Thursday, December 29, 2011

Peran Intelektual Muslimah dalam Mewujudkan Kebangkitan Peradaban Islam

''Wanita adalah tiang negara, apabila wanitanya baik, maka baiklah negara itu, tapi bila wanitanya buruk, maka buruk pulalah negara itu.'' (al-hadist).

Peran perempuan dalam menata dunia tidak bisa dipandang sebelah mata. Kenapa? karena dari 6,5 milyar penduduk dunia 3,23 milyar-nya perempuan, itu berarti 49 % penduduk dunia adalah perempuan, ini menunjukkan betapa signifikannya peran perempuan dan ini semakin mengukuhkan bahwa perempuan adalah salah satu pilar kekuatan SDM bangsa.

Dalam perjalanan sejarah bangsa, mahasiswi sebagai kaum intelektual adalah elemen penting yang sangat ditunggu kehadiran dan kotribusinya. Hal tersebut merupakan hal yang wajar mengingat berbagai gelar dan status yang disandangkan kepadanya yaitu sebagai iron stock. Mahasiwi sebagai iron stock diharapkan untuk menjadi tonggak penentu bangsa yang memiliki kemampuan intelektual, tangguh dan berakhlak mulia. Peran ini mengharuskan mahasiswi untuk melek dan peduli dengan lingkungan, sehingga ia akan mudah menyadari segala permasalahan yang ada di tengah masyarakat.

Sejarah telah mengukirkan banyak cerita tentang bagaimana peran mahasiswa dan mahasiswi dalam perubahan kondisi bangsa dan negaranya mulai dari zaman kenabian, zaman kolonialisme hingga zaman reformasi.

Lain dulu lain sekarang. Kini, kenyataan dilapangan berbeda dari yang diharapkan. Mahasiswa cenderung hanya mendalami ilmu-ilmu teori di bangku perkuliahan, terbawa oleh arus fashion dan kehidupan westernisasi lainnya, sedikit sekali diantaranya yang peka dan peduli terhadap kondisi masyarakat, Ketika bicara tentang mahasiswi yang terbayang adalah sosok individualis dan self centered. Lebih jauh lagi, di sebagian mahasiswi kini mengidap penyakit apolitis dan apatis yang tidak mau tahu kondisi yang terjadi saat ini.

Mahasiswi memiliki peran intelektual dan tonggak perubahan. Sebagai kaum intelektual berarti menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh dan menjadikan menimba ilmu itu sebuah kewajiban dan ibadah kepada Sang Pencipta. Ketika sebagai tonggak perubahan artinya mahasiswa harus peduli dengan lingkungan sekitar dan mampu untuk melakukan perubahan ditengah-tengah umat.

Karena sesungguhnya umat saat ini membutuhkan mutiara-mutiara untuk menerangi mereka dalam kegelapan. Siapa mutiara itu? MAHASISWI!

Perubahan apa yang seharusnya layak diusung oleh mahasiswi. Sejatinya mahasiswi adalah makhluk sang Khaliq yang setiap perbuatannya terikat pada hukum syara’. Maka perubahan yang layak diusung adalah dengan islam.

Seruan Kepada Intelektual Muslimah Indonesia

Berdasarkan itu semua, kami menyerukan kepada intelektual muslimah khususnya dan perempuan Indonesia pada umumnya untuk :

1. Memiliki identitas yang jelas yakni memegang teguh islam.

2. Melakukan pencerdasan ke tengah kampus dengan islam sebagai rahmatan lil ‘alamiin.


Saturday, December 17, 2011

Arsitek Peradaban

Suatu malam yang tenang dan hening. Semua orang telah beranjak ke rumah masing-masing untuk beristirahat. Menarik selimut hingga terlindungi dari hawa dingin yang melingkupi cakrawala Madinah.

