuatu yang ada di sekelilingnya, atau yang berhubungan dengannya, dalam rangka pembuktian adanya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan mengamati benda-benda tadi, bagaimana satu dengan yang lainnya saling memerlukan, akan memberikan suatu pemahaman yang meyakinkan dan pasti tentang keberadaan Allah Yang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur. Al-Quran telah membeberkan ratusan ayat yang berhubungan dengan perkara ini, antara lain firman-firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :


Banyak lagi ayat-ayat yang serupa, yang mengajak manusia untuk memperhatikan benda-benda alam dengan saksama, dan melmperhatikan apa yang ada di sekelilingnya mahupun yang berhubungan dengan keberadaan dirinya. Ajakan itu untuk dijadikan petunjuk akan adanya Pencipta yang Maha Pengatur, sehingga dengan demikian imannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadi iman yang mantap, yang berakar pada akal dan bukti yang nyata.

Memang benar, bahawa iman kepada adanya Pencipta Yang Maha Pengatur merupakan hal yang fitri pada setiap manusia. Hanya saja, iman yang fitri ini muncul dari perasaan yang berasal dari hati nurani. Cara seperti ini bila dibiarkan begitu saja, tanpa dikaitkan dengan akal, sangatlah berisiko akibatnya serta tidak dapat dipertahankan lama. Pada kenyataannya, perasaan tersebut sering menambah-nambah apa yang diimani, dengan sesuatu yang tidak ada hakikatnya. Bahkan ada yang mengkhayalkannya dengan sifat-sifat tertentu yang dianggap lumrah terhadap apa yang ia imani. Tanpa sedar, cara tersebut malah menjerumuskannya ke arah kekufuran dan kesesatan. Penyembahan berhala, khurafat (cerita bohong) dan ajaran kebatinan, tidak lain akibat kesalahan perasaan hati ini. Kerana itulah, Islam tidak membiarkan perasaan hati sebagai satu-satunya jalan menuju iman. Ini dimaksudkan agar seseorang tidak menambah-nambah sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat yang bertentangan dengan sifat-sifat ketuhanan; atau memberinya kesempatan untuk mengkhayalkan penjelmaan-Nya dalam bentuk benda; atau beranggapan bahawa untuk mendekatkan diri kepada-Nya dapat ditempuh melalui penyembahan benda-benda, sehingga menjurus ke arah kekufuran, syirik, khurafat, dan imajinasi yang keliru yang sentiasa ditolak oleh iman yang lurus. Oleh kerana itu, Islam menegaskan agar selalu menggunakan akal disamping adanya perasaan hati. Islam mewajibkan atas setiap umatnya untuk menggunakan akal dalam beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, melarang taqlid (menuruti) dalam masalah aqidah. Untuk itu, Islam telah menjadikan akal sebagai timbangan dalam beriman kepada Allah, sebagaimana yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala :


Dengan demikian setiap muslim wajib menjadikan imannya betul-betul muncul dari proses berfikir, selalu meneliti dan memperhatikan serta sentiasa bertahkim (merujuk) kepada akalnya secara mutlak dalam beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ajakan untuk memperhatikan alam semesta dengan saksama, dalam rangka mencari sunatullah serta untuk memperoleh petunjuk untuk beriman terhadap Penciptanya, telah disebut ratusan kali oleh Al-Quran dalam berbagai surah yang berbeza. Semuanya ditujukan kepada potensi akal manusia untuk diajak berfikir dan merenung, sehingga imannya betul-betul muncul dari akal dan bukti yang nyata. Disamping untuk memperingatkannya agar tidak mengambil jalan yang telah ditempuh oleh nenek moyangnya, tanpa meneliti dan menguji kembali sejauh mana kebenarannya.

Inilah iman yang diserukan oleh Islam. Iman seperti ini bukanlah seperti yang dikatakan orang sebagai imannya orang-orang lemah, melainkan iman yang berlandaskan pemikiran yang cemerlang dan meyakinkan, yang sentiasa mengamati (alam sekitarnya), berfikir dan berfikir, kemudian melalui pengamatan dan perenungannya akan sampai kepada keyakinan tentang adanya Allah Yang Maha Kuasa.

Oleh sebab itu, wajib atas manusia menggunakan akalnya dalam mencapai iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun tidak mungkin ia menjangkau apa yang ada di luar batas kemampuan indera dan akalnya. Sebab akal manusia terbatas. Kekuatannya terbatas sekalipun meningkat dan bertambah, hingga batas yang tidak dapat dilampauinya lagi; terbatas pula jangkauannya. Melihat kenyataan ini, maka perlu diingat bahawa akal tidak mampu memahami Zat Allah dan hakikat-Nya. Sebab, Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di luar ketiga unsur pokok alami (alam semesta, manusia, dan hidup) di atas. Sedangkan akal manusia tidak mampu memahami apa yang ada di luar jangkauannya. Kenyataannya, ia tidak akan mampu memahami Zat Allah. Perlu ditekankan, tak perlu kita katakan, "Bagaimana mungkin orang (dapat) beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sedang akalnya sendiri tidak mampu memahami Zat Allah ?", kerana pada hakikatnya iman itu adalah percaya terhadap wujud (keberadaan) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sementara wujud-Nya dapat diketahui melalui makhluk-makhluk-Nya, yang meliputi alam semesta, manusia, dan hidup. Tiga unsur ini berada dalam batas jangkauan akal manusia. Dengan memahami ketiga perkara itu, orang dapat memahami adanya Pencipta, iaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh kerana itu, iman terhadap adanya Allah dapat dicapai melalui akal dan berada dalam jangkauan akal.

