Saturday, April 30, 2011

Meraih Gelar Umat Terbaik

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Alloh. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik." (QS. Ali Imron: 110)

Suatu hari ketika berkumpul dengan para sahabatnya, Rasulullah saw yang mulia bertanya, “Wahai para sahabatku, ada suatu kaum yang keimanannya mengagumkanku, tahukah kalian siapakah mereka?” para sahabat menjawab, "Kami para sahabat yang selalu setia kepadamu.” Rasulullah saw bersabda, “Bukan. Kalian bergaul denganku, melihatku beribadah, dan mengetahui saat wahyu turun maka wajar jika kalian beriman kepada Alloh juga padaku” Para sahabat pun berkata,” Alloh dan Rasul-Nya lebih tahu.” Penutup para nabi itu pun bersabda,”Aku mengagumi kaum di akhir zaman, mereka tidak pernah bertemu denganku, melihat aku beribadah ataupun melihat wahyu turun, namun mereka beriman kepada Alloh serta kepadaku tanpa keraguan sedikitpun”. Allohu Akbar!

Tidak terbayangkan pilunya hati Rasulullah saw yang mulia jika melihat kenyataan saat ini, umat Islam bagaikan buih, banyak namun tak berdaya. Mereka menjadi bulan-bulanan orang-orang kafir yang membencinya.

Dibantai, dianiaya, tanahnya dirampas dan diusir dari negeri sendiri. Diperlakukan sangat tidak adil, kebebasan menjalankan ajaran agama dibatasi, bahkan saat ini diberitakan kitab sucinya pun sampai dinistakan kafir laknatulloh alaih itu, namun negara-negara mayoritas muslim banyak yang tetap bungkam.

Umat Islam banyak yang malu mengaku sebagai muslim, Barat sudah menjadi kiblat kebudayaan remajanya dan kemaksiatan menjadi tontonan yang lumrah.

Adakah yang masih dapat beliau banggakan dari ummatnya ini? Umat yang oleh Alloh dalam QS. 3:110 disebut sebagai umat terbaik. Umat akhir zaman yang beliau kagumi dan pernah dibanggakan dihadapan para sahabatnya.Umat yang beliau khawatirkan hingga menjelang ajalnya beliau panggil dengan harap cemas, “Ummatii...ummatii...” Adakah yang salah dengan kebanggaan Rasulullah saw pada kita? Adakah yang salah pada sebutan umat terbaik dari Alloh untuk kita?

Lantas bagaimana caranya agar gelar umat terbaik dari Alloh bagi kita mampu kita wujudkan? Jawabannya adalah tak lain dengan melakukan apa yang menjadi syarat dari umat terbaik itu sendiri, yakni memerintahkan berbuat ma'ruf, mencegah berbuat munkar, serta beriman kepada Alloh.

Beriman kepada Alloh tak cukup hanya mengaku percaya, namun ia menuntut konsekuensi lebih jauh. Keimanan pada Alloh menuntut kemurnian akidah tanpa noda-noda kemusyrikan. Keimanan juga mesti diwujudkan dengan penyerahan diri yang total pada hukumnya dalam setiap aspek kehidupan. Kualitas keimanan dapat terlihat langsung dari amal saleh yang dilakukan. Tak cukup kita berbuat baik sendiri tanpa merasa perlu mengajak orang lain untuk berbuat baik, karena menyebarkan kebaikan bukan hanya kewajiban para dai namun ia adalah kewajiban setiap diri yang mengaku muslim. Mencegah orang lain berbuat kemungkaran itu memang lebih berat daripada mengajak berbuat baik. Saat kita mengajak dan orang tidak mau, urusan selesai, namun saat kita mencegah orang berbuat munkar dan mereka tidak mau bisa saja urusan berbuntut panjang. Inilah tantangannya.

Tak ada alasan kita untuk hanya menjadi penonton orang lain beraksi tanpa sedikit pun tergerak untuk menjadi penuntun. Kita harus ingat, jika adzab Alloh ditimpakan pada suatu kaum karena kemaksiatan mereka, maka adzab itu akan menimpa siapapun yang ada di sana sekalipun ia tidak termasuk orang yang suka bermaksiat.

Sabda Rasulullah saw, "Sesungguhnya Alloh tidak menyiksa orang-orang tertentu karena dosa-dosa orang umum, sehingga ia melihat kemunkaran dihadapan mereka tetapi mereka tidak mengingkari (menolak, mencegah) padahal mereka Mampu melakukannya. (HR Ahmad dari 'Addi bin 'Umairah)

Akhir Kehidupan ini

وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُمْ بِاللَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُمْ بِالنَّهَارِ ثُمَّ يَبْعَثُكُمْ فِيهِ لِيُقْضَى أَجَلٌ مُسَمًّى ثُمَّ إِلَيْهِ مَرْجِعُكُمْ ثُمَّ يُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur(mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Alloh-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan.” (Q.S Al An’am [6]: 60)

وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ (١٠)وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (١١)

“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh? Dan Alloh sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Alloh Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan” (Q.S Al Munaafiquun [63]: 10-11)

Abu Hurairah menangis ketika sakit menjelang kematiannya. Lalu, ada yang bertanya, “Kenapa anda menangis?” beliau menjawab, “Aku tidak menangisi dunia kalian ini, tetapi menangisi jauhnya perjalananku serta sedikitnya bekalku. Sesungguhnya aku berdiri di atas ketinggian yang akan membawaku ke atas syurga dan neraka, tetapi aku tak tau ke mana aku hendak dibawa.”

