Saturday, October 24, 2009

KESEMPURNAAN ISLAM

Chapter 1 ( Sistem Ekonomi Islam)

Islam sebagai agama yang sempurna tidak hanya mengatur hubungan seorang hamba dengan Rabb saja, tetapi juga islam mempunyai seperangkat sistem yang erat kaitannya dengan kehidupan antara manusia satu dengan yang lainnya. Pada artikel ini, akan diberikan gambaran tentang ekonomi Islam sebagai sebuah aturan (nizam) yang dapat memecahkan problematika kehidupan manusia, yang bertitik tolak dari pandangan dasar tentang manusia dan kehidupan ini (aqidah). Islam memandang bahwa manusia memiliki keterikatan dengan hokum dan tata aturan dari Pencipta Alam Semesta ini.

Sistem Ekonmi Islam
Menurut An Nabhani dalam bukunya An-Nizam Al-Iqtishadi Fi Al-Islami, system ekonomi Islam ditegakkan di atas tiga asas utama, pertama, konsep kepemilikan (al-milkiyah); Kedua, pemanfaatan kepemilikan (al tasharuf fil al-milkiyah); Ketiga, distribusi kekayaan di antara masyarakat (tauzi'u altsarwah bayna al-naas).



I. Konsep Kepemilikan (al-Milkiyah)
Islam memiliki pandangan yang khas tentang harta. Bahwa harta pada hakikatnya adalah milik Allah (Qs. 24: 33). Harta yang dimiliki manusia, sesungguhnya merupakan pemberian dari Allah (Qs. 57: 7). Kata rizq artinya pemberian (a'tha). Atas dasar ini, kepemilikan atas suatu barang ? yang artinya ada proses perpindahan kepemilikan- harus selalu didasarkan pada aturan-aturan Allah SWT. Seseorang tatkala hendak memiliki sepeda motor, maka cara untuk mendapatkan ? kepemilikan? sepeda motor, maka cara untuk mendapatkan ?kepemilikan? sepeda motor tersebut harus didasarkan pada aturan-aturan Allah SWT, misalnya, dengan membeli, atau diberi hadiah, atau dengan cara-cara lain yang dibenarkan oleh hukum Islam. Pandangan di atas berbeda dengan paham kapitalisme, yang menganggap ?harta milik adalah pencurian? yang muncul dari pernyataan klasik Proudhon. Artinya negara-negara maju memperoleh kekayaan yang mereka nikmati dari tindakan mereka merampas dan menguras harta negara-negara lain dan kecenderungan ini merupakan faktor pendorong kapitalisme (Berger, Peter L., ?Piramida Pengorbanan Manusia: satu jawaban diantara sosialisme dan kapitalisme?, IQRA Bandung,1983). Pandangan ini menghasilkan sebuah aksioma ?harta adalah milik manusia?, maka manusia bebas untuk mengupayakannya, bebas mendapatakan dengan cara apapun, dan bebas pula memanfaatkannya. Dari pandangan ini muncul pula falsafah hurriyatu al-tamalluk (kebebasan kepemilikan), yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Manusia bebas menentukan cara mendapatkan dan memanfaatkan harta, dengan cara apapun, meskipun cara tersebut bertentangan dengan norma dan etika masyarakat, atau bahkan dengan aturan Islam.

Islam juga berbeda dengan sosialisme, yang tidak mengakui kepemilikan individu. Mereka berpendapat bahwa harta adalah milik negara. Seseorang hanya diberi barang dan jasa terbatas yang diperlukan dan dia bekerja sebatas yang dia bisa. Pada hakikatnya, Sosialisme telah mematikan 'kreativitas manusia'. Motif-motif internal yang bersifat individual telah dikebiri. Prinsip ini, semula diyakini, dapat menghancurkan dominasi ekonomi oleh satu atau beberapa kelompok manusia, namun akibat yang ditimbulkan justru lebih mengerikan. Karena kepemilikan individu tidak diakui, maka motif-motif pencapaian ekonomi yang bersifat pribadi menjadi lemah, bahkan tidak nampak sekali. Tidak ada gairah kerja lagi pada individu-individusosialis. Akhirnya, timbullah penurunan drastic produktivitas masyarakat, karena masyarakat telah kehilangan hasrat untuk memperoleh keuntungan (profit motives), suatu hal yang sangat manusiawi. Tidaklah aneh bila produksi pertanian kolektif RRC, tidak mungkin melebihi tingkat produksi individual rakyat negara Kapitalis.