Lain halnya dengan usaha manusia untuk memahami hakikat Zat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tergolong dalam perkara mustahil untuk dicapai. Sebab, Zat Allah berada di luar unsur alam semesta, manusia, dan hidup. Dengan kata lain berada di luar jangkauan kemampuan akal. Akal tidak mungkin memahami hakikat apa yang ada di luar cakupan kemampuannya, kerana perannya amat terbatas. Malah seharusnya keterbatasannya itu malah menjadi faktor penguat iman, bukan sebaliknya menjadi penyebab keragu-raguan dan kebimbangan.

Sesungguhnya, apabila iman kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala telah dicapai melalui proses berfikir, maka kesedaran kita terhadap kewujudan Allah akan menjadi sempurna. Apabila perasaan hati kita (yang timbul dari wijdan, pent.) mengisyaratkan adanya Allah, kemudian dikaitkan dengan akal, tentu perasaan tersebut akan mencapai suatu tingkat yang meyakinkan. Lebih dari itu akan memberikan pemahaman yang sempurna serta perasaan yang meyakinkan terhadap sifat-sifat ketuhanan. Dengan sendirinya, cara tersebut akan meyakinkan kita bahawa manusia tidak sanggup memahami hakikat Zat Allah, bahkan sebaliknya hal ini malah akan memperkuat iman kita kepada-Nya. Disamping keyakinan seperti ini, kita juga wajib berserah diri terhadap seluruh perkara yang dikhabarkan Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang berbagai hal yang tidak sanggup dicerna atau yang tidak dapat dicapai oleh akal. Ini disebabkan kerana lemahnya akal manusia yang memiliki ukuran-ukuran nisbi, yang serba terbatas kemampuannya untuk memahami apa yang ada di luar jangkauan akalnya. Padahal untuk memahami hal seperti ini, diperlukan ukuran-ukuran yang tidak nisbi dan tidak terbatas, yang malah tidak dimiliki dan tidak akan pernah dimiliki manusia.

Adapun bukti keperluan manusia terhadap para Rasul, dapat kita lihat dari kenyataan bahawa manusia adalah makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bahawa beragama adalah sesuatu yang fitri pada diri manusia, kerana termasuk salah satu naluri yang ada pada manusia. Dalam fitrahnya, manusia sentiasa mensucikan Penciptanya. Aktiviti ini biasa dinamakan ibadah, yang berfungsi sebagai tali penghubung antara manusia dengan Penciptanya. Apabila hubungan ini dibiarkan begitu saja tanpa peraturan, tentu akan menimbulkan kekacauan ibadah, bahkan dapat menyebabkan terjadinya penyembahan kepada selain Pencipta yang sebenarnya. Jadi harus ada peraturan tertentu, yang mengatur hubungan ini dengan suatu peraturan yang benar. Peraturan ini tidak boleh datang dari manusia. Sebab, manusia tidak mampu memahami hakikat Al-Khaliq (maksudnya tentang perbuatan, apakah perbuatan itu diterima atau ditolak, pent.) sehingga dapat meletakkan peraturan antara dirinya dengan Pencipta. Maka peraturan tersebut harus datang dari Al-Khaliq. Dan kerana peraturan ini mesti sampai ke tangan manusia, tidak boleh tidak, perlu ada para Rasul yang menyampaikan agama Allah ini kepada umat manusia.

Bukti lain akan keperluan manusia terhadap para Rasul adalah bahawa pemuasan manusia akan tuntutan gharizah (naluri) serta keperluan-keperluan jasmani, adalah suatu kemestian yang sangat diperlukan. Pemuasan seperti ini apabila dibiarkan berjalan tanpa peraturan akan menjurus ke arah pemuasan yang salah dan menyimpang, yang pada gilirannya akan menyebabkan kesengsaraan umat manusia. Maka dari itu, harus ada peraturan yang mengatur setiap naluri dan keperluan jasmani ini. Hanya saja peraturan ini tidak boleh datang dari pihak manusia. Sebab, pemahaman manusia dalam mengatur naluri dan keperluan jasmani selalu berpeluang terjadinya perbezaan, perselisihan, pertentangan, dan terpengaruh lingkungan tempat tinggalnya. Apabila manusia dibiarkan membuat peraturannya sendiri, pasti peraturan tersebut memungkinkan terjadinya perbezaan, perselisihan, dan pertentangan, yang malah akan menjerumuskannya ke dalam kesengsaraan. Oleh kerana itu peraturan tersebut harus datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui para Rasul.

