Tuesday, September 13, 2011

Bersama Kesulitan ada Kemudahan

Dalam kehidupan, pasti akan ada yang berubah maupun yang bertambah. Entah tambahan itu apakah suatu hal yang menyenangkan ataukah hal yang menyedihkan. Banyak hal yang terjadi menjadi sebuah penyesalan bahkan awal dari alasan sebuah kesedihan yang tiada akhir.

Namun ketika kita tidak berusaha mencari alasan-alasan yang baik dari sebuah penderitaan yang kita alami, seakan-akan kesedihan yang kita alami menjadikan kita sebagai orang yang terburuk keadaannya. Sudahkah kita belajar untuk melihat ke bawah?

Ya benar.

Melihat ke bawah.

Ternyata ada saja yang masih harus kita syukuri dari banyaknya kesedihan yang kita alami. Terkadang sulit untuk kita mencari jawaban mengapa suatu musibah justru terjadi pada diri kita sendiri. Kenapa bukan orang lain? Kenapa bukan orang yang bergembira itu? Kenapa bukan orang yang selalu bahagia itu?

Tapi tidakkah kita sadari bahwa kita hanya melihat dari sudut pandang mata kita. Bagaimana dengan Alloh yang Maha Melihat dan Maha Bijaksana.

Tidak kita sadari semua, bahwa sudut pandang kita begitu sempit dan sangat sempit. Alloh melihat dari segala sudut yang tidak akan pernah dapat dijangkau oleh manusia. Bukankah kitapun manusia, milik Dia Yang Maha Kuasa.

Berhakkah sebenarnya kita protes? Padahal kita adalah milik-Nya.

Sebuah pertanyaan yang tentu kita tau jawabannya.

Berusahalah merenung dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Berusahalah untuk mencari jawaban positif dari pertanyaan-pertanyaan itu.

Suatu ketika, ada seorang melaporkan kepada Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Abu Darda’ radliallahu ‘anhu pernah mengatakan: “Fakir itu lebih aku cintai dari pada kaya dan sakit lebih aku sukai dari pada sehat.” Setelah mendengar laporan ini, Hasan mengatakan, “Semoga Alloh mengampuni Abu Darda’, adapun yang benar, saya katakan:

من اتكل على حسن اختيار الله له لم يتمن غير الحالة التي اختار الله له

Barangsiapa yang bersandar kepada pilihan terbaik yang Alloh berikan untuknya, dia tidak akan berangan-angan selain keadaan yang pilihkan untuknya.” (Kanzul Ummal, Ali bin Hisamuddin al-Hindi)

Entahlah, seakan-akan manusia terus berusaha melawan kodratnya. Hingga ia tenggelam dengan permasalahanya sendiri yang tiada habisnya.

Lalu lupakah kita tentang hakikat sebenarnya kita diciptakan?

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُون

” Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adzariyat :56)

Jadi ketika pena diangkat dan catatan takdir telah kering, haruskah kita protes?

Menjalani dengan penuh tawakal dan berusaha menunaikan kewajiban, mungkin adalah obatnya. Daripada berkubang dengan kesedihan yang kita masih belum tau apakah hikmahnya.

بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

” Tidak! Barang siapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Alloh, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah:112)

Jika Engkau seorang yang bertauhid, untuk apa bersedih, untuk apa mengeluh, untuk sesuatu yang sebenarnya akan engkau jalani.

Percayalah, bukankah Alloh tidak akan membebani seseorang diluar kesanggupannya?

Pertanyaan ini adalah hal yang harus engkau renungi. Agar engkau yakin, semua pasti bisa engkau lewati dengan baik. Karena percayalah selalu,

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (5) إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (6)

” Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5 – 6)

Jadi, untuk apa engkau bersedih lagi.

Tersenyumlah untuk dunia yang akan engakau jalani.

Itulah satu cara untuk mengurangi kesedihanmu, yang insya Alloh akan berlalu dan akan diselingi kebahagiaan kembali.

Percayalah Alloh sayang padamu.

Mengingat Mati


“Dahulu aku pernah melarang kalian berziarah kubur. Sekarang berziarahlah kalian ke kubur, karena ziarah kubur dapat melembutkan hati, membuat mata menangis dan mengingatkan kematian dan jangan berkata hujron.” (HR. Ahmad: 3/237), al-Hakim: 1/532. Sanadnya hasan sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh al-Albani dalam Ahkamul Jana’iz hal. 229)

Imam Ahmad bin Abdurrahman al-Maqdisi rahimahulloh mengatakan, “Ketahuilah, orang yang tenggelam dan terlena dengan dunia, maka hatinya akan lalai dari mengingat mati, dia tidak mengingatnya. Andaikan ingat, dia akan benci dan lari darinya. Orang yang semacam ini, ingat mati tidak membawanya kecuali bertambah jauh dari Alloh.” (Mukhtashor Minhaj al-Qashidin hal. 482)

Bila Akhirat Menjauhi kita

Akhirat. Kampung tempat segalanya berkesudahan. Mengakhiri jalan panjangnya. Rumah penghabisan, tempat segala hiruk pikuk dunia ditimbang, lalu ditunaikan hak orang-orang yang punya hak. Serta diambilkan bayaran kekurangan orang-orang yang berbuat curang.

Nun di sana. Kita akan bersua. Seperti air sungai yang mengalir berliku, kesana pula bermuara pada akhirnya. Tetapi akhirat bukan sekadar tempat berkesudahan yang . terpaksa. Atau tempat pembuangan segala isi alam semesta. Ya, pada ketetapan Alloh, taqdir dan kuasa-Nya, tak ada yang bisa lari dari akhirat. Tapi bagi orang-orang beriman akhirat adalah juga tempat menggantungkan cita-cita, harapan, dan puncak kebahagiaan abadi. Lain halnya bagi orang-orang yang bergelimang dosa, akhirat adalah tempat perhempasan yang menyakitkan. Seperti onggokan sampah yang tak kuasa terbawa arus. Melaju. Di sana pula sampah itu mengalir. Lalu terhenti seketika. Menebus segala kesalahannya. Dengan cara yang sangat mengerikan. Ia mungkin dahulu mengatakan, seperti yang diabadikan Al-Qur’an, "Dan tentu mereka akan mengatakan (pula), "Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan. " (QS. Al-An’am: 29). Maka manusia sampah punya akhirannya sendiri di kampung akhirat sana. Akhiran sebagai sampah, atau bahkan lebih nista dari sampah. Suasananya sangat mengharukan. "Dan, jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, lalu mereka berkata, ‘Kiranya kami dikembalikan (ke dunia) dan tidak mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, serta menjadi orang-orang yang heriman,’ tentulah kamu melihat suatu peristiwa yang mengharukan." (Al-An’am: 27).

Akhirat. Jauh dan dekatnya sangat tergantung pada cara kita mengejarnya. Lama dan sebentarnya tergantung bagaimana kita berjalan menuju ke sana. Sejatinya kita bertaruh untuk sesuatu yang sangat pasti. Akhirat yang sering terlupakan. Ia semestinya hadir di setiap jenak hidup kita, meski terasa asing dan tak tergambarkan. Ia dekat tapi sering dianggap jauh. Ia nyata, bilapun sering dirasa sebatas cerita. Seperti pemangsa bertaring, ia bisa menyergap tiba tiba, tapi betapa banyak orang yang tak pernah menyadarinya.

Akhirat. Seperti sahabat sehati. Ia akan terus melambai, bila kita masih jujur padanya. Ia akan merindukan kita, bila kita juga merindukannya. Ia akan menyiapkan sambutan untuk kita, bila kita masih setia berjalan menuju kepadanya. Kesetiaan seorang Mukmin yang mencari cinta sejati: cinta yang menghidupkan dan memastikan harapan. Kesetiaan seorang Mukmin yang mengerti bahwa dunia hanya teman sementara, kawan yang menangkar mawar tapi juga durinya, madu tapi juga racunnya, manis tapi juga pahitnya.

Maka, di tengah hidup yang sangat penat dan melelahkan, bertanya tentang kampung akhirat yang abadi adalah keniscayaan. Di tengah gemerlap hidup yang memacu peradaban materinya, bertanya tentang kabar sahabat sejati adalah kemestian: apa kabar akhirat?

Tapi ia akan lebih berhak bertanya: apa kabar kita sendiri? Masihkah kita menjadi pengejar akhirat? Di sini segalanya terasa sangat adil. Bila kita menjauh, Ahirat pun akan menjauhi kita. Bila kita menghindarinya, ia juga akan menghindari kita. Tapi bila kita mendekat, akhirat pun akan mendekat.

Kita mesti bersyukur, dari sisi yang lain, betapa dekat atau jauhnya akhirat bisa kita rasa, di lubuk hati yang paling dalam, di kedalaman iman yang bercahaya, kita bisa bertanya. Pada segala suasana jiwa, gambaran pikiran dan bahkan pilihan selera.

Maka tutur kata kita adalah bahasa akhirat kita, menjauhi atau mendekati. Kerja-kerja dan kebanggaan prestasi kita adalah lorong-lorong akhirat kita, menjauhi atau mendekati.

Kadar keimanan kita, adalah tambatan-tambatan akhirat kita, kuat atau lemahnya. Juga obsesi-obsesi kemanusiaan kita, adalah prasasti yang ditonggakkan di muka, tentang akhirat kita, kokoh atau lemahnya. Sedangkan jumlah terhitung dari kebajikan-kebajikan kita, adalah benih-benih pengharapan akan penerimaan Alloh, kunci-kunci akhirat kita, berjodoh atau tidaknya.

Akhirat, sahabat abadi itu masih menyisakan kesempatan untuk kita. Setidaknya hingga jenak ini. Di sini. Saat kita masih seperti ini. Jadi, cermin itu ada di sini, bersama diri kita sendiri, bersama kadar iman kita, di tengah kadar pasang surutnya. Sementara segala dosa dan kesalahan kita, adalah bebatuan terjal yang menghambat perjumpaan dengan sahabat sejati: akhirat yang dirindukan.

Segala yang hidup punya pertanda. Begitu pun akhirat, tempat segala kehidupan sejati bersaksi, ada banyak pertanda. Apakah ia bersama kita atau tidak. Apakah ia mendekat kepada kita atau menjauh. Pada cermin jati diri itu ada cerita, tentang akhirat yang kian menjauh atau lebih mendekat.

Bila suatu hari, terasa sangat sepi, mungkin itu tandanya kita harus bertanya, adakah akhirat telah menjauhi kita?

Tutur kata kita adalah bahasa akhirat kita, menjauhi atau mendekati. Kerja-kerja dan capaian prestasi kita adalah lorong-lorong akhirat kita, menjauhi atau mendekati. Pada itu semua, mari kita bertanya, sejujurnya. Wallahu’alam