Jadi Islam memiliki berbeda dengan Kapitalisme, yang tidak mengatur kuantitas (jumlah) dan cara perolehan harta serta pemanfaatannya. Begitu pula, Islam berbeda dengan Sosialisme yang menjadikan negara mengatur kepemilikan harta. Dalam hal kepemilikan terhadap harta, Islam tidak mengenal kebebasan kepemilikan, sebagaimana sistem Kapitalisme, dan pembatasan mutlak, sebagaimana sistem Sosialisme. Islam hanya mengatur cara memiliki barang dan jasa serta cara pemanfaatan pemilikan tersebut. Kepemilikan adalah izin dari Syaari? (Allah SWT) untuk menguasa dzat dan mnafaat suatu benda. Menurut Dr. Husain Abdullah, kepemilikan (milkiyah) dibagi menjadi tiga macam, yakni: (1) kepemilikan individu (milkiyah fardiyah), (2) kepemilikan umum (milkiyah ?amah) dan (3) kepemilikan negara (milkiyah daulah).

I.I. Kepemilikan Individu (al-Milkiyah ?Fardiyah)
Kepemilikan individu adalah izin Syaari? (Allah SWT) kepada individu untuk memanfaatkan barang dan jasa. Adapun sebab-sebab pemilikan (asbabu al-tammaluk) individu, secara umum ada lima macam: 1) Bekerja (al 'amal), 2) Warisan (al-irts), 3) Kebutuhan harta untuk mempertahankan hidup, 4) Pemberian negara (i'thau al-daulah) dari hartanya untuk kesejahteraan rakyat berupa tanah pertanian, barang dan uang modal, dan 5) Harta yang diperoleh individu tanpa harus bekerja.Harta dapat diperoleh melalui bekerja, mencakup upaya menghidupkan tanah mati (ihyau al-mawat), mencari bahan tambang, berburu, perantara (samsara), kerjasama mudharabah, bekerja sebagai pegawai. Sedang harta yang diperoleh tanpa adanya curahan daya dan upaya mencakup, hibah, hadiah, wasiat, diyat, mahar, barang temuan, santunan.

Islam melarang seorang muslim memperoleh barang dan jasa dengan cara yang tidak diridhai Allah SWT, seperti judi, riba, pelacuran dan perbuatan maksiyat lain. Islam juga melarang seorang muslim untuk mendapatkan harta melalui cara korupsi, mencuri, menipu. Sebab hal ini pasti merugikan orang lain dan menimbulkan kekacauan di tengah-tengah masyarakat.

I.II. Kepemilikan Umum (al-Milkiyah ?Amah)
Pemilikan umum adalah izin dari Syaari' (Allah SWT) kepada masyarakat secara bersama untuk memanfaatkan benda. Benda-benda ini tampak pada tiga macam, yaitu:

1. Fasilitas umum, yaitu barang-barang yang mutlak diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-haru seperti air, api (bahan bakar, listrik, gas), padang rumput (hutan).

2. Barang-barang yang tabiat kepemilikannya menghalangi adanya penguasaan individu seperti; sungai, danau, jalan, lautan, udara, masjid dan sebagainya.

3. Barang tambang dalam jumlah besar yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, seperti emas, perak, minyak dan sebagainya.


Ketiga macam benda di atas telah ditetapkan oleh syara' sebagai kepemilikan umum, berdasarkan sabda Rasulullah Saw:?Manusia berserikat (punya anadil) dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.? (HR. Ibnu Majah)

Pengelolaan terhadap kepemilikan umum pada prinsipnya dilakukan oleh negara, sedangkan dari sisi pemanfaatannya dinikmati oleh masyarakat umum. Masyarakat umum bisa secara langsung memanfaatkan sekaligus mengelola barang-barang 'umum' tadi, jika barang-barang tersebut bisa diperoleh dengan mudah tanpa harus mengeluarkan dana yang besar seperti, pemanfaatan air disungai atau sumur, mengembalikan ternak di padang penggembalaan dan sebagainya. Sedangkan jika pemanfaatannya membutuhkan eksplorasi dan eksploitasi yang sulit, pengelolaan milik umum ini dilakukan hanya oleh negara untuk seluruh rakyat dengan cara
diberikan cuma-cuma atau dengan harga murah. Dengan cara ini rakyat dapat memperoleh beberapa kebutuhan pokoknya dengan murah.

