Friday, May 14, 2010

Anak Kita Dalam Ancaman!


Anak-anak idealnya ditempa agar menjadi generasi penerus yang handal dan mumpuni demi kelangsungan kehidupan masyarakat pada masa mendatang. Namun, melihat potret buram dunia anak saat ini, tampaknya harapan itu sulit terpenuhi.

Bagaimana tidak, anak-anak kita saat ini hidup di tengah-tengah kondisi yang jauh dari kata ideal bagi tumbuh kembang fisik dan mentalnya. Bahkan berbagai ancaman siap menerkam dan menggilas mereka.

Data Kelam

Berbagai data memotret kelamnya nasib anak-anak kita di seluruh pelosok negeri ini, seperti kasus penelantaran anak oleh orangtuanya yang terjadi di Sukmajaya Depok, dan terakhir di Banten. Anak-anak usia balita ditinggalkan begitu saja oleh orangtuanya di rumah kontrakan dengan alasan himpitan ekonomi.

Hak-hak anak banyak pula yang terabaikan, termasuk hak memperoleh pendidikan karena mahalnya biaya. Data menyebutkan, sebanyak 12 juta anak Indonesia putus sekolah (Kompas, 28/4/2009). Akibatnya, mereka tidak bisa menyelesaikan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.

Anak-anak di bawah usia 15 tahun tidak punya pilihan selain tak bersekolah karena tuntutan ekonomi dan kondisi keuangan keluarga yang minim. Inilah salah satu pemicu banyaknya pekerja anak, termasuk anak jalanan.

Hasil studi tentang pekerja anak yang dilakukan di lima wilayah Indonesia—Sulawesi Selatan, NTT, Maluku dan Papua Barat—menguatkan kondisi itu. Anak-anak usia 9-15 tahun terlibat berbagai jenis pekerjaan yang berakibat buruk terhadap kesehatan fisik, mental dan seksual.

Sementara itu, sebanyak 37 persen anak Indonesia usia 0-5 tahun bertubuh pendek (stunting, tinggi badan tak sesuai umur) karena kekurangan gizi. Hal itu terungkap berdasarkan data sementara dari penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) di Departemen Kesehatan (Tempointeraktif, 27/8/2008).

Anak-anak juga menjadi korban kekerasan. Bahkan kerap dilakukan orang-orang terdekatnya—yang semestinya menyayangi dan melindungi mereka—seperti orangtua, guru, oknum aparat dan teman-temannya. Data menyebutkan, 4 dari 100 anak Indonesia setiap harinya mengalami tindak kekerasan fisik, psikologis, emosional dan ekonomi dari kerabat dekatnya (Suryaonline, 27/7/2009).

Belum lagi anak-anak yang mengalami eksploitasi seksual, seperti kasus yang ramai diberitakan, 12 anak jalanan menjadi korban mutilasi Baekuni alias Babe. Mereka disodomi terlebih dulu sebelum dibantai.

Bahkan dari berbagai sumber data yang dirangkum United Nations Children’s Fund (UNICEF), didapat bahwa sepertiga dari jumlah korban eksploitasi seksual adalah anak-anak. Dari jumlah tersebut, 70% di antaranya anak perempuan (Waspadaonline, 24/11/2009).

Selain itu, jumlah pelacuran anak di Indonesia mencapai 30 persen dari total 150 ribu jumlah PSK secara keseluruhan. Artinya, pelacuran anak mencapai 45 ribu di seluruh Indonesia.

Dekadensi moral juga menjadi ancaman masa depan anak. Anak-anak sudah banyak yang terlibat narkoba. Jumlah pecandu narkoba di Indonesia pada 2008 mencapai 3,6 juta orang, rata-rata berada pada usia produktif 12-24 tahun (Bkkbn.go.id).

Bahkan menurut penelitian, empat dari lima anak mengetahui soal narkoba. Anak-anak yang tidak memiliki kegiatan setelah aktivitas sekolah lebih rentan terkena narkoba daripada mereka yang mempunyai aktivitas, seperti mengikuti les atau kegiatan ekstrakurikuler.