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, Aun bin Abdullah berkata, “Tak ada orang yang bisa menempatkan kematian sebagaimana mestinya, kecuali orang yang melihat hari besok bukan bagian umurnya. Berapa banyak orang yang menghadapi hidup hari ini, tapi ia tak bisa menyempurnakannya sehingga tak sampai hari esok. Sungguh, sekiranya kamu melihat ajal dan perjalanannya, pastilah kamu akan membenci angan-angan dan tipu dayanya.”

Nu’aim bin Hamad meriwayatkan, dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Cukuplah kematian sebagai penasihat, cukuplah keyakinan sebagai kekayaan dan cukuplah ibadah sebagai kesibukan.”

Hijabmu, kemuliaanmu


Padahal nyata-nyata itulah kebenaran, dan sebuah hidayah itu tidak datang sendiri.

Berjilbab sebagaimana mudahnya berpakaian, untuk sebagian perempuan tetap tidak mudah. Banyak alasan dikemukakan ketika dipertanyakan mengapa belum berjilbab, belum siaplah..itu mah bukan wajib hanya sunnahlah...masih ada cita-citalah...ntar aja kalo dah tua..dan yang paling tragis adalah merasa belum dapat Hidayah. Dan lah-lah lainnya.
Padahal nyata-nyata itulah kebenaran, dan sebuah hidayah itu tidak datang sendiri. Tetapi perlu perjuangan, pengorbanan dan keyakinan untuk melaksanakan. Didalam Al-Quran, telah jelas tidak terbantahkan :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[QS.Al-Ahzab 33:59]

Maka ketika memasuki usia baligh hijrah pertama, terbesar dan paling utama perempuan adalah berjilbab. Hal ini diucapkan langsung oleh Rasulullah SAW dalam hadist yang diriwayatkan oleh abu Dawud:

"Dari Aisyah RA bahwa sesungguhnya Asma binti Abi Bakar masuk kehadapan Rasulullah SAW dan Asma saat itu memakai baju yang tipis. Maka Rasulullah berpaling daripadanya seraya berkata: Apabila Wanita telah dewasa (haidh), maka ia tak boleh terlihat kecuali INI dan INI. Dan Rasul menunjuk pada WAJAH dan TANGAN beliau"

Berjilbab sendiri selain memang diwajibkan bagi seorang muslimah, nyatanya perintah ini banyak sisi positifnya, nah apakah itu, beberapa ada dibawah ini:

Sebagai penjagaan dari kejahatan

Wanita sesungguhnya yang lemah secara fisik, sehingga kadang mengundang kejahatan. Namun ketika berjilbab secara benar, maka wanita tidak menampakkan aurat dan perhiasannya yang dapat menimbulkan kesempatan untuk berbuat kejahatan. Dengan berjilbab pula sesungguhnya membantu kaum lelaki untuk menjaga pandangannya.

Sebagai benteng diri dari perilaku tercela

Ketika seseorang berjilbab maka dapat dipastikan lingkungan di sekitarnya Insyalloh Sholeh, adalah tidak mungkin seseorang mengajak ke tempat maksiyat (misalnya) pada wanita berjilbab. Tepat rasanya ketika seseorang belum sempurna ibadahnya memilih berjilbab untuk semakin membentengi diri dari pergaulan menyimpang.

Sebagai bentuk rasa syukur akan nikmat Alloh

Adalah kodrat wanita terlahir fisik sempurna, cantik dan menarik. Namun alangkah kelirunya sebagai syukur atas nikmat tersebut lantas dipertunjukkan dengan tidak wajar sampai membuka auratnya.

Perilaku ini yang kadang justru mendekatkan diri pada pamer yang berujung pada kesombongan dan perbuatan boros padahal kita tahu pemboros itu saudaranya setan

وَ اتِ ذَا اْلقُرْبى حَقَّه وَ اْلمَسكِيْنَ وَ ابْنَ السَّبِيْلِ وَ لاَ تُبَذّرْ تَبْذِيْرًا. اِنَّ اْلمُبَذّرِيْنَ كَانُوْآ اِخْوَانَ الشَّيطِيْنِ، وَ كَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبّه كَفُوْرًا. الاسراء

Dan berikanlah kepada keluarga yang dekat akan haqnya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) dengan boros. Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara syaithan dan syaithan itu sangat ingkar kepada Tuhannya. [QS. Al-Israa' : 26-27]