Hubungan negara dengan kepemilikan umum sebatas mengelola, dan mengaturnya untuk kepentingan masyarakat umum. Negara tidak boleh menjual aset-aset milik umum. Sebab, prinsip dasar dari pemanfaatan adalah kepemilikan. Seorang individu tidak boleh memanfaatkan atau mengelola barang dan jasa yang bukan menjadi miliknya. Demikian pula negara, tidak boleh memanfaatkan atau mengelola barang yang bukan menjadi miliknya. Laut adalah milik umum, bukan milik negara. Pabrik-pabrik umum, tambang, dan lain-lain adalah milik umum, bukan milik negara. Atas dasar ini, negara tidak boleh menjual asset yang bukan menjadi miliknya kepada individu-individu masyarakat.
Timbulnya dominasi ekonomi, serta terakumulasinya kekayaan pada sejumlah individu, lebih banyak disebabkan karena kelompok-kelompok tersebut telah menguasai aset-aset umum, atau sektor-sektor yang menjadi hajat hidup masyarakat banyak; karena ada kebijakan dari Pemerintah. Misalnya; privatisasi BUMN atas sektor publik.

I.III. Kepemilikan Negara (al-Milkiyah Daulah)
Kepemilikan negara adalah izin dari Syaari' atas setiap harta yang hak pemanfaatannya berada di tangan negara. Misalnya harta ghanimah, fa'i, khumus, kharaj, jizyah 1/5 harta rikaz, ushr, harta orang murtad, harta orang yang tidak memiliki ahli waris, dan tanah milik negara. Milik negara digunakan untuk berbagai keperluan yang menjadi kewajiban negara seperti menggaji pegawai, keperluan jihad dan sebagainya.

II. Pemanfaatan Kepemilikan (al-Tasharuf al-Milkiyah)
Kejelasan konsep kepemilikan sangat berpengaruh terhadap konsep pemanfaatan harta milik (tasharuf al-mal), yakni siapa sesungguhnya yang berhak mengelola dan memanfaatkan harta tersebut Pemanfaatan pemilikan adalah cara -sesuai hukum syara?- seorang muslim memperlakukan harta miliknya. Pemanfaatan harta dibagi menjadi dua topik yang sangat penting, yakni: (1) Pengembangan harta (tanmiyatu al-mal), dan (2) infaq harta (infaqu al-mal).

II.I. Pengembangan Harta (Tanmiyatu al-Mal)
Pengembangan harta adalah upaya-upaya yang berhubungan dengan cara dan sarana yang dapat menumbuhkan pertambahan harta.

Islam hanya mendorong pengembangan harta sebatas pada sektor riil saja; yakni sektor pertanian, industri dan perdagangan. Islam tidak mengatur secara teknis tentang budidaya tanaman; atau tentang teknik rekayasa industri; namun Islam hanya mengatur pada aspek hukum tentang pengembangan harta. Dalam sektor pertanian misalnya, Islam hanya mengatur pada aspek hukum tentang pengembangan harta. Dalam sektor pertanian misalnya, Islam melarang seorang muslim menelantarkan tanahnya lebih dari tiga tahun, bolehnya seseorang memiliki tanah terlantar tersebut bila ia mengolahnya, larangan menyewakan tanah, musaqah, dan lain-lain. Dalam perdagangan, Islam telah mengatur hukum-hukum tentang syirkah dan jual beli. Demikian pula dalam hal perindustrian, Islam juga mengatur hukum produksi barang, manajemen dan jasa, semisal hukum perjanjian dan pengupahan.

Islam melarang beberapa aktivitas-aktivitas pengembangan harta, misalnya, riba nashi'ah pada perbankan, dan riba fadhal pada pasar modal. Menimbun, monopoli, judi, penipuan dalam jual beli, jual beli barang haram dan sebagainya.