Mengenai bukti bahawa Al-Quran itu datang dari Allah, dapat dilihat dari kenyataan bahawa Al-Quran adalah sebuah kitab berbahasa Arab yang dibawa oleh Sayyidina Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam menentukan dari mana asal Al-Quran, akan kita dapati tiga kemungkinan. Pertama, kitab itu merupakan karangan orang Arab. Kedua, karangan Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketiga, berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala saja. Tidak ada lagi kemungkinan selain dari yang tiga ini. Sebab Al-Quran adalah khas Arab, baik dari segi bahasa mahupun gayanya.

Kemungkinan pertama yang mengatakan bahawa Al-Quran adalah karangan orang Arab merupakan kemungkinan yang tertolak. Dalam hal ini Al-Quran sendiri telah mencabar mereka untuk membuat karya yang serupa. Sebagaimana tertera dalam ayat :



Orang-orang Arab telah berusaha keras mencubanya, akan tetapi tidak berhasil. Ini membuktikan bahawa Al-Quran bukan berasal dari perkataan mereka. Mereka tidak mampu menghasilkan karya yang serupa, oleh kerana ada cabaran dari Al-Quran dan usaha dari mereka untuk menjawab cabaran itu. Kemungkinan kedua yang mengatakan bahawa Al-Quran itu karangan Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah kemungkinan yang juga tidak dapat diterima oleh akal. Sebab, Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang Arab juga. Bagaimana bijak-cerdiknya, tetaplah ia sebagai seorang manusia yang menjadi salah satu anggota dari masyarakat atau bangsanya. Selama seluruh bangsa Arab tidak mampu menghasilkan karya yang serupa, maka masuk akal pula apabila Muhammad --yang juga termasuk salah seorang dari bangsa Arab-- tidak mampu menghasilkan karya yang serupa. Oleh kerana itu, jelas bahawa Al-Quran itu bukan karangan Muhammad. Tambah pula, banyaknya hadis sahih yang berasal dari Nabi Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam --yang sebahagian malah diriwayatkan melalui cara yang tawatur, yang kebenarannya tidak diragukan lagi. Apabila setiap hadis dibandingkan dengan ayat manapun dalam Al-Quran, maka tidak akan dijumpai adanya kemiripan dari segi gaya bahasanya. Padahal Nabi Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam, disamping selalu membacakan setiap ayat-ayat yang diterimanya, dalam waktu yang bersamaan juga mengeluarkan hadis. Namun, ternyata keduanya tetap berbeza dari segi gaya sasteranya. Bagaimanapun kerasnya usaha seseorang untuk menciptakan berbagai macam gaya bahasa dalam pembicaraannya, tetap saja akan terdapat kemiripan antara gaya yang satu dengan yang lain. Kerana semua itu merupakan bahagian dari ciri khasnya dalam berbicara. Oleh kerana memang tidak ada kemiripan antara gaya bahasa Al-Quran dengan gaya bahasa hadis, bererti Al-Quran itu bukan perkataan Nabi Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, pada masing-masing keduanya terdapat perbezaan yang tegas dan jelas. Itulah sebabnya tidak seorang pun dari bangsa Arab --orang-orang yang paling arif gaya dan sastera bahasa arab-- pernah menuduh bahawa Al-Quran itu perkataan Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam, atau mirip dengan gaya bicaranya. Satu-satunya tuduhan yang mereka lontarkan adalah bahawa Al-Quran itu disadur Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam dari seorang pemuda Nasrani yang bernama Jabr. Tuduhan ini pun telah ditolak keras oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya :

ika telah terbukti bahawa Al-Quran itu bukan karangan bangsa Arab, bukan pula karangan Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya Al-Quran itu adalah firman Allah, kalamullah, yang menjadi mukjizat bagi orang yang membawanya.

Dan oleh kerana Nabi Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang membawa Al-Quran --yang merupakan firman dan syari'at Allah, serta tidak ada yang membawa syariat-Nya melainkan para Nabi dan Rasul-- maka berdasarkan akal dapat diyakini secara pasti bahawa Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam itu adalah seorang Nabi dan Rasul. Inilah dalil aqli tentang iman kepada Allah, kerasulan Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bahawa Al-Quran itu merupakan firman Allah.

