Friday, May 11, 2012

Quo Vadis Indonesia? (Momentum 104 Tahun Kebangkitan Nasional)

20 Mei 2012 tak lama lagi, rakyat Indonesia akan kembali merayakan momentum kebangkitan Indonesia. Pada tahun 2008 lalu, bertepatan 100 tahun peringatan Kebangkitan Nasional, dirayakan besar-besaran di Gelora Bung Karno. Semangat berkobar-kobar pun diserukan, bahwa Indonesia harus bangkit dari keterpurukan dan semua itu bisa dilakukan. Hingga kini, setelah perayaan hari kebangkitan tersebut, masih menyisakan sebuah pertanyaan besar, benarkah Indonesia sudah bangkit?
Potret Buram Wajah Indonesia : Negara gagal!
 Status Negara Gagal (Failed State) buat NKRI sebenarnya sudah mulai mencuat sejak 2007, setelah majalah Foreign Policy yang bekerjasama dengan tink-tank Amerika Serikat The Fund for Peace, mengumumkan daftar 60 index Negara Gagal. Indonesia masuk dalam daftar 60 Negara Gagal itu bersama Sudan, Somalia, Zimbabwe, Kongo, Ethiopia, Uganda, Irak, Timorleste, Myanmar, juga sederetan negara di Amerika Latin seperti Haiti. Ukuran sebagai negara gagal diantaranya disebutkan pemerintahan pusat posisinya sangat lemah dan tidak efektif. Pelayanan umum buruk, tindak kriminalitas dan korupsi merajalela, dan ekonomi merosot. “Tanda-tanda atau indikasi sebagai Negara Gagal yang telah dibuat Foreign Policy bersama The Fund for Peace, pada 2007 niscaya kini 2011 kondisinya lebih parah lagi dan makin merosot”. (Voa-Islam, 8/10/2011)
Istilah negara gagal tersebut tentu tidak bersebrangan dengan apa yang kita rasakan langsung. Data BPS tahun 2010, menunjukkan persentase penduduk miskin di Indonesia sekitar 13,33% atau sekitar 31 juta jiwa. Angka tersebut didasarkan pada data jumlah penduduk resmi hasil sensus. Padahal, masih banyak orang miskin yang tidak tercatat, terutama di kota-kota besar. Kemudian, banyak penduduknya yang menganggur. Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 2010 memperlihatkan jumlah pengangguran terbuka sebanyak 8.592.490 jiwa. Jumlah tersebut belum termasuk di dalamnya kategori pengangguran terselubung, yang jumlahnya tidak sedikit. Fakta tersebut, tidak dijadikan jaminan bagi pemerintah untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih banyak lagi. Makanya, tak ayal banyak penduduk yang menjadi tenaga kerja di luar negeri. Dengan skill dan pengetahuan terbatas, juga pengawasan yang tidak ketat dari pemerintah, banyak tenaga kerja Indonesia menjadi korban kekerasan di luar negeri. Belum lagi, permasalahan Angka Partisipasi Murni (APM) yang terus menurun persentasenya setiap kenaikan jenjang pendidikan. Contoh, tahun 2009, APM jenjang SD/sederajat sebesar 94.37%, SMP/sederajat 67.43%, dan SMA/sederajat 45.11%. Fakta ini menunjukkan bahwa sebagaian besar penduduk Indonesia tidak berkualitas. Oleh karenanya, sangat sedikit sumber daya manusia Indonesia yang mampu menciptakan dan menguasai teknologi. Belum lagi jika melihat kecacatan perekonomian, kehidupan sosial, penegakan hukum, dan perpolitikan.
Demikian pula dengan Inefisiensi birokrasi dan korupsi di indonesia. Inefisiensi birokrasi pemerintah ditandai oleh kinerja pelayanan public yang buruk. Sering kita dengar, berita pasien miskin yang ditahan di rumah sakit milik pemerintah karena tidak mampu membayar biaya pengobatan. Sedangkan di sektor pendidikan, alokasi anggaran pendidikan pada APBN sejak tahun 2001 terus meningkat. Tahun 2009 alokasi untuk sector pendidikan sekitar 20% dari APBN, namun ternyata alokasi yang ada tidak mampu menyelesaikan permasalahan pendidikan di Indonesia. Dalam sector transportasi, menurut Kementerian Perhubungan kerugian akibat kecelakaan lalu lintas mencapai Rp.180 triliun per tahun. Angka ini merupakan 3,1% dari PDB (GNP) tahun 2010, di mana PDB 2010 Rp.7.000 triliun (Bisnis Indonesia, 18/11/2011). Korupsi yang menjadi target reformasi politik tahun 1998/9 belum berhasil diatasi. Malah, peringkat Indonesia pada Corruption Perception Index tahun 2010 adalah 110 di dunia dengan skor 2,8.