Namun, seorang laki-laki yang disadarkan oleh rasa tanggung jawab sebagai pemimpin menyingkap selimutnya. Dia keluar menyusuri lorong-lorong Madinah yang mencekam. Merayapi jalan-jalan yang sepi dari tapak kaki manusia. Dia keluar seorang diri menembus kegelapan malam. Barangkali ia menjumpai musafir yang tidak menemukan tempat bermalam. Atau orang yang merintih kesakitan. Atau orang lapar yang belum menemukan sesuap makanan untuk mengganjal perutnya.

Barangkali ada urusan rakyatnya yang luput dari pengawasannya. Atau mungkin ada domba yang tersesat jauh di pinggir sungai Eufrat. Alloh akan menanyakannya dan menghisabnya kelak.

Jangan heran! Lelaki tersebut adalah Amirul Mukminin, Umar bin Khatthab ra.

Setelah sekian lama mengitari Madinah dan mulai merasakan lelah pada sendi-sendinya, Umar bersandar pada salah satu dinding rumah kecil di pinggiran kota Madinah. Dia beristirahat sejenak sebelum melanjutkan langkahnya menuju masjid.

Kala itu, sayup-sayup terdengar olehnya suara dua orang wanita dari dalam rumah kecil tempat ia bersandar. Percakapan seorang ibu dengan putrinya. Percakapan dimana sang putri menolak untuk mencampur susu perah dengan air putih. Sang ibu berkata, “Campurlah susu itu dengan air!”

Sang putri menjawab, “Sesungguhnya, Amirul Mukminin telah melarang kita untuk mencampur susu dengan air. Tidakkah Ibu mendengar juru bicaranya menyampaikan larangan tersebut?” “Umar tidak melihat kita. Dia tidak akan tahu apa yang kita lakukan di saat-saat terakhir malam ini.” Jawab ibunya. Putrinya pun menjawab seketika, “Wahai Ibuku, walaupun Umar tidak melihat namun Tuhan Umar melihat kita. Demi Alloh, saya tidak akan melakukan apa yang dilarang-Nya.”

Ucapan putri tadi menyejukkan hati Umar. Jawaban yang menggambarkan kejujuran dan keimanan. Akhirnya Umar menikahkan putranya, Ashim, dengan gadis yang baik itu. Gadis itu bernama Ummu Ammarah binti Sufyan bin Abdullah bin Rabi’ah Ats-Tsaqafi. Kelak ia akan melahirkan dua anak gadis yang diberi nama Laila dan Hafshah. Laila kemudian dikenal dengan panggilan Ummu Ashim.

Ummu Ashim kemudian menikah dengan Abdul Aziz bin Marwan, seorang gubernur bani Marwan. Dari pernikahan yang suci ini lahirnya seorang khalifah yang mulia, Umar bin Abdul Aziz.

Umar bin Abdul Aziz yang berjuluk Khalifah Kelima adalah pemimpin yang sang bersahaja. Tingkat keimanannya tidak perlu diragukan lagi. Umar hafal Quran sejak kecil. Matanya selalu banjir air mata karena rasa takutnya pada Alloh.

Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah, tidak ada yang menjadi mustahik. Tidak ada orang yang berhak menerima zakat. Rakyatnya hidup makmur dan sejahtera. Sementara Umar hidup sangat sederhana.

Apa yang menjadikan Umar memiliki pribadi yang begitu luar biasa? Ummu Ashim, ibunda Umar, mendidiknya sejak kecil dengan penuh kasih sayang. Mengajarkan Umar Quran dan cinta pada Alloh. Ia selalu menjaga dan mengawasi putranya.

Ummu Ashim juga dikenal sebagai wanita yang sangat dermawan dan menyayangi orang-orang yang lemah. Ummu Ashim mewakili gambaran ideal tentang sosok seorang ibu. Demikian juga ibunda dari Ummu Ashim. Rasa takutnya pada Alloh menjadikannya pribadi yang unggul.

Keteladan wanita-wanita tersebut menjadi bukti pentingya seorang ibu dalam membentuk sebuah generasi. Seorang penyair mengungkapkan bahwa ibu adalah sebuah sekolah. Apabila dipersiapkan dengan baik, berarti telah mempersiapkan suatu bangsa dengan dasar yang baik.