Di antara mereka yang telah mencoba narkoba, 80 persen menggunakannya di rumah sendiri dan 20 persen di rumah teman. Keluarga pecandu narkoba menjadi pihak terakhir yang mengetahui bahwa anggota keluarganya menjadi pecandu. Rokok dan alkohol menjadi pintu gerbang utama seseorang kecanduan narkoba. Berdasarkan riset, 100 persen pecandu narkoba adalah perokok dan juga mengkonsumsi alkohol (Bkkbn online, 2008).

Anak-anak juga semakin berani melanggar norma-norma agama, seperti berhubungan seks sebelum nikah alias berzina. Komisi Nasional Anak melansir data cukup memprihatinkan sepanjang 2007. Data itu menyimpulkan 62,7 persen remaja Indonesia sudah tidak perawan. Remaja itu rata-rata usia SMP dan SMA. Bahkan 21,2 persen remaja putri di tingkat SMA pernah aborsi. Sebanyak 15 juta remaja putri mengalami kehamilan dan 60 persen di antaranya berusaha aborsi.

Data ini dikumpulkan dari 4.500 remaja yang berada di 12 kota besar di seluruh Indonesia. Sebelumnya, Komisi Nasional juga merilis bahwa 97 persen remaja Indonesia pernah menonton tayangan pornografi. Sungguh miris. Kekerasan, pelecehan seksual, rokok, alkohol, narkoba, pornografi dan seks bebas begitu dekat dengan dunia anak. Lantas bagaimana kita bisa mempercayakan masa depan di pundak anak-anak bermasalah itu?

Solusi Keliru

Perhatian berbagai pihak terhadap anak-anak sebetulnya tak kurang. Di negeri ini ada beberapa lembaga pemerhati yang peduli pada nasib anak-anak. Mereka berusaha memberikan perlindungan terhadap anak agar terhindar dari perbuatan-perbuatan yang merugikan. Ada Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI), misalnya. KPAI merupakan lembaga independen yang kedudukannya sejajar dengan komisi negara lainnya. KPAI dibentuk pada 21 Juni 2004 dengan Keppres No. 95/M Tahun 2004 berdasarkan amanat Keppres 77/2003 dan pasal 74 UU No. 23 Tahun 2002.

Dalam kepres tersebut dinyatakan bahwa KPAI bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penyelengaraan perlindungan anak. KPAI juga dibentuk sebagai konsekuensi dari Konvensi Hak Anak (KHA), yang menyatakan bahwa setiap negara yang turut meratifikasi harus memiliki komisi nasional.

Sebagai lembaga independen, KPAI diharapkan mampu secara aktif memperjuangkan kepentingan anak. KPAI bertugas melakukan sosialisasi mengenai seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelahaan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan terhadap penyelenggaraan kepentingan anak.

KPAI juga dituntut memberikan laporan, saran, masukan dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak. Sejak pendiriannya, KPAI memperoleh dana untuk menjalankan segala tugas, fungsi dan program-programnya dari APBN (c.q Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Departemen Sosial) dan APBD.

Selain itu, sumber dana juga dimungkinkan dari bantuan asing bila memang ada lembaga asing atau organisasi internasional yang ingin bekerja sama dengan KPAI. Masalah dana ini memang sensitif, karena KPAI kerap mengeluh kekurangan dana sehingga kinerjanya menjadi kurang efektif. Wajar jika gaung KPAI hanya terdengar sayup-sayup. Banyak pihak menilai kinerja KPAI kurang memuaskan karena memang tidak menimbulkan pengaruh di masyarakat. KPAI tidak ada ketika masyarakat justru membutuhkan adanya perhatian serta perlindungan bagi anak-anak mereka maupun anak-anak dalam lingkungan suatu masyarakat. Ini bukti bahwa sosialisasi yang menjadi salah satu tugas KPAI tidak berjalan dengan baik.