II.II. Infaq Harta (Infaqu al-Mal)
Infaq harta adalah pemanfaatan harta dengan atau tanpa ada kompensasi atau perolehan balik. Berbeda dengan sistem Kapitalisme, Islam mendorong ummatnya untuk menginfaqkan hartanya untuk kepentingan umat yang lain -terutama pihak yang sangat membutuhkan. Islam tidak hanya mendorong kaum muslim untuk memanfaatkan hartanya dengan kompensasi atau perolehan balik yang bersifat materi saja, akan tetapi juga mendorong ummatnya untuk memperhatikan dan menolong pihak-pihak yang memperhatikan dan menolong pihak-pihak yang membutuhkan, serta untuk kepentingan ibadah, misalnya zakat, nafkah anak dan istri, dorongan untuk memberi hadiah, hibah, sedekah pada fakir miskin dan orang yang memerlukan (terlibat hutang, keperluan pengobatan dan musibah); infaq untuk jihad fii sabilillah.

Islam telah melarang umatnya untuk menggunakan hartanya pada hal-hal yang dilarang oleh hukum syara', seperti riswah (sogok), israf, tadbir, dan taraf (membeli barang atau jasa haram), serta mencela keras sikap bakhil. Pelarangan pemanfaatan harta pada jalan-jalan tersebut akan menutup pintu untuk kegiatan-kegiatan tersebut, yang telah terbukti telah menimbulkan apa yang dinamakan dengan pembengkakan biaya (karena ada biaya siluman).


III. Konsep Distribusi Kekayaan (Tauzi? al-Tsarwah)
Islam telah menetapkan sistem distribusi kekayaan diantara manusia dengan cara sebagai berikut:

III.I. Mekanisme Pasar
Mekanisme pasar adalah bagian terpenting dari konsep distribusi. Akan tetapi mekanisme ini akan berjalan dengan alami dan otomatis, jika konsep kepemilikan dan konsep pemanfaatan harta berjalan sesuai dengan hokum Islam. Sebab, dalam kehidupan ekonomi modern seperti saat ini, di mana produksi tidak menjadi jaminan konsumsi, melainkan hanya menjadi jaminan pertukaran saja, maka pengeluaran seseorang merupakan penghasilan bagi orang lain. Demikian pula sebaliknya.

III.II. Bentuk Transfer Dan Subsidi
Untuk menjamin keseimbangan ekonomi bagi pihak yang tidak mampu bergabung dalam mekanisme pasar -karena alasan-alasan tertentu, seperti; cacat, idiot dan sebagainya-maka Islam menjamin kebutuhan mereka dengan berbagai cara sebagai berikut:

1. Wajibnya muzakki membayar zakat yang diberikan kepada mustahik, khususnya kalangan fakir miskin.

2. Setiap warga negara berhak memanfaatkan pemilikan umum. Negara boleh mengolah dan mendistribusikannya secara cuma-cuma atau dengan harga murah.

3. Pembagian harta negara seperti tanah, barang dan uang sebagai modal kepada yang memerlukan.

4. Pemberian harta waris kepada ahli waris.

5. Larangan menimbun emas dan perak walaupun dikeluarkan zakatnya.


IV. Bagaimana Pelaksanaanya?
Islam mendorong setiap manusia untuk bekerja dan meraih sebanyak-banyaknya materi. Islam membolehkan tiap manusia mengusahakan harta sebanyak ia mampu, mengembangkan dan memanfaatkannya sepanjang tidak melanggar ketentuan agama. Sektor swasta didorong untuk berkembang semaksimal mungkin.

Motif untuk menghasilkan produk bermutu tinggi dengan harga murah agar unggul dalam persaingan bebas, akan mendorong dan menumbuhkan kreatifitas manusia secara optimal. Atas dasar ini, pengembangan SDM yang unggul -beriman, berpengetahuan, berketrampilan tinggi, dengan kepribadian yang terguh- mutlak diperlukan.

Keunggulan sains dan teknologi di masa kejayaan Islam sedikit telah memberikan gambaran bagaimana kesungguhan umat Islam untuk "menguasai dunia untu menuju akhirat". Islam menghargai setiap muslim yang bekerja keras dan menganggapnya sebagai bagian dar ibadah. Nabi Muhammad sangat menghargai orang yang bekerja keras untuk mendapatkan nafkah. Suatu ketika, Rasulullah mencium tangan sahabat Saad bin Muadz yang amat kasar lantaran habis bekerja keras, seraya berkata, ?affani yuhibbuhuma allahu ta?la? (Dua tangan yang dicintai Allah SWT).

Islam tidak melarang umatnya untuk memiliki sebanyak-banyaknya harta. Bahkan
ada beberapa kewajiban Islam yang menuntut dan membutuhkan kemampuan keuangan
yang cukup. Seperti haji, jihad fi sabilillah, serta kewajiban-kewajiban Islam
lainnya.