Inefisiensi birokrasi dan korupsi memberikan dampak daya saing Indonesia di kancah Internasional pada kondisi memprihatinkan. Daya saing Indonesia dalam Global Competitive Index 2011 ditandai oleh penurunan, yakni dari peringkat 44 turun dua undakan ke peringkat 46 dengan skor 4,38. Selain itu, perkembangan teknologi sebenarnya memiliki andil untuk mengefisienkan birokrasi. Akan tetapi, peringkat Indonesia dalam pemanfaatan Information Communication and Technology (ICT) menurut E-Government Readiness Index pada tahun 2010 berada pada posisi 109. Peringkat tersebut termasuk lebih rendah daripada Singapura di peringkat 11, Malaysia di peringkat 32, dan Thailand di peringkat 76. Dengan kondisi sedemikian rupa, maka layakkah Indonesia disebut bangkit?
Hakikat Kebangkitan
Kebangkitan, suatu kata yang bermakna adanya perbaikan atau peningkatan suatu taraf peningkatan ke arah yang lebih baik. Kebangkitan juga berarti adanya suatu kesadaran untuk melakukan perubahan. Kebangkitan menunjukkan berubahnya kondisi suatu umat atau bangsa dari suatu keadaan yang buruk menjadi keadaan yang baik atau terpecahkannya seluruh permasalahan kehidupan menurut pandangan hidup tertentu.
Pengaturan urusan manusia ditentukan dan didasarkan pada pemikiran mendasar tentang hakikat hidup dan kehidupan, yaitu pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, kehidupan dan manusia. Dengan kata lain, pengaturan urusan manusia itu didasarkan akidah, pandangan hidup atau ideologi. Dengan demikian, kebangkitan hakiki adalah kebangkitan atas dasar ideologi, yaitu akidah yang memancarkan sistem pengaturan urusan manusia.
Barat bangkit karena ideologinya, yaitu Sekulerisme-Kapitalisme. Uni Soviet, sebelum runtuh, ia bangkit karena ideologinya, yaitu Sosialisme-Komunisme. Umat Islam pun dulu bangkit karena ideologinya, yaitu Islam. Sebaliknya, Indonesia yang mengklaim bukan negara sekuler dan bukan pula negara agama (Islam) tidak pernah bangkit. Ini wajar saja. Sebabnya, landasan kebangkitannya tidak ideologis. Akibatnya, ekonomi amblas, dikuasai oleh segelintir orang dan pihak asing. Akidah umat Islam juga tidak terjaga.
Kebangkitan (an-nahdlah) sebagaimana menurut Hafidz Shalih dalam kitabnya “An-Nahdlah” adalah meningkatnya taraf berfikir umat. Kebangkitan yang shahih adalah kebangkitan yang diletakkan di atas asas ruhiyah, artinya kebangkitan yang dibangun dengan landasan pemikiran yang mengaitkan segala aktifitas manusia dengan Alloh SWT.
Dengan demikian, hanya dengan ideologi Islam manusia dapat meraih kebangkitan hakiki, sebaliknya kebangkitan yang dibawa selain ideologi Islam, yakni Kapitalisme-Sekuler maupun Sosialisme-Komunis adalah kebangkitan semu dan sudah terbukti menimbulkan banyak efek negatif berupa kerusakan, kemiskinan, kesenjangan, ketidakadilan dan ketidaktentraman hidup.
Masa Depan di Tangan Islam
104 tahun bangsa indonesia memperingati hari kebangkitan nasional. Kenyataanya, harapan untuk bangkit, maju, mandiri dan sejahtera masih jauh panggang dari api. Meskipun Indonesia secara fisik sudah merdeka, faktanya negera-negara Barat tetap berusaha menjajah dengan cara baru.
Di bidang ekonomi, penjajahan dilakukan melalui ketergantungan terhadap hutang luar negeri. Di bidang kebudayaan, globalisasi informasi yang ditimbulkan oleh kemajuan luar biasa di bidang teknologi informasi bak pisau bermata dua, satu sisi menguntungkan dari sisi infomasi namun sisi negatifnya setiap keluarga-keluarga dicekoki dengan gaya hidup, perilaku dan cara berfikir Barat.  Liberalisasi budaya dan agama tampak semakin marak. Budaya Barat yang hedonis semakin berkembang di negeri ini. Wacana liberalisasi agama bahkan sudah menyentuh sendi-sendi pokok akidah dan syariah.
Lebih dari itu, di antara fakta yang terlihat jelas di negeri ini adalah adanya rasa rendah diri dan sangat sering memandang apa yang datang dari Barat sebagai maju, ideal, baik dan menyelamatkan. Apapun konsep, ide, gaya hidup yang berasal dari Barat begitu saja diterima dan diikuti. Berbagai fakta tersebut dan yang lainnya menandakan ciri-ciri bangsa yang sakit, bangsa yang membebek dan pengikut. Tak terhitung jumlahnya hukum dan perundang-undangan negeri muslim, termasuk Indonesia, yang masih bersumber dari Barat.
Berbagai fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa bangsa kita masih terpuruk, meskipun setiap tahun bangsa kita memperingati hari Kebangkitan Bangsa. Namun kenyataan menunjukkan bahwa bangsa Indonesia sampai saat ini belum bangkit.
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. 
(TQS. Al A’raf [7] : 96).
Persoalan mendasar bangsa kita sesungguhnya terletak pada paradigma yang diemban yang tegak dari asas ideologi yang salah, yaitu kapitalisme-sekuler. Meskipun setiap saat dikemukakan bahwa Pancasila adalah dasar negara, dengan sila pertama Ketuhanan Yang Mahaesa, tetapi ketika kita melakukan penataan kehidupan, bukannya aturan Tuhan yang kita amalkan tetapi malah lebih banyak menerapkan paradigma kapitalisme-sekuler.
Apa yang disebut dengan “Ekonomi Pancasila” atau “Demokrasi Pancasila”, misalnya, yang diharapkan bisa mengatur kehidupan ekonomi dan politik masyarakat, sesungguhnya tidak pernah ada, baik secara teori apalagi praktek. Kenyataannya, sistem aturan yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat adalah aturan-aturan yang bersumber dari sistem Kapitalisme-Sekuler yang bercirikan liberalisme, individualisme, dan pragmatisme.  Kalau Pancasila sebagai ideologi, mengapa justru aturan atau undang-undang di negara lain yang menjadi rujukan, bahkan menjadi alasan anggota DPR melakukan kunjungan studi banding ke luar negeri setiap tahun.
Semua hal di atas tidak lain karena diadopsinya Kapitalisme sebagai ideologi global yang melakukan penjajahan dalam sektor pendidikan, politik, ekonomi dan lain-lain. Mereka yang mengekor pada ideologi ini akan menjadi terjajah secara otomatis. Kalau ingin bangkit, bangsa yang besar ini harus berani melakukan perubahan radikal untuk tidak lagi mengekor pada kapitalisme dan saatnya membangun paradigma kehidupan bangsa yang memiliki tujuan dengan ideologi yang memiliki independen kuat dan tangguh.
Bila di dunia ini hanya hanya ada 3 (tiga) ideologi yaitu Kapitalisme-Sekuler, Sosialisme-Komunis dan Islam, maka saatnya kini meraih kebangkitan hakiki dengan Islam. Dalam hal ini, kebangkitan hakiki adalah kebangkitan atas dasar pemikiran (fikrah). Islamlah satu-satunya fikrah yang shahih, yang didasarkan pada ruh, yang mengakui keberadaan Alloh SWT dengan segala kewenangan-Nya dalam seluruh aspek kehidupan. Dengan demikian, kebangkitan atas dasar Islamlah satu-satunya kebangkitan yang shahih. Sebabnya, Islam disandarkan pada asas (akidah) yang mustahil memiliki kekurangan dan kesalahan.
Dengan ideologi Islamlah manusia dapat meraih kebangkitannya yang hakiki. Sebaliknya, kebangkitan yang dibawa oleh ideologi selain Islam –Kapitalisme-Sekuler maupun Sosialisme-Komunis– adalah kebangkitan yang semu dan sudah terbukti menimbulkan banyak efek negatif berupa kerusakan, kemiskinan, kesenjangan, ketidakadilan, dan ketidaktenteraman hidup. Karena itu, jika Sosialisme-Komunis terbukti telah gagal membawa manusia pada kebangkitan yang hakiki, demikian pula dengan Kapitalisme-Sekuler saat ini yang telah membawa banyak kerusakan bagi manusia, sudah selayaknya kembali pada ideologi Islam. Hanya ideologi Islam-lah yang telah terbukti mampu mengantarkan manusia pada kebangkitan yang hakiki. (Maretika Handrayani,Fakultas Pertanian’08)[Ketua Keputrian LDK DKM Unpad]


Referensi :
[1] Arbi sanit dalam Karim, M Rusli, HMI MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, 1997, hlm 95.
 [2] Gejolak global gerus prospek ekonomi 2012, 2011. Diakses dari http://www.antaranews.com/berita/287711/gejolak-global-gerus-prospek-ekonomi-2012.
 [3] Hafidz Shalih. 2003. Falsafah Kebangkitan: Dari Ide Hingga Metode. (terj. An-Nahdhah). Bogor: Idea Pustaka Utama.
 [4] Hizbut Tahrir Indonesia, 2009. Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia “Indonesia, Khilafah dan Penyatuan Kembali Dunia Islam”. Jakarta: HTI.
 [5] Kegagalan Kebangkitan Indonesia, 2012. Diakses dari http://hizbut-tahrir.or.id/2012/05/01/kegagalan-kebangkitan-indonesia/




No comments:

Post a Comment