Adalah
kenyataan sejarah bahwa sebuah generasi sangat menentukan eksistensi dan perjalanan
sebuah bangsa.
Kejayaan dan kehancuran suatu bangsa tergantung kepada kualitas generasinya. Generasi berkualitas
yang ideal adalah generasi yang melahirkan barisan pemimpin bangsa yang tidak
hanya memiliki keahlian, melainkan juga memiliki kepribadian istimewa yang
ditunjukkan oleh integritasnya pada nilai-nilai kebenaran. Kepribadian ini
merupakan pancaran dari kesatuan pola pikir dan pola sikap yang benar dan
luhur. Generasi seperti inilah yang bisa diharapkan menjadi penerus bangsa,
yang akan membawa bangsanya menjadi bangsa besar, kuat, dan terdepan. Generasi
seperti ini bila menjadi pemimpin tidak akan menggadaikan negerinya diperas dan
dijajah oleh penjajah asing demi untuk memperkaya dirinya dan keluarganya.
Tetapi sebaliknya, mereka rela berkorban untuk melindungi negerinya dari
cengkraman penjajahan dalam bentuk apapun.
Indonesia
telah merdeka terhitung sejak 66 tahun yang lalu. Namun ternyata masih banyak anak
terlantar, pengamen jalanan, anak
putus sekolah, dan gelandangan cilik yang belum merasakan program pendidikan
pemerintah dengan baik. Sementara di tingkat elit, fenomena munculnya
pemimpin-pemimpin muda tanpa integritas pada pentas politik adalah problem
serius. Jika kita menilik kondisi generasi yang ada di atas,
nampaknya masih jauh dari gambaran generasi berkualitas.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka
dapat kita pahami bahwa pendidikan memiliki posisi strategis dalam mewujudkan
generasi pemimpin bangsa. jika negara memiliki visi dan paradigma kuat-
akan melahirkan generasi dengan kualifikasi pemimpin. Meski demikian
suatu sistem pendidikan akan sangat dipengaruhi oleh warna kebijakan dan
perangkat sistem negaranya. Sistem politik dan ekonomi punya pengaruh
signifikan terhadap visi dan paradigma negara dalam mendesain sistem
pendidikannya. Sistem politik pemerintahan yang fungsinya memimpin dan
melindungi rakyat, dan sistem ekonomi yang fungsinya mengelola sumber daya
ekonomi untuk menyejahterakan rakyat tentu akan menentukan bagaimana sebuah
sistem pendidikan itu didesain dan dijalankan. Sayangnya, bangsa ini mengadopsi
pragmatisme dalam semua sistem hidup bermasyarakat, tak trekecuali sistem
ekonomi dan pendidikan. Dalam pragmatisme, tidak ada kebenaran abadi dan
mutlak, segalanya tergantung pada apakah kebenaran itu berguna atau tidak.
Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce (1839-1942), yang
kemudian dikembangkan oleh william james (1842-1910) dan John Dewey
(1859-1952).
Begitupula yang terjadi di negeri
ini, sistem politik ekonomi yang diterapkan jelas sangat mempengaruhi sistem
pendidikannya. Ketika sistem politiknya diwarnai oleh pragmatisme politik yang
kental dan sistem ekonominya memiliki tata kelola SDA yang kapitalistik dan
tidak mensejahterakan rakyat; maka yang terjadi justru dengan mudahnya arus
pragmatisme merasuki sistem pendidikan nasional di semua jenjang. Bahkan dari
tingkat dasar. Lompatan-lompatan kebijakan selama dua dekade terakhir, membawa
pergeseran signifikan bagi kualitas generasi kita ke arah perusakan. Sikap
pemerintah yang sekedar mengikuti arus global dan sistem pendidikan nasional
yang miskin visi hanya mengarahkan penciptaan kapasitas peserta didik untuk
memenuhi kebutuhan pasar atau industri.
Pendidikan yang berorientasi kepada
kebutuhan pasar bebas berarti telah menjadikan pendidikan layaknya komoditas
yang diperdagangkan. Pendidikan kemudian tunduk pada hukum pasar dan logika
bisnis yang bertumpu pada pola pikir materialistik, kapitalistik, dan
pragmatis. Berbagai komponen pendidikan: visi, misi, tujuan, kurikulum, proses
belajar mengajar, manajemen pengelolaan, dan berbagai komponen pendidikan
lainnnya harus tunduk pada hukum pasar dan logika bisnis. Lembaga pendidikan
dengan pendekatan bisnis juga harus memiliki sistem dan infra-struktur yang
dijiwai oleh budaya bisnis yang unggul (corporate culture). Logika
bisnis yang bertumpu pada pola pikir materialistik, ekonomis, dan pragmatis.
Setiap orang yang akan memasuki sebuah perguruan tinggi misalnya, terlebih
dahulu bertanya: Nanti kalau sudah lulus bisa jadi apa? Kerjanya di mana? Dan
gajinya berapa? Jawaban yang diharapkan dari pertanyaan ini tentunya adalah:
jika sudah lulus akan memiliki gelar dan keahlian yang sangat mudah mendapatkan
kerja dengan gaji yang besar. Jika program studi atau satuan pendidikan tidak
dapat menjawab pertanyaan tersebut, maka program studi tersebut akan kehilangan
pasar.
Sejarah mencatat, bahwa di tahun
60-an, Amerika Serikat menemukan hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa
investasi dalam dunia pendidikan jauh lebih menguntungkan dibandingkan
investasi di bidang saham. (Prof.Abuddin Nata, Pendidikan di Persimpangan
Jalan, 2009) Setelah itu Amerika Serikat membiayai penelitian terapan
(applied research) dalam bidang pendidikan tidak kurang dari 6 milyar dollar.
Hasilnya adalah Amerika Serikat memiliki sebuah sistem pendidikan yang
berorientasi pasar. Standarsisasai terhadap berbagai aspek pendidikan mereka
lakukan, dan hasilnya diakui dunia, karena lulusannya sangat unggul dan mampu
bersaing dalam merebut peluang. Untuk itu mulai tahun 70-an hingga sekarang,
Amerika Serikat menjadi kiblat pendidikan di dunia. (Rum
Rosyid, Perselingkuhan
Dunia Pendidikan dan Kepentingan Kapitalis, 2010)
Pendidikan di Indonesia saat ini
tengah menghadapi tarikan logika bisnis yang amat kuat. Munculnya PP No. 19
Tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan, kebijakan tentang pendidikan
bertarap internasional, Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang
Pendidikan Profesi Keguruan, Undang-undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum
Pendidikan (BHP), Peraturan Mendiknas No. 26 Tahun 2007 tentang kerjasama
Perguruan Tinggi dengan pihak asing, dan lain sebagainya, menunjukkan kuatnya
pengaruh dunia perdagangan dalam pendidikan.
Akibat dari diberlakukannya sitem
pendidikan pragmatis yang berorientasi memenuhi kebutuhan industri dan pasar
sangat berbehaya, dimana fungsi pendidikan yang menanamkan nilai di tengah
masyarakatbmenjadi tereduksi. Manusia yang memiliki mental mencari kebenaran,
menyuarakan kebenaran, melakukan perubahan di tengah masyarakatbsangat langka
ditemui dalam kehidupan yang disetir oleh arus pragmatisme ini. Kemudian yang
tersisa adalah manusi-manusi egois yang sekedar hidup untuk memenuhi kebutuhan
pribadinya dan keluarganya saja. Tidak heran jika kita melihat banyak mahasiswa
yang tenggelam dalam dunia akademik demi mendapat nilai IPK tinggi hanya demi
bisa diterima dalam sebuah perusahaan.
Demikianlah, pragmatisme pendidikan
adalah sistem yang sangat berbahaya yang akan mengancam kelangsungan generasi
ini, perlu ada upaya untuk melepaskan diri dari cengkraman arus pragmatisme
pendidikan yang notabene satu paket dengan ideologi kapitalis sekuler di negeri
ini.
Sistem pendidikan islam menetapkan
bahwa kualitas SDM yang dihasilkan dari proses pendidikan adalah generasi
“Khoiru ummah” yang akan memimpin bangsa menjadi bangsa besar, kuat dan
terdepan yang mampu memimpin bangsa-bangsa lain di dunia. Umat terbaik adalah umat
yang memiliki kualitas pemimpin. Kualitas ini tidak lain adalah kepribadian
islam yaitu menyatukan pola fikir dan pola sikap berdasarkan akidah islam, yang
bersumber dari wahyu, sang pencipta manusia dan alam semesta. Hal ini akan
terwujud ketika diterapkannya syari’at islam secara kaffah (sempurna) dalam
naungan Daulah Khilafah Islamiyyah.
No comments:
Post a Comment