Jadi iman kepada Allah itu dapat dicapai melalui akal, dan memang harus demikian. Iman kepada Allah akan menjadi dasar kuat bagi kita untuk beriman terhadap perkara-perkara ghaib dan segala hal yang dikhabarkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika kita telah beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memiliki sifat-sifat ketuhanan itu, maka wajib pula bagi kita untuk beriman terhadap apa saja yang dikhabarkan oleh-Nya. Baik hal itu dapat dijangkau oleh akal mahupun tidak, kerana semuanya dikhabarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dari sini kita wajib beriman kepada Hari Kebangkitan dan Pengumpulan di Padang Mahsyar, Syurga dan Neraka, hisab serta siksa. Juga beriman akan adanya malaikat, jin, dan syaitan, serta apa saja yang telah diterangkan Al-Quran dan hadis qath'i. Iman seperti ini, walaupun diperoleh dengan jalan 'mengutip' (naql) dan 'mendengar' (sama'), tetapi hakikatnya merupakan iman yang aqli juga. Sebab dasarnya telah dibuktikan oleh akal. Jadi aqidah seorang muslim itu harus bersandar kepada akal atau pada sesuatu yang telah terbukti kebenaran dasarnya oleh akal. Seorang muslim wajib meyakini (menjadikannya sebagai aqidah) segala sesuatu yang telah terbukti dengan akal atau yang datang dari sumber berita yang yakin dan pasti (qath'i), iaitu apa saja yang telah ditetapkan oleh Al-Quran dan hadis qath'i iaitu hadis mutawatir. Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan tadi, iaitu akal serta nas Al-Quran dan hadis mutawatir, haram baginya untuk mengimaninya (menjadikannya sebagai aqidah). Aqidah tidak boleh diambil kecuali melalui jalan yang pasti.

Berdasarkan penjelasan ini, maka kita wajib beriman kepada apa yang ada sebelum kehidupan dunia, iaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala; dan kepada kehidupan setelah dunia, iaitu Hari Akhirat. Bila sudah diketahui bahawa penciptaan dan perintah-perintah Allah merupakan pokok pangkal adanya kehidupan dunia, sedangkan perhitungan amal perbuatan manusia atas apa yang ia kerjakan di dunia merupakan mata rantai dengan kehidupan setelah dunia, maka kehidupan dunia ini harus dihubungkan dengan apa yang ada dengan sebelum dan sesudah dunia. Disamping itu, hal ehwal manusia harus terikat dengan hubungan ini. Oleh kerana itu, manusia wajib berjalan dalam kehidupan ini sesuai dengan peraturan Allah dan wajib meyakini bahawa ia akan di-hisab di hari Kiamat nanti atas segala perbuatan yang dilakukannya di dunia.

Dengan demikian terbentuklah al-fikru al-mustanir tentang apa yang ada di balik alam semesta, fenomena hidup, dan manusia. Telah terbentuk pula al-fikru al-mustanir tentang apa yang ada dengan sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Dan bahawasannya kehidupan tersebut memiliki hubungan antara apa yang ada dengan sebelum dan sesudahnya. Berdasarkan hal ini terurailah al-uqdatu al-kubra secara sempurna dengan aqidah Islamiyah.

Apabila manusia berhasil memecahkan perkara ini, maka ia dapat beralih memikirkan kehidupan dunia serta mewujudkan mafahim yang benar dan produktif tentang kehidupan ini. Pemecahan inilah yang menjadi dasar bagi berdirinya suatu mabda (ideologi) yang dijadikan sebagai jalan menuju kebangkitan. Pemecahan itu pula yang menjadi dasar bagi berdirinya hadharah iaitu suatu peradaban yang bertitik tolak dari mabda tadi. Disamping menjadi dasar yang melahirkan peraturan-peraturan, dan sebagai dasar berdirinya Negara Islam. Dengan demikian, dasar bagi berdirinya Islam --baik secara fikrah (idea dasar) mahupun thariqah (metod pelaksanaan bagi fikrah)-- adalah aqidah Islam.

Apabila semua ini telah terbukti, sedangkan iman kepada-Nya adalah suatu kemestian, tentulah wajib bagi setiap muslim untuk beriman kepada syariat Islam secara keseluruhan. Kerana seluruh syariat ini telah tercantum dalam Al-Quran dan dibawa oleh Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila tidak beriman, tentu ia kafir. Oleh kerana itu penolakan seseorang terhadap hukum-hukum syara' secara keseluruhan, atau hukum-hukum qath'i secara rinci, dapat menyebabkan kekafiran, baik hukum-hukum itu berkaitan dengan ibadat, muamalah, ‘uqubat (sanksi), ataupun math'umat (yang berkaitan dengan makanan/minuman). Jadi kufur terhadap ayat :

"Dirikanlah solat", sama saja kufur terhadap ayat :



Perlu diketahui bahawa iman terhadap syar'iat Islam tidak cukup dilandaskan pada akal semata, tetapi harus disertai sikap penyerahan total dan penerimaan secara mutlak terhadap segala yang datang dari sisi-Nya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :


Nota:
1) Hidup adalah fenomena yang terdapat dalam makhluk hidup, seperti tumbuh, berkembang, bereproduksi, bernafas, bergerak, dsb.
2) Mafahim jamak dari mahfum adalah idea-idea yang dibenarkan dan diyakini oleh manusia setelah menjangkau dan memahami fakta-faktanya (pent.)
3) Dalam bahasa Arab uqdah ertinya simpul dan kubra ertinya paling besar. Yang dimaksud uqdatul qubra di sini adalah pemikiran tentang asal usul manusia, alam semesta dan hidup yang menjadi masalah terbesar dan mendasar yang harus dipecahkan.






Pemuda bangkitlah! ISLAM merindukanmu!


Pemuda Islam adalah pemuda harapan
Yang dengan tangannya lahir sebuah kejayaan
Menapak kehidupan dengan cahaya iman
Bergerak ke depan raih kebangkitan islam

Kita adalah singa-singa Ar-rohman
Hancur binasa musuh berbisa
Kita pejuang pembela kebenaran
Lepas belenggu runtuhkan angkara murka

Semangatmu bagai api menyala
Tergugahlah jiwa tuk turut berjuang
Pandangan matamu tebarkan cahaya
Hapus angan-angan raih kemenangan..raih kemenangan

Bangkitlah hai pemuda Islam
Kau tunas harapan penuh penantian
Wujudkanlah cita dan impian
dengan kekuatan kita kan berjaya

Bergerak ke depan raih kemenangan..
raih kemenangan..raih kemenangan!

- Ar Ruhul Jadid-

APA ITU KHILAFAH?


  • Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia. Khilafah bertanggung jawab menerapkan hukum Islam, dan menyampaikan risalah Islam ke seluruh muka bumi. Khilafah terkadang juga disebut Imamah; dua kata ini mengandung pengertian yang sama dan banyak digunakan dalam hadits-hadits shahih.
  • Sistem pemerintahan Khilafah tidak sama dengan sistem manapun yang sekarang ada di Dunia Islam. Meskipun banyak pengamat dan sejarawan berupaya menginterpretasikan Khilafah menurut kerangka politik yang ada sekarang, tetap saja hal itu tidak berhasil, karena memang Khilafah adalah sistem politik yang khas.
  • Khalifah adalah kepala negara dalam sistem Khilafah. Dia bukanlah raja atau diktator, melainkan seorang pemimpin terpilih yang mendapat otoritas kepemimpinan dari kaum Muslim, yang secara ikhlas memberikannya berdasarkan kontrak politik yang khas, yaitu bai’at. Tanpa bai’at, seseorang tidak bisa menjadi kepala negara. Ini sangat berbeda dengan konsep raja atau dictator, yang menerapkan kekuasaan dengan cara paksa dan kekerasan. Contohnya bisa dilihat pada para raja dan diktator di Dunia Islam saat ini, yang menahan dan menyiksa kaum Muslim, serta menjarah kekayaan dan sumber daya milik umat.
  • Kontrak bai’at mengharuskan Khalifah untuk bertindak adil dan memerintah rakyatnya berdasarkan syariat Islam. Dia tidak memiliki kedaulatan dan tidak dapat melegislasi hukum dari pendapatnya sendiri yang sesuai dengan kepentingan pribadi dan keluarganya. Setiap undang-undang yang hendak dia tetapkan haruslah berasal dari sumber hukum Islam, yang digali dengan metodologi yang terperinci, yaitu ijtihad. Apabila Khalifah menetapkan aturan yang bertentangan dengan sumber hukum Islam, atau melakukan tindakan opresif terhadap rakyatnya, maka pengadilan tertinggi dan paling berkuasa dalam sistem Negara Khilafah, yaitu Mahkamah Mazhalim dapat memberikan impeachment kepada Khalifah dan menggantinya.
  • Sebagian kalangan menyamakan Khalifah dengan Paus, seolah-olah Khalifah adalah Pemimpin Spiritual kaum Muslim yang sempurna dan ditunjuk oleh Tuhan. Ini tidak tepat, karena Khalifah bukanlah pendeta. Jabatan yang diembannya merupakan jabatan eksekutif dalam pemerintahan Islam. Dia tidak sempurna dan tetap berpotensi melakukan kesalahan. Itu sebabnya dalam sistem Islam banyak sarana check and balance untuk memastikan agar Khalifah dan jajaran pemerintahannya tetap akuntabel.
  • Khalifah tidak ditunjuk oleh Allah, tetapi dipilih oleh kaum Muslim, dan memperoleh kekuasaannya melalui akad bai’at. Sistem Khilafah bukanlah sistem teokrasi. Konstitusinya tidak terbatas pada masalah religi dan moral sehingga mengabaikan masalah-masalah sosial, ekonomi, kebijakan luar negeri dan peradilan. Kemajuan ekonomi, penghapusan kemiskinan, dan peningkatan standar hidup masyarakat adalah tujuan-tujuan yang hendak direalisasikan oleh Khilafah. Ini sangat berbeda dengan sistem teokrasi kuno di zaman pertengahan Eropa dimana kaum miskin dipaksa bekerja dan hidup dalam kondisi memprihatinkan dengan imbalan berupa janji-janji surgawi. Secara histories, Khilafah terbukti sebagai negara yang kaya raya, sejahtera, dengan perekonomian yang makmur, standar hidup yang tinggi, dan menjadi pemimpin dunia dalam bidang industri serta riset ilmiah selama berabad-abad.
  • Khilafah bukanlah kerajaan yang mementingkan satu wilayah dengan mengorbankan wilayah lain. Nasionalisme dan rasisme tidak memiliki tempat dalam Islam, dan hal itu diharamkan. Seorang Khalifah bisa berasal dari kalangan mana saja, ras apapun, warna kulit apapun, dan dari mazhab manapun, yang penting dia adalah Muslim. Khilafah memang memiliki karakter ekspansionis, tapi Khilafah tidak melakukan penaklukkan wilayah baru untuk tujuan menjarah kekayaan dan sumber daya alam wilayah lain. Khilafah memperluas kekuasaannya sebagai bagian dari kebijakan luar negerinya, yaitu menyebarkan risalah Islam.
  • Khilafah sama sekali berbeda dengan sistem Republik yang kini secara luas dipraktekkan di Dunia Islam. Sistem Republik didasarkan pada demokrasi, dimana kedaulatan berada pada tangan rakyat. Ini berarti, rakyat memiliki hak untuk membuat hukum dan konstitusi. Di dalam Islam, kedaulatan berada di tangan syariat. Tidak ada satu orang pun dalam sistem Khilafah, bahkan termasuk Khalifahnya sendiri, yang boleh melegislasi hukum yang bersumber dari pikirannya sendiri.
  • Khilafah bukanlah negara totaliter. Khilafah tidak boleh memata-matai rakyatnya sendiri, baik itu yang Muslim maupun yang non Muslim. Setiap orang dalam Negara Khilafah berhak menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan-kebijakan negara tanpa harus merasa takut akan ditahan atau dipenjara. Penahanan dan penyiksaan tanpa melalui proses peradilan adalah hal yang terlarang.
  • Khilafah tidak boleh menindas kaum minoritas. Orang-orang non Muslim dilindungi oleh negara dan tidak dipaksa meninggalkan keyakinannya untuk kemudian memeluk agama Islam. Rumah, nyawa, dan harta mereka, tetap mendapat perlindungan dari negara dan tidak seorangpun boleh melanggar aturan ini. Imam Qarafi, seorang ulama salaf merangkum tanggung jawab Khalifah terhadap kaum dzimmi: “Adalah kewajiban seluruh kaum Muslim terhadap orang-orang dzimmi untuk melindungi mereka yang lemah, memenuhi kebutuhan mereka yang miskin, memberi makan yang lapar, memberikan pakaian, menegur mereka dengan santun, dan bahkan menoleransi kesalahan mereka bahkan jika itu berasal dari tetangganya, walaupun tangan kaum Muslim sebetulnya berada di atas (karena faktanya itu adalah Negara Islam). Kaum Muslim juga harus menasehati mereka dalam urusannya dan melindungi mereka dari ancaman siapa saja yang berupaya menyakiti mereka atau keluarganya, mencuri harta kekayaannya, atau melanggar hak-haknya.”
  • Dalam sistem Khilafah, wanita tidak berada pada posisi inferior atau menjadi warga kelas dua. Islam memberikan hak bagi wanita untuk memiliki kekayaan, hak pernikahan dan perceraian, sekaligus memegang jabatan di masyarakat. Islam menetapkan aturan berpakaian yang khas bagi wanita – yaitu khimar dan jilbab, dalam rangka membentuk masyarakat yang produktif serta bebas dari pola hubungan yang negatif dan merusak, seperti yang terjadi di Barat.
  • Menegakkan Khilafah dan menunjuk seorang Khalifah adalah kewajiban bagi setiap Muslim di seluruh dunia, lelaki dan perempuan. Melaksanakan kewajiban ini sama saja seperti menjalankan kewajiban lain yang telah Allah Swt perintahkan kepada kita, tanpa boleh merasa puas kepada diri sendiri. Khilafah adalah persoalan vital bagi kaum Muslim.
  • Khilafah yang akan datang akan melahirkan era baru yang penuh kedamaian, stabilitas dan kemakmuran bagi Dunia Islam, mengakhiri tahun-tahun penindasan oleh para tiran paling kejam yang pernah ada dalam sejarah. Masa-masa kolonialisme dan eksploitasi Dunia Islam pada akhirnya akan berakhir, dan Khilafah akan menggunakan seluruh sumber daya untuk melindungi kepentingan Islam dan kaum Muslim, sekaligus menjadi alternatif pilihan rakyat terhadap sistem Kapitalisme.

ISLAM


Anas bin Malik menuturkan, Rasulullah SAW bersabda: “Akan tiba suatu masa pada manusia, dimana orang yang bersabar di antara mereka dalam memegang agamanya, ibarat orang yang menggenggam bara api.” (Hr. at-Tirmidzi)

ALQUR’AN SEBAGAI PEDOMAN HIDUP


Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya kejalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka kejalan yang lurus.

(Q.S. Al-Maa’idah [5]: 16).

Alkisah, terdapatlah seorang pengembara yang terbangun dari keadaan tidak sadar dan mendapati dirinya di tengah hutan. Dia tidak tahu di mana ia berada, dari mana dia berasal, siapa dia, dan untuk apa dia ada di hutan itu. Yang dia tahu adalah bahwa dia berada di sebuah hutan belantara, dikelilingi belukar lebat, pepohonan, binatang liar, dan tanpa ada seorang manusiapun untuk tempat bertanya. Di sekitar tempat dirinya terbangun, tidak dia menemukan apapun yang bisa mengingatkan dirinya akan asal-usulnya, dan kenapa dia ada ditempat itu.

Seiring waktu berjalan, dia mencapai titik lelah untuk mencari siapa dirinya, dan kenapa dia berada di tempat itu. Akhirnya, yang lakukan dia dalam keseharian hanyalah bertahan hidup, tanpa tujuan dan arah yang pasti. Hingga suatu ketika datang seseorang yang mengaku sebagai utusan maha raja, yang menerangkan jati dirinya melalui sebuah surat dari sang raja, bahwa dia adalah seorang pangeran, yang berada dari suatu negeri, diutus ke tempat ini untuk mencari harta karun. Buktinya adalah secarik kertas kecil yang diselipkan di bajunya, berisi catatan tentang siapa dia dan misi apa yang dia bawa di hutan.

Cerita pengembara di atas, jika dianalogikan atau diandaikan dengan kehidupan kita sebagai manusia ibarat ‘pengembara’ yang hidup di ‘hutan’ dunia. Seandainya saja tidak ada ‘utusan’ yang membawa petunjuk, tentulah kita akan tersesat dan kebingungan dalam mengarungi hidup ini. Sebgaimana mereka yang tidak beriman seperti kaum materialis, atheis, dan hedonis yang hidup dalam kesesatan. Maka bersyukurlah kita yang mendapatkan petunjuk dari utusan Allah yaitu Muhammad SAW, yang menyampaikan kabar gembira, memberi peringatan, dan menerangkan hakikat penciptaan kita di dunia. Bersama Beliau, diturunkanlah Alqur’an sebagai pedoman hidup.

Alqur’an Sebagai Mukjizat

Untuk memperkuat dakwah yang disampaikan, Allah memberikan keistimewaan bagi para rasul yang disebut dengan mukjizat. Bagi seorang Rasul, mukjizat yang satu berbeda dengan yang lain. Biasanya, ada dua macam mukjizat yaitu yang bersifat materi/fisik, dan yang bersifat non materi, namun bisa ditangkap dengan ketajaman akal dan rasa. Alqur’an adalah mukjizat Nabi Muhammad SAW yang berupa fisik, akan tetapi juga mengandung mukjizat non-fisik yang luar biasa dibalik teks-teksnya. Maka pantas jika dikatakan bahwa Alqur’an adalah mukjizat Nabi Muhammad SAW yang terbesar dan tidak dibatasi oleh waktu dan tempat. Secara jelas Alqur’an telah memperlihatkan kemukjizatannya dalam sejarah manusia. Ketika Alqur’an dilaksanakan dan diamalkan dengan kesungguhan, maka ia dapat menciptakan peradaban besar yang menguasai dunia dengan keadilan dan kesejahteraan. Lihat saja dulu, ketika Islam mengalami kejayaan, kaum Muslim meletakkan Alqur’an sebagai landasan bagi setiap hukum dan ilmu, maka seluruh bidang kehidupan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Kaum Muslimin bahkan menjadi rujukan para ilmuwan dari negeri lain. Kaum Muslim menjadi ‘guru’ dunia.

Hidayah Alqur’an

Alqur’an merupakan sumber utama ajaran Islam, di mana di dalamnya terkandung hidayah bagi setiap muslim dalam menjalani kehidupan agar selamat dan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ada beberapa macam hidayah Alqur’an kepada manusia: pertama, mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya Ilahi. Ajaran Alqur’an membimbing manusia agar keluar dari kegelapan yang berupa kekafiran, kesesatan dan kebodohan menuju cahaya Ilahi yang berupa keimanan, keislaman dan ilmu pengetahuan.

Allah SWT berfirman: Alif, laam raa. (Ini adalah) kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.(Q.S. Ibrahim [14]: 1).

Kedua, membimbing kehidupan manusia menuju jalan yang lurus, baik dan adil. Ini dicapai dengan mengikuti ajaran Islam yang shahih dan jalan tauhid yang ditunjukkan Alqur’an. Allah SWT berfirman: Sesungguhnya Alqur’an ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal shaleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar. (Q.S. Al-Israa’ [17]: 9).

Ketiga, memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman dan peringatan kepada orang-orang ingkar (kafir). Alqur’an menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman melalui amal shaleh yang mereka lakukan, akan mendapat pahala berlipat dan akan dibalas dengan kebaikan di dunia dan surga di akhirat. Sebaliknya, orang-orang ingkar akan mendapat balasan buruk diakhirat. Allah SWT berfirman: Sesungguhnya Alqur’an ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal shaleh bahw bagi mereka ada pahala yang besar, dan sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, Kami sediakan bagi mereka adzab yang pedih.(Q.S. Al-Israa’ [17]: 9-10).

Keempat, Alqur’an menyembuhkan hati manusia dan menebarkan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Ia menyembuhkan segala macam penyakit hati, termasuk akhlak tercela. Penyakit hati bersumber dari pemahaman akidah yang salah tentang Allah, malaikat, rasul-rasul, hari akhirat, qadha dan qadar. Kesalahan keyakinan ini membuat hati gelisah, sakit dan bingung. Allah SWT berfirman: Dan kami turunkan dari Alqur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Alqur’an itu tidaklah menmbah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (Q.S. Al-Israa’ [17]: 82).

Kelima, berisi nasihat dan ibrah (pelajaran). Alqur’an banyak berisi kisah-kisah penuh hikmah tentang orang-orang terdahulu. Kisah-kisah itu tentu bukan hanya sekedar pemanis dan hiasan Alqur’an, lebih dari itu, ia adalah pelajaran (ibrah) yang harus diambil oleh umat Islam.

Firman Allah SWT: Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Alqur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (Q.S. Yusuf [12]: 111).

Alqur’an Sebagai Pembela di Akhirat

Telah bersabda Rasulullah SAW: Belajarlah kamu akan Alqur’an, di akhirat nanti dia akan datang kepada ahli-ahlinya, yang mana di kala itu orang sangat memerlukannya. Ia akan datang dalam bentuk seindah-indahnya dan ia bertanya, “Kenalkah kamu kepadaku?”

Maka orang yang pernah membaca Alqur’an menjawab: “Siapakah kamu?”

Berkata Alqur’an: “Akulah yang kamu cintai dan kamu sanjung, dan engkau juga telah bangun malam untukku dan kamu juga pernah membacaku di waktu siang hari.”

Kemudian berkatalah orang yang pernah membaca Alqur’an itu: “Adakah kamu Alqur’an?” Alqur’an lalu mengiyakan dan menuntun orang tersebut menghadap Allah.

Orang beriman itu kemudian diberi kerajaan yang kekal di tangan kanan dan kirinya, kemudian dia meletakkan mahkota di atas kepalanya. Pada kedua ayah dan ibunya yang muslim, juga diberi perhiasan yang tidak dapat ditukar dengan dunia walau berlipat ganda, sehingga keduanya bertanya: “Dari manakah kami memperoleh ini semua, padahal kami tidak sampai ini?”

Lalu dijawab: “Kamu diberi ini semua karena anak kamu telah mempelajari Alqur’an.”

Kelebihan Alqur’an

Alqur’an memiliki tiga kelebihan yang tidak dimiliki oleh kitab suci lain. Pertama, merupakan kitab suci yang paling banyak dibaca dan dihafalkan oleh manusia sejak dahulu hingga sekarang dalam bahasa aslinya. Dalam catatan rekor dunia guinness, disebutkan bahwa buku non-fiksi yang paling banyak dibaca sepanjang sejarah adalah Bible. Namun, kita tahu, Bible menggunakan bahasa setempat dan telah mengalami banyak perubahan. Sedangkan Alqur’an, apa yang kita baca darinya saat ini adalah apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tanpa ada perubahan sedikitpun. Kedua, merupakan kitab suci yang mendapat perhatian sangat besar, baik oleh pemeluknya maupun oleh orang diluar mereka. Banyak ilmuwan non-Muslim yang mengakui Alqur’an, baik dari segi tata bahasanya maupun kandungannya. Ketiga, bagi seorang mukmin, membaca Alqur’an akan dapat memperkuat imannya serta kedekatannya kepada Sang Pencipta, dan membaca Alqur’an termasuk ibadah.

Sebagai seorang Muslim, sudah semestinya kita menjadikan Alqur’an sebagai pedoman hidup. Menjadikannya cermin melihat dan mengukur akhlak dan setiap aktivitas yang kita lakukan. Menjadikannya sahabat yang mengingatkan saat terlupa dan menegur saat alpa. Bila dalam satu hari kita tidak berkomunikasi dengan manusia kemudian kita merasa kesepian, maka apakah bila dalam satu hari kita tidak berkomunikasi dengan Dzat yang telah menciptakan kita dengan membaca Alqur’an, apakah kita merasa kesepian? Apabila setiap pagi kita merasa ada yang kurang tanpa membaca koran, maka apakah dalam setiap mengawali hari kita selalu merasa kurang sebelum membaca Alqur’an? Saat diri terlupa, tersesat dan lemah, maka apakah Alqur’an sudah kita jadikan sebagai pedoman hidup?

Al-Matpy ibnu Thalib