Ucapan-ucapan Imam Hambali tidak menghentikan cambuk sang algojo hingga lebih 20 cambuk menghantam punggungnya
INI bukan kisah ulama yang menyebut dirinya pejuang, namun takut akan aroma kematian. Ini bukan penggalan cerita tentang pembela kebenaran yang ciut di hadapan taji penguasa. Ini bukan dongeng tentang sosok manusia yang menyebut dirinya pejuang umat, tetapi berdiam diri melihat agama diobok-obok, kebenaran dijungkirbalikkan, kebatilan dibiarkan menjadi dasar Negara. Ini tentang istiqomah, kesabaran, dan kecintaan pada negeri akhirat.
Dialah panutan sejuta umat. Mazhabnya menjadi pegangan Arab Saudi saat ini. Ia menghafal 700.000 hadits, kemudian menyeleksi dan merangkumnya menjadi 30.000 hadits dalam kitabnya al-Musnad. Ia mengilhami Ibnu Taimiyah dan Ibnu Abdul Wahhabi pada 4 dan 10 abad setelah wafatnya. Dialah penantang tiga khalifah Abbasiyah sesat demi kebenaran. Tidak ada yang tidak mengenalnya, dialah Imam Ahmad bin Hