20
Mei 2012 tak lama lagi, rakyat Indonesia akan kembali merayakan momentum
kebangkitan Indonesia. Pada tahun 2008 lalu, bertepatan 100 tahun peringatan
Kebangkitan Nasional, dirayakan besar-besaran di Gelora Bung Karno. Semangat
berkobar-kobar pun diserukan, bahwa Indonesia harus bangkit dari keterpurukan
dan semua itu bisa dilakukan. Hingga kini, setelah perayaan hari kebangkitan
tersebut, masih menyisakan sebuah pertanyaan besar, benarkah Indonesia sudah bangkit?
Potret
Buram Wajah Indonesia : Negara gagal!
Status Negara Gagal (Failed State) buat
NKRI sebenarnya sudah mulai mencuat sejak 2007, setelah majalah Foreign Policy yang bekerjasama dengan
tink-tank Amerika Serikat The Fund for Peace, mengumumkan daftar 60
index Negara Gagal. Indonesia masuk dalam daftar 60 Negara Gagal itu bersama
Sudan, Somalia, Zimbabwe, Kongo, Ethiopia, Uganda, Irak, Timorleste, Myanmar,
juga sederetan negara di Amerika Latin seperti Haiti. Ukuran sebagai negara
gagal diantaranya disebutkan pemerintahan pusat posisinya sangat lemah dan
tidak efektif. Pelayanan umum buruk, tindak kriminalitas dan korupsi
merajalela, dan ekonomi merosot. “Tanda-tanda atau indikasi sebagai Negara
Gagal yang telah dibuat Foreign Policy bersama The Fund for Peace,
pada 2007 niscaya kini 2011 kondisinya lebih parah lagi dan makin merosot”.
(Voa-Islam, 8/10/2011)
Istilah
negara gagal tersebut tentu tidak bersebrangan dengan apa yang kita rasakan
langsung. Data BPS tahun 2010, menunjukkan persentase penduduk
miskin di Indonesia sekitar 13,33% atau sekitar 31 juta jiwa. Angka tersebut
didasarkan pada data jumlah penduduk resmi hasil sensus. Padahal, masih banyak
orang miskin yang tidak tercatat, terutama di kota-kota besar. Kemudian, banyak
penduduknya yang menganggur. Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun
2010 memperlihatkan jumlah pengangguran terbuka sebanyak 8.592.490 jiwa. Jumlah
tersebut belum termasuk di dalamnya kategori pengangguran terselubung, yang
jumlahnya tidak sedikit. Fakta tersebut, tidak dijadikan jaminan bagi
pemerintah untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih banyak lagi.
Makanya, tak ayal banyak penduduk yang menjadi tenaga kerja di luar negeri.
Dengan skill dan pengetahuan
terbatas, juga pengawasan yang tidak ketat dari pemerintah, banyak tenaga kerja
Indonesia menjadi korban kekerasan di luar negeri. Belum lagi, permasalahan
Angka Partisipasi Murni (APM) yang terus menurun persentasenya setiap kenaikan
jenjang pendidikan. Contoh, tahun 2009, APM jenjang SD/sederajat sebesar
94.37%, SMP/sederajat 67.43%, dan SMA/sederajat 45.11%. Fakta ini menunjukkan
bahwa sebagaian besar penduduk Indonesia tidak berkualitas. Oleh karenanya,
sangat sedikit sumber daya manusia Indonesia yang mampu menciptakan dan menguasai
teknologi. Belum lagi jika melihat kecacatan perekonomian, kehidupan sosial,
penegakan hukum, dan perpolitikan.
Demikian pula
dengan Inefisiensi birokrasi dan korupsi di indonesia. Inefisiensi birokrasi
pemerintah ditandai oleh kinerja pelayanan public yang buruk. Sering kita
dengar, berita pasien miskin yang ditahan di rumah sakit milik pemerintah
karena tidak mampu membayar biaya pengobatan. Sedangkan di sektor pendidikan, alokasi
anggaran pendidikan pada APBN sejak tahun 2001 terus meningkat. Tahun 2009
alokasi untuk sector pendidikan sekitar 20% dari APBN, namun ternyata alokasi
yang ada tidak mampu menyelesaikan permasalahan pendidikan di Indonesia. Dalam
sector transportasi, menurut Kementerian Perhubungan kerugian akibat kecelakaan
lalu lintas mencapai Rp.180 triliun per tahun. Angka ini merupakan 3,1% dari
PDB (GNP) tahun 2010, di mana PDB 2010 Rp.7.000 triliun (Bisnis Indonesia,
18/11/2011). Korupsi yang menjadi target reformasi politik tahun 1998/9 belum
berhasil diatasi. Malah, peringkat Indonesia pada Corruption Perception Index
tahun 2010 adalah 110 di dunia dengan skor 2,8.
Inefisiensi
birokrasi dan korupsi memberikan dampak daya saing Indonesia di kancah
Internasional pada kondisi memprihatinkan. Daya saing Indonesia dalam Global
Competitive Index 2011 ditandai oleh penurunan, yakni dari
peringkat 44 turun dua undakan ke peringkat 46 dengan skor 4,38. Selain itu,
perkembangan teknologi sebenarnya memiliki andil untuk mengefisienkan
birokrasi. Akan tetapi, peringkat Indonesia dalam pemanfaatan Information
Communication and Technology (ICT) menurut E-Government Readiness Index pada
tahun 2010 berada pada posisi 109. Peringkat tersebut termasuk lebih rendah
daripada Singapura di peringkat 11, Malaysia di peringkat 32, dan Thailand di
peringkat 76. Dengan kondisi sedemikian rupa, maka layakkah Indonesia disebut
bangkit?
Hakikat
Kebangkitan
Kebangkitan,
suatu kata yang bermakna adanya perbaikan atau peningkatan suatu taraf
peningkatan ke arah yang lebih baik. Kebangkitan juga berarti adanya suatu
kesadaran untuk melakukan perubahan. Kebangkitan menunjukkan berubahnya kondisi
suatu umat atau bangsa dari suatu keadaan yang buruk menjadi keadaan yang baik
atau terpecahkannya seluruh permasalahan kehidupan menurut pandangan hidup
tertentu.
Pengaturan urusan manusia ditentukan dan didasarkan pada pemikiran mendasar tentang hakikat hidup dan kehidupan, yaitu pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, kehidupan dan manusia. Dengan kata lain, pengaturan urusan manusia itu didasarkan akidah, pandangan hidup atau ideologi. Dengan demikian, kebangkitan hakiki adalah kebangkitan atas dasar ideologi, yaitu akidah yang memancarkan sistem pengaturan urusan manusia.
Barat bangkit karena ideologinya, yaitu Sekulerisme-Kapitalisme. Uni Soviet, sebelum runtuh, ia bangkit karena ideologinya, yaitu Sosialisme-Komunisme. Umat Islam pun dulu bangkit karena ideologinya, yaitu Islam. Sebaliknya, Indonesia yang mengklaim bukan negara sekuler dan bukan pula negara agama (Islam) tidak pernah bangkit. Ini wajar saja. Sebabnya, landasan kebangkitannya tidak ideologis. Akibatnya, ekonomi amblas, dikuasai oleh segelintir orang dan pihak asing. Akidah umat Islam juga tidak terjaga.
Pengaturan urusan manusia ditentukan dan didasarkan pada pemikiran mendasar tentang hakikat hidup dan kehidupan, yaitu pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, kehidupan dan manusia. Dengan kata lain, pengaturan urusan manusia itu didasarkan akidah, pandangan hidup atau ideologi. Dengan demikian, kebangkitan hakiki adalah kebangkitan atas dasar ideologi, yaitu akidah yang memancarkan sistem pengaturan urusan manusia.
Barat bangkit karena ideologinya, yaitu Sekulerisme-Kapitalisme. Uni Soviet, sebelum runtuh, ia bangkit karena ideologinya, yaitu Sosialisme-Komunisme. Umat Islam pun dulu bangkit karena ideologinya, yaitu Islam. Sebaliknya, Indonesia yang mengklaim bukan negara sekuler dan bukan pula negara agama (Islam) tidak pernah bangkit. Ini wajar saja. Sebabnya, landasan kebangkitannya tidak ideologis. Akibatnya, ekonomi amblas, dikuasai oleh segelintir orang dan pihak asing. Akidah umat Islam juga tidak terjaga.
Kebangkitan
(an-nahdlah) sebagaimana menurut Hafidz Shalih dalam kitabnya “An-Nahdlah”
adalah meningkatnya taraf berfikir umat. Kebangkitan yang shahih adalah kebangkitan
yang diletakkan di atas asas ruhiyah, artinya kebangkitan yang dibangun dengan
landasan pemikiran yang mengaitkan segala aktifitas manusia dengan Alloh SWT.
Dengan
demikian, hanya dengan ideologi Islam manusia dapat meraih kebangkitan hakiki,
sebaliknya kebangkitan yang dibawa selain ideologi Islam, yakni
Kapitalisme-Sekuler maupun Sosialisme-Komunis adalah kebangkitan semu dan sudah
terbukti menimbulkan banyak efek negatif berupa kerusakan, kemiskinan,
kesenjangan, ketidakadilan dan ketidaktentraman hidup.
Masa
Depan di Tangan Islam
104
tahun bangsa indonesia memperingati hari kebangkitan nasional. Kenyataanya,
harapan untuk bangkit, maju, mandiri dan sejahtera masih jauh panggang dari
api. Meskipun Indonesia secara fisik sudah merdeka, faktanya negera-negara
Barat tetap berusaha menjajah dengan cara baru.
Di bidang
ekonomi, penjajahan dilakukan melalui ketergantungan terhadap hutang luar
negeri. Di bidang kebudayaan, globalisasi informasi yang ditimbulkan oleh
kemajuan luar biasa di bidang teknologi informasi bak pisau bermata dua, satu sisi
menguntungkan dari sisi infomasi namun sisi negatifnya setiap keluarga-keluarga
dicekoki dengan gaya hidup, perilaku dan cara berfikir Barat.
Liberalisasi budaya dan agama tampak semakin marak. Budaya Barat yang hedonis
semakin berkembang di negeri ini. Wacana liberalisasi agama bahkan sudah
menyentuh sendi-sendi pokok akidah dan syariah.
Lebih dari
itu, di antara fakta yang terlihat jelas di negeri ini adalah adanya rasa
rendah diri dan sangat sering memandang apa yang datang dari Barat sebagai
maju, ideal, baik dan menyelamatkan. Apapun konsep, ide, gaya hidup yang
berasal dari Barat begitu saja diterima dan diikuti. Berbagai fakta tersebut
dan yang lainnya menandakan ciri-ciri bangsa yang sakit, bangsa yang membebek
dan pengikut. Tak terhitung jumlahnya hukum dan perundang-undangan negeri
muslim, termasuk Indonesia, yang masih bersumber dari Barat.
Berbagai
fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa bangsa kita masih terpuruk, meskipun
setiap tahun bangsa kita memperingati hari Kebangkitan Bangsa. Namun kenyataan
menunjukkan bahwa bangsa Indonesia sampai saat ini belum bangkit.
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri
beriman dan bertaqwa, pastilah Kami melimpahkan kepada mereka berkah dari
langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami
siksa mereka disebabkan perbuatannya”.
(TQS. Al A’raf [7] : 96).
Persoalan
mendasar bangsa kita sesungguhnya terletak pada paradigma yang diemban yang
tegak dari asas ideologi yang salah, yaitu kapitalisme-sekuler. Meskipun setiap
saat dikemukakan bahwa Pancasila adalah dasar negara, dengan sila pertama
Ketuhanan Yang Mahaesa, tetapi ketika kita melakukan penataan kehidupan,
bukannya aturan Tuhan yang kita amalkan tetapi malah lebih banyak menerapkan
paradigma kapitalisme-sekuler.
Apa yang
disebut dengan “Ekonomi Pancasila” atau “Demokrasi Pancasila”, misalnya, yang
diharapkan bisa mengatur kehidupan ekonomi dan politik masyarakat, sesungguhnya
tidak pernah ada, baik secara teori apalagi praktek. Kenyataannya, sistem
aturan yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat adalah aturan-aturan yang
bersumber dari sistem Kapitalisme-Sekuler yang bercirikan liberalisme,
individualisme, dan pragmatisme. Kalau Pancasila sebagai ideologi,
mengapa justru aturan atau undang-undang di negara lain yang menjadi rujukan,
bahkan menjadi alasan anggota DPR melakukan kunjungan studi banding ke luar
negeri setiap tahun.
Semua hal di
atas tidak lain karena diadopsinya Kapitalisme sebagai ideologi global yang
melakukan penjajahan dalam sektor pendidikan, politik, ekonomi dan lain-lain.
Mereka yang mengekor pada ideologi ini akan menjadi terjajah secara otomatis.
Kalau ingin bangkit, bangsa yang besar ini harus berani melakukan perubahan
radikal untuk tidak lagi mengekor pada kapitalisme dan saatnya membangun
paradigma kehidupan bangsa yang memiliki tujuan dengan ideologi yang memiliki
independen kuat dan tangguh.
Bila di dunia
ini hanya hanya ada 3 (tiga) ideologi yaitu Kapitalisme-Sekuler,
Sosialisme-Komunis dan Islam, maka saatnya kini meraih kebangkitan hakiki
dengan Islam. Dalam hal ini, kebangkitan hakiki adalah kebangkitan atas dasar
pemikiran (fikrah). Islamlah satu-satunya fikrah yang shahih, yang didasarkan
pada ruh, yang mengakui keberadaan Alloh SWT dengan segala kewenangan-Nya dalam
seluruh aspek kehidupan. Dengan demikian, kebangkitan atas dasar Islamlah
satu-satunya kebangkitan yang shahih. Sebabnya, Islam disandarkan pada asas
(akidah) yang mustahil memiliki kekurangan dan kesalahan.
Dengan
ideologi Islamlah manusia dapat meraih kebangkitannya yang hakiki. Sebaliknya,
kebangkitan yang dibawa oleh ideologi selain Islam –Kapitalisme-Sekuler maupun
Sosialisme-Komunis– adalah kebangkitan yang semu dan sudah terbukti menimbulkan
banyak efek negatif berupa kerusakan, kemiskinan, kesenjangan, ketidakadilan,
dan ketidaktenteraman hidup. Karena itu, jika Sosialisme-Komunis terbukti telah
gagal membawa manusia pada kebangkitan yang hakiki, demikian pula dengan
Kapitalisme-Sekuler saat ini yang telah membawa banyak kerusakan bagi manusia,
sudah selayaknya kembali pada ideologi Islam. Hanya ideologi Islam-lah yang
telah terbukti mampu mengantarkan manusia pada kebangkitan yang hakiki. (Maretika Handrayani,Fakultas
Pertanian’08)[Ketua Keputrian LDK DKM Unpad]
Referensi
:
[1] Arbi sanit dalam Karim, M Rusli, HMI MPO dalam
Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, 1997, hlm 95.
[2] Gejolak
global gerus prospek ekonomi 2012, 2011. Diakses dari http://www.antaranews.com/berita/287711/gejolak-global-gerus-prospek-ekonomi-2012.
[3] Hafidz
Shalih. 2003. Falsafah Kebangkitan: Dari Ide Hingga Metode.
(terj. An-Nahdhah). Bogor: Idea Pustaka Utama.
[4] Hizbut
Tahrir Indonesia, 2009. Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia “Indonesia,
Khilafah dan Penyatuan Kembali Dunia Islam”. Jakarta: HTI.
[5] Kegagalan
Kebangkitan Indonesia, 2012. Diakses dari http://hizbut-tahrir.or.id/2012/05/01/kegagalan-kebangkitan-indonesia/
[6] 100 Tahun Kebangkitan nasional, 2008. Diakses
dari http://suaranurani.wordpress.com/2008/05/21/100-tahun-kebangkitan-nasional-quo-vadis-indonesia/
No comments:
Post a Comment