وَ لاَ تَمْشِ فِى اْلاَرْضِ مَرَحًا، اِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ اْلاَرْضَ وَ لَنْ تَبْلُغَ اْلجِبَالَ طُوْلاً. الاسراء

Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. [QS. Al-Israa' : 37]

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: يَقُوْلُ اللهُ جَلَّ وَ عَلاَ: اَلْكِبْرِيَاءُ رِدَاءِيْ وَ اْلعَظَمَةُ اِزَارِيْ. فَمَنْ نَازَعَنِيْ وَاحِدًا مِنْهُمَا اَلْقَيْتُهُ فِى النَّارِ. ابن ماجه فى الترغيب و الترهيب


Dari Ibnu Abbas RA ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, "Alloh Jalla wa 'Alaa berfirman : Sombong itu adalah selendang-Ku dan kebesaran itu adalah pakaian-Ku, maka barangsiapa mencabut salah satunya dari-Ku, Aku akan melemparkan orang itu ke neraka". [HR. Ibnu Majah]
Justru sebuah rasa syukur ketika diberi keindahan, ia menjaga keindahannya sebaik mungkin. Bukankah barang berharga itu tidak dipamerkan pada sembarang orang?

Indahnya Ujian dalam kehidupan




Adakalanya kita menatap hidup dengan senyuman, tapi di saat yang lain kita harus menangis...

Hidup kita di dunia me
rupakan ujian dari Sang Pencipta. Ujian senantiasa mendampingi dan mewarnai kehidupan kita sebagai manusia. Kehidupan di dunia penuh dengan warna-warni. Adakalanya kita menatap hidup dengan senyuman, tapi di saat yang lain kita harus menangis,

إِنْ يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِثْلُهُ وَتِلْكَ الأيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

“Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada perang Badar) mendapat luka serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Alloh membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Alloh tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Q.S. Ali ‘Imran [3] : 140)

Jika saat ini kita sedang menghadapi ujian kehidupan yang begitu besar, maka yakinilah bahwa kita sedang disiapkan untuk menjadi orang besar, karena ujian besar hanyalah untuk orang-orang yang besar. Ujian hanya diciptakan oleh Alloh untuk menseleksi dari kumpulan manusia, manakah dari mereka yang layak jadi pemenang dan manakah yang memang akan jadi pecundang.

Pemenang senantiasa bertahan di besarnya ombak yang menghadang. Bahkan pemenang senantiasa menghadapi ujian dengan senyuman. Karena di mata pemenang, mereka meyakini bahwa setelah berakhirnya badai ujian, maka akan tibalah saatnya kesuksesan dan kebahagiaan.

Jika dianalogika, ujian kehidupan ibarat seorang mahasiswa yang akan meraih predikat sarjana di salah satu perguruan tinggi. Dia harus mengikuti ujian mulai dari semester satu sampai semester akhir. Jika mahasiswa tersebut lulus ujian di semester satu, maka dia berhak untuk naik ke semester dua. Jika ujian di semester dua lulus, maka dia pun berhak naik ke semester tiga, dan seterusnya.

Begitupun dengan ujian kehidupan. Ujian adalah media atau sarana untuk menilai kualitas keimanan seseorang. Ujian demi ujian yang menimpa diri kita, harus kita lewati dengan kesabaran, agar kita mampu meraih kualitas keimanan yang cumlaude di hadapan Alloh SWT.

Rasulullah saw pernah bersabda, "Alloh menguji hamba-Nya dengan menimpakan musibah (ujian) sebagaimana seorang menguji kemurnian emas dengan api (pembakaran). Ada yang keluar sebagai emas murni. Itulah yang dilindungi Alloh dari keragu-raguan. Ada juga yang kurang (kualitasnya) dari itu, dan itulah yang selalu ragu. Ada yang keluar seperti emas hitam dan itu yang memang ditimpa fitnah (musibah)." (H.R. Thabrani)

Seorang mukmin, tidak akan tergoyahkan imannya meski ujian datang bagai hujan badai yang menerpa batu karang. Sebab, seorang mukmin berkeyakinan bahwa sesudah kesulitan pasti ada kemudahan,

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (٥)إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (Q.S. Al Insyirah [94] : 5 – 6)

Kunci utama dalam penyelesaian ujian adalah bekal ketaqwaan. Dengan Taqwa akan mendatangkan kemudahan demi kemudahan. Dengan ketakwaan, rejeki dan pertolongan Alloh pun akan mengalir terus menerus tanpa henti. Ini merupakan janji Alloh yang disebutkan dalam firman-Nya,

فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (٢)وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

"Barangsiapa bertakwa kepada Alloh niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Alloh niscaya Alloh akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Alloh melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Alloh telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (Q.S. At-Thalaq [65] : 2 – 3).

Bekal iman dan taqwa perlu kita miliki, agar Alloh selalu menurunkan pertolongan-Nya setiapkali kita mendapatkan ujian. Karena hanya Alloh-lah yang mampu memberikan pertolongan kepada hamba-Nya.