Tidak berlebihan tentu saja. Ibu adalah sekolah pertama dan utama bagi anak-anaknya. Ibu bagaikan wadah yang mengajarkan dan mendidik berbagai macam ilmu dalam kehidupan anak-anaknya dengan cinta dan kasih sayang. Sebagai pendidik awal, ibulah yang pertama kali meletakkan fondasi dasar –terutama dalam aspek keimanan- kepada anak dalam proses pendewasaan mental dan pematangan jiwa.

Namun, begitu banyak muslimah yang kurang bahkan tidak memahami pentingnya peran seorang ibu. Peran yang tidak bisa digantikan oleh siapapun. Menjadi ibu full time dianggap hanya ‘pekerjaan’ tidak penting. Tidak perlu sekolah yang tinggi, tidak perlu pintar untuk menjadi seorang ibu. Salah! kita justru harus menjadi muslimah yang sangat cerdas untuk bisa memenuhi peran keibuan.

Kemuliaan peran keibuan dewasa ini pun semakin tergerus oleh serangan barat. Setelah Quran dan Sunnah Nabi, hal yang kerap kali diserang oleh para orientalis adalah wanita dan perannya dalam keluarga.

Ide-ide feminisme, kesetaraan gender, dan kebebasan wanita saat ini gencar disuarakan barat kepada umat Islam. Kita pun tahu, tidak sedikit yang terjebak untuk mencicipi racun atas nama kebebasan wanita tersebut. Akhirnya, hancurlah kemuliaan dan martabat wanita diikuti dengan runtuhnya pilar-pilar keluarga dan pendidikan anak.

Islam telah mengajarkan kemuliaan seorang ibu. Sejarah telah mencatat banyak orang hebat yang lahir dari seorang ibu yang juga hebat. Tak pernah ada cacat pada peran keibuan. Tak pernah ada cela pada predikat seorang ibu. Maka tak berlebihan bila ada ungkapan bahwa surga ada di telapak kaki ibu.

Muslimah perlu menyadari peran pentingnya sebagai seorang ibu. Ibu bukan hanya tiga huruf, I – B – U, yang begitu sederhana hingga mudah dilupakan. Ibu bukan hanya predikat sepele sehingga perannya tidak perlu dipenuhi.

Ibu adalah simpul penting sebuah sambungan peradaban. Dialah yang akan mencetak sebuah generasi. Ibu adalah tiang yang akan mengibarkan kembali bendera kejayaan Islam lewat pendidikannya terhadap keluarga. ibu, tak pernah bermakna kecil. Karena Alloh lah yang menjadikannya begitu mulia.

Sunday, December 11, 2011

Izinkan

Ya Rabb..Izinkan aku menjadi sekuntum bunga, Yang dihiasi dengan kelopak akhlaq mulia, Harum wanginya dengan ilmu agama, Cantiknya karna iman dan taqwa, Namun keindahan lahirnya kusimpan rapi, Biar menjadi rahasia yg kekal abadi, Bukan perhatian mata lelaki ajnabi, Yang menjadi puncak fitnah hati. Illahi Rabbi.. Tumbuhkanlah duri yang memagari diri, Agar diriku terpelihara dari noda duniawi, Yang akan menghilangkan keharuman sejati, Yang akan memudarkan kecantikan diri. Dibalik kekurangan yg tercipta, Bukanlah alasan untuk bermuram durja, Karna setiap yang tercipta ada hikmahnya. Izinkan ya Alloh agar ku menjadi permata, Tetap menyinar walau di lumpur hina, Tetap berharga walau dimana saja... Buat ummat dan juga keluarga, Izinkan aku menjadi seindah mawar berduri, Yang menjadi impian setiap muslimah, Yang indahnya bukan untuk lelaki, Tapi permata utk yang bernama suami.

Aamiin Allahumma Aamiin....