Dalam sejarah, tidak sedikit para sahabat yang dikenal sebagai konglomerat, seperti Abu Bakar, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf. Abdurrahman bin Auf, sebelum wafatnya menghibahkan 50.000 dinar setara dengan 5 milyar rupiah untuk umat pada saat itu. Ini menunjukkan bahwa, motif-motif individu untuk meraih sebanyak-banyaknya barang dan jasa akan mendorong produktivitas individu-individu yang ada di dalam masyarakat tersebut. Sebaliknya, jika motif-motif ini dikekang, bahkan dieliminir, maka akan menimbulkan turunnya
produktivitas barang dan jasa. Bahkan akan melahirkan masyarakat malas yang enggan melakukan inovasi dan produksi secara maksimal.

Harta yang dimiliki seorang muslim tidak boleh dimanfaatkan dan dikembangkan dengan cara yang bertentangan dengan syari'at Islam. Islam telah melarang aktivitas perjudian, riba, penipuan, serta investasi di sektor-sektor maksiyat. Sebab, aktivitas-aktivitas semacam ini justru akan menghambat produktivitas manusia. Perjudian, valas, minuman keras, akan berdampak kemerosotan akhlaq dan etika masyarakat, serta menurunkan produktivitas pekerja dan buruh pabrik. Bahkan lebih keji lagi, aktivitas tersebut akan mengeliminir nilai-nilai kemanusiaan dan menghancurkan sendi-sendi masyarakat, suatu hal yang diupayakan dalam pembangunan manusia. Islam juga melarang kaum muslim melakukan aktivitas yang dapat melabilkan ketangguhan mekanisme pasar, semisal penimbunan barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh publik, serta dominasi atas sektor-sektor umum. Untuk mencegah tindakan-tindakan semacam ini, negara akan mengambil tindakan tegas bagi para pelanggarnya.

Tanah sebagai salah satu komponen ekonomi, harus difungsikan secar optimal. Tanah yang ditelantarkan lebih dari tiga tahun tanah oleh pemiliknya, akan disita oleh negara dan diberikan kepada orang yang mau menggarapnya. Optaimalisasi fungsi tanah akan mendorong kegiatan ekonomi terutama sektor pertanian, sekaligus akan berpengaruh kepada sektor-sektor ekonomi lainnya. Disis lain, tidak ada seorangpun, termasuk negara, berhak meminta paksa atau membeli paksa tanah milik perseorangan, kecuali dengan kerelaan si pemilik. Mamaksa di luar keridhaanpemilik tanah adalah tindkan kedzhaliman, apalagi bila tanah itu adalah gantungan hidupnya.

Individu-individu tertentu, khususnya yang berhasil mendapatkan kekayaan, Islam telah mendorong individu-individu tersebut untuk berinfak kepada orang lain. Ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa, tidak semua orang berkesempatan, berkemampuan dan mendapatakan keberuntungan yang sama. Oleh karena itu, setelah kebutuhan-kebutuhannya terpenuhi ia wajib menolong orang-orang yang membutuhkan, termasuk dibebani kewjiban-kewajiban lain, semisal zakat. Sebab, pada setiap harta sesungguhnya terdapat hak orang lain. Bagi pihak yang mampu mengeluarkan zakat, wajib mengeluarkan zakat kepada pihak yang berhak (mustahiK). Di sisi lain, harta waris harus dibagikan kepada ahli warisnya. Dari sini, harta akan beredar secara otomatis. Bukan hanya diantara orang kaya dan mampu saja (melalui mekanisme ekonomis), tetapi juga diantara orang-orang miskin dan orang yang membutuhkan (melalui mekanisme non-ekonomis, tetapi berdampak ekonomis). Islam juga mengingatkan orang yang berkecukupan untuk tidakmembelanjakan hartanya secara israf, tadzbir, dan taraf (berlebih-lebihan). Islam mengutuk berbangga-bangga dengan banyaknya harta, sikap angkuh dan sombong. Diingatkan, bila hendak menghancurkan suatu negeri, Allah SWT, membiarkan golongan mutrafin (hartawan) untuk berbuat sekehendak hatinya, termasuk ketika ia dengan kekuatannya berkolusi menciptakan praktek monopoli.

Pemerintah Islam bertugas mengatur kehidupan seluruh masyarakat dengan cara Islam. Dalam hal usaha, pemerintah mendorong berkembangnya sektor riil -perdagangan, pertanian, industri dan jasa. Pemerintah juga harus bertindak adil kepada rakyat. Pemerintah tidak boleh memberikan hak-hak istimewa (monopoli) dalam bentuk apapun (monopoli bahan baku, produksi, pasar) hanya kepada pihak tertentu yang kebetulan dekat dengan penguasa. Seluruh hak memiliki hak yang sama. Pemberian hak istimewa kepada seseorang berarti telah mendzalimi pihak yang lain. Pemerintah harus menjaga agar perdagangan bebas (free trade) berjalan fair. Para pengusaha diperbolehkan bersaing, akan tetapi dilarang saling menikam.

Pada sisi lain, negara tidak mentolerir sedikitpun berkembangnya sector non riil, seperti perdagangan uang, perbankan dengan riba, pasar modal dan sebagainya. Pada dasarnya, bila diteliti dengan mendalam sektor-sektor semacam ini telah menyebabkan hal-hal yang merugikan perekonomian secara umum. Sebagaimana telah disebutkan di dalam Islam, yakni ?kayla yakuna duulatan bayna al-aghniai minkum? (agar harta tersebut tidak beredar di kalangan orang-orang kaya diantara kalian saja), yakni beredarnya uang hanya diantara orang kaya saja. Data saat ini menunjukkan bahwa, terdapat 10 triliun uang yang beredar di lantai bursa. Bila 80% di antaranya terinvestasikan dalam berbagai perusahaan lewat pasar perdana, berarti terdapat tidak kurang 2 triliun rupiah yang ?melayang-layang?, yang berarti tidak menimbulkan efek secara langsung terhadap kegiatan ekonomi secara luas. Andai saja uang sejumlah itu diinvestasikan di sektor riil, berapa pabrik dapat didirikan, berapa tenaga kerja yang dapatdiserap. Berkembangnya kegiatan-kegiatan ekonomi riil akan berdampak pada terserapnya tenaga kerja, sehingga pengangguran akan berkurang, kesejahteraan naik dan merata. Ijin negara untuk hanya mengembangkan sector riil (investasi) jelas berefek pada terbukanya lapangan pekerjaan dalam jumlah yang cukup
berarti, yang itu berarti akan menghasilkan pertumbuhan sekaligus pemerataan.

Disisi lain, sistem kepegawaian harus mengikuti pula aturan Islam. Diantaranya adalah, adanya akad kepegawaian yang jelas -mencakup hak dan kewajiban pegawai- kemudian ?membayar sesuai kerja yang dilakukan secara wajar?, ?membayar upah sebelum kering?, dan semua berjalan ?antaradhin? (dengan saling ridha tanpa kedzaliman satu sama lain).

Negara harus mendorong munculnya pusat-pusat pertumbuhan di berbagai wilayah agar kesenjangan antar kawasan tidak terjadi. Kebijakan ini pada gilirannya juga akan mendorong pemerataan kesejahteraan. Negara juga mendorong berkembangnya usaha kecil dan menengah, dan memberikan kesempatan yang sama dengan usaha besar baik dalam akses pendanaan, pasar, ketrampilan dan teknologi maupun dalam hal regulasi. Bila diperlukan, untuk melindungi hak-hak mereka, pemerintah mengeluarkan undang-undang perlindungan usaha kecil. Ini adalah wujud perlakuan adil negara pada semua pengusaha. Ini juga perwujudan upaya tawazun (penyeimbangan) yang dilakukan negara terlebih bila terdapat ketimpangan pendapatan dan kesempatan, sebagaimana langkah Rasulullah yang hanya membagikan harta fa'i Bani Nadlir kepada kaum Muhajirin yang umumnya miskin, tidak kepada kaum Anshar yang umumnya sudah kaya, agar (duulah) kesempatan dan harta tidak hanya beredar diantara orang kaya saja (Qs.59: 7-8).

Peningkatan kesejahteraan juga dicapai dengan cara memberikan kepada individu dalam memanfaatkan pemilikan umum (air, minyak, gas, listrik dan lainnya) secara gratis atau dengan harga murah. Kepemilikan umum semacam ini dikelola hanya oleh negara. Swastanisasi memang cenderung lebih efisien, tetapi ini bertentangan dengan prinsip pemilikan umum dan tugas negara sebagai pelayan rakyat. Selain itu swastanisasi sektor publik biaanya menjadikan harga produk lebih mahal. Ini harus dihindari karena jelas akan merugikan rakyat banyak.
Bila rakyat dapat memperoleh kebutuhan pokoknya dengan harga murah, biaya hidup dapat ditekan. Uang yang ada dapat digunakan untuk keperluan lain bagi kesejahteraan mereka. Apalagi bila negara dengan kemampuannya memberikan subsidi (apalagi cuma-cuma) untuk kesehatan, pendidikan dan sarana sosial lain, maka kebutuhan dasar penduduk akan dengan mudah tercukupi. Jaminan sosial (social security) semacam ini jelas akan meningkatkan kesejahteraan golongan miskin dan memberikan perlindungan pada masyarakat dalam kesulitan ekonomi. Optimalisasi sumberdaya yang tidak selalu menghasilkan optimalisasi distribusi dapat diatasi.

Secara teoritis, kegiatan ekonomi (perdagangan, pertanian dan industri) yang sehat akan mendistribusikan kekayaan secara normal. Tetapi dalam faktanya selalu saja dimungkinkan terjadinya anomali yang disebabkan baik karena faktor alamiah (kelemahan fisik, sumberdaya alam) maupun musibah, yang pada gilirannya menyebabkan distribusi normal yang diharapkan tidak berjalan sehingga terjadi ketimpangan. Untuk lapisan masyarakat yang memang benar-benar miskin atau tidak memiliki kemampuan, negara sesuai dengan prinsip tawazun tadi, berhak memberikan miliknya berupa tanah, atau barang dan uang untuk modal usaha. Disamping menjadi kewajiban para karib kerabat dan tetangganya untuk mendorong dengan memberikan zakat atau infaq. Dengan cara lain, mereka yang tidak terikutkan dalam mobilitas ekonomi ?ditolong? secara sengaja. Harapnnya, setelah ini mereka dapat mengikuti derap kemajuan ekonomi masyarakat, bukan menjadi lapisan yang kian terpinggirkan.

Faktor lain yang tidak kalah penting adalah penggunaan emas dan perak sebagai mata uang negara. Dengan mata uang ini, dimana nilai intrinsik sama dengan nilai nominal, menjadikan uang Islam tidak tergantung pada mata uang manapun. Ia akan mengukur dengan dirinya. Dengan demikian, inflasi yang berakibat penurunan nilai mata uang, yang berarti pula meningkatnya laju proses pemiskinan -karena uang ditangan rakyat makin tidak bernilai alias harga barang makin tak terjangkau-tidak akan terjadi.

Jelaslah, negara dalam Islam berfungsi sangat sentral karena fungsinya sebagai ri'ayatu suuni al-ummah (pengatur kehidupan umat) agar tenang secara politis dan sejahtera secara ekonomi. Jadi tidak sekedar berfungsi minimal (minimalist state) seperti dalam sistem pasar bebas, atau mendominasi perekonomian seperti dalam sistem sosialis. Tidak juga terjerumus terlalu jauh mengatur sehingga memberikan monopoli, proteksi, hak istimewa kepada pengusaha 9tertentu), atau ekstrim yang lain pemerintah terlalu lemah sehingga tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi penyimpangan para pelaku ekonomi, khususnya dari pihak swasta kuat.

Untuk menjaga agar sistem ekonomi Islam sesuai dengan aturan Islam, peran dan fungsi negara -untuk mengontrol pelaksanaan sistem ekonomi Islam- menjadi sangat signifikan. Peran seperti ini hanya mungkin dilakukan bila pemerintah digerakkan oleh para birokrat yang memiliki kepribadian mulia, bersih, yang bekerja benar-benar demi kepentingan kesejahteraan rakyat. Untuk menjaga mental birokrat agar tetap bertindak jujur dan objektif. Islam melarang keras praktek pemberian suap atau komisi pada pegawai pemerintah. Atas dasar ini pegawai negeri harus mendapat gaji yang layak. Selain kontrol dari negara, harus ada pula pengawasan dari masyarakat. Kontrol masyarakat dan individu agar negara serta masyarkat berjalan sesuai dengan koridor hukum Islam merupakan kewajiban penting bagi kaum muslimin.
(http hayatulislam. net)

No comments:

Post a Comment