Eksistensi KPAI pun dipertanyakan karena minimnya minat serta pengetahuan masyarakat dalam menjadikan KPAI sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan anak. Ada atau tidaknya KPAI tidak menimbulkan dampak apa-apa terhadap kelangsungan pemenuhan hak serta perlindungan pada anak-anak Indonesia.

Karena itu, pengaduan masyarakat terkait masalah-masalah perlindungan anak serta masalah penyimpangan perlakuan terhadap anak lebih banyak disalurkan ke Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA). Komnas PA merupakan LSM yang disahkan dengan Surat Akta Notaris. Komnas PA memperoleh dana untuk membiayai operasional serta program-programnya dari hasil kerjasama dengan para donor asing, semisal UNICEF.

Tentu saja kinerja Komnas PA, meski dinilai berbagai pihak lebih aktif daripada KPAI, tetap bergantung pada adanya donor. Artinya, mereka akan bergerak jika ada dana. Hal ini tentu tidak maksimal untuk memberikan perlindungan pada anak, karena kinerjanya hanya bersifat reaktif.

Di sisi lain, Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA) No 23 Tahun 2002. Lahirnya regulasi ini merupakan salah satu bentuk keseriusan Pemerintah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) tahun 1990. Sayang, UU yang berbau liberal ini tidak cukup mumpuni untuk menjamin hak-hak anak.

Menurut UUPA, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak dalam kandungan. Jadi yang membedakan antara anak dan dewasa hanyalah sebatas umur saja. Definisi ini menuai polemik karena berbenturan dengan regulasi lain, seperti usia minimal menikah, yang akhirnya tidak boleh di bawah usia 18 tahun. Akibatnya, banyak yang memilih berzina karena khawatir terjerat UU jika menikah di usia di bawah 18 tahun. Hak untuk menikah pada usia di bawah 18 tahun menjadi hilang karena terbentur regulasi ini.

Sementara itu, hak dan kewajiban anak diatur dalam pasal 4 hingga pasal 12. Dalam UU tersebut, hak anak antara lain:beribadah menurut agamanya; mendapatkan pelayanan kesehatan; memperoleh pendidikan dan pengajaran; mengutarakan pendapatnya sesuai tingkat kecerdasan dan usianya; memanfaatkan waktu luang untuk bergaul dengan anak sebayanya, bermain dan berekreasi sesuai minat, bakat dan tingkat kecerdasannya dalam rangka pengembangan diri. Kelihatannya cukup ideal, namun implementasinya jauh dari harapan. Buktinya sudah dipaparkan di atas, seperti banyaknya anak putus sekolah, kurang gizi, dll.

Pasal lain dalam UUPA bahkan menjadi bumerang bagi anak-anak. Misalnya dalam pasal 77, orangtua yang secara sengaja menelantarkan anak bisa dipidanakan. Jika pasal ini dijadikan pijakan, anak-anak bisa dengan mudah dipisahkan dari orangtuanya dengan alasan dipelihara negara.

Kriminalisasi orangtua ini jelas tidak proporsional, karena akar masalah penelantaran anak umumnya terjadi sistemik akibat kemiskinan. Dengan demikian, Pemerintah, lembaga bentukannya maupun lembaga-lembaga independen lainnya hingga kini belum mampu menjadi tumpuan harapan hidup lebih baik oleh anak-anak Indonesia. Solusi terhadap permasalahan anak pun cenderung bersifat reaktif, parsial dan tidak menyentuh akar masalah. Contoh kasus, dalam menangani anak jalanan, justru mereka dikriminalisasi.

Ancaman Lost Generation

Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (Dirjen PNFI) Depdiknas Hamid Muhammad saat memberikan keterangan pers di Gerai Informasi dan Media, Depdiknas, (16/11/2009), jumlah penduduk usia PAUD di Indonesia 30 juta orang. Jumlah ini mengalami pergeseran; angka generasi lansia lebih tinggi daripada populasi anak-anak. Ini karena meningkatnya angka harapan hidup. Artinya, generasi penerus makin berkurang, akibat berbagai propaganda penghentian laju natalitas. Dengan demikian, pada masa mendatang, anak-anak yang kelak menjadi generasi penerus ini akan menanggung beban lebih berat karena banyaknya generasi tua yang tidak lagi produktif. Sudahlah jumlahnya makin berkurang, kualitas anak-anak masa kini begitu buruk. Hal ini jelas mengancam kelangsungan hidup pada masa mendatang. Ancaman lost generation di depan mata. Anak-anak yang terkungkung dalam kubangan masalah ini, jika tidak segera dientaskan, akan menjadi bom waktu yang suatu saat siap meledak.

Khatimah

Sesungguhnya anak-anak adalah peletak dasar masa depan orang dewasa, bangsa dan bahkan masa depan peradaban. Entah bagaimana masa depan dunia jika anak-anak kita masih bertahan pada kenestapaannya pada masa sekarang. Tentu kondisi ini tidak bisa dibiarkan, karena itu berarti mempertaruhkan nasib seluruh umat manusia. [Kholda Naajiyah]

INSERT FOKUS

Tragedi Dunia Anak

● Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Sukabumi mencatat pada 2009 24 balita asal Kota Sukabumi diduga terinfeksi HIV yang ditularkan melalui orangtuanya. Di Bekasi, hingga November 2009 tercatat 18 balita positif HIV. Belum lagi di daerah lain.

● Figo Ramadhan, usianya 2 th, bobotnya hanya 5 kg (seharusnya 12 kg) karena gizi buruk. Farikha asal Dukuh Bulak Banteng, Sudotopo Wetan, Kenjeran, Surabaya, berat badan juga hanya 7,2 kg, padahal semestinya 12 kg.

● Rizki Rahayu (4 bulan) tewas dianiaya ayah kandungnya sendiri, Yudi Junaedi (25), warga Kampung Barulaksana, Desa Jayagiri, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung, (1/2/2009). Rizki diberi minum minyak kayu putih dan dirogoh mulutnya dengan jari tangan hingga mengeluarkan darah.

● Sepuluh anak berusia 11-14 tahun ditangkap di Bandara Soekarno Hatta pada 29 Mei 2009 atas tuduhan melakukan perjudian. Kesepuluh anak-anak warga Desa Rawa Rengas, Tangerang, itu sering menyemir di Terminal B1 Bandara Soeta. Berdasar pengakuan, mereka mengalami kekerasan dan penganiayaan oleh aparat Bandara dan petugas LP. Meski divonis bersalah. Mereka dibebaskan tanpa syarat setelah melewati persidangan di PN Tangerang.

● Tegar Kurnia Dinata (4) asal Madiun dicekik lehernya oleh sang ayah, Puryanto, 5 Juli 2009. Tubuhnya kemudian dibuang di atas rel kereta api karena diduga sudah meninggal. Akibatnya, kaki kanan Tegar putus terlindas roda kereta api.

● Empat anak, masing-masing Windi Novianti (8), Rizki Zaelani (3), Rina Damayanti (2) dan Siti Rahma Romadhoni (3 bulan), ditelantarkan kedua orangtuanya di Kelurahan Sukamaju, Sukmajaya, Depok. Mereka ditinggal ibu dan ayahnya, Yanti dan Dadan, di rumah kontrakannya karena terlilit utang.

● Heri Setiawan (12), siswi SMP, tewas bunuh diri dengan menggantungkan diri di ranjang tingkat rumahnya, di Jalan Kemayoran Barat 3, Jakarta Pusat. Diduga ia terinspirasi tayangan sulap di televisi yang dilakukan master idolanya.

● Tiga balita Rafael (3,5), Farel (1,8) dan Putri (9 bulan) ditinggalkan di kontrakannya, di Jalan Pulo Indah Asri II RT 02/04 No 5, Keluarahan Petir, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang. Selama empat hari sejak 30 Januari 2010 orangtuanya pergi menelantarkan mereka.

No comments:

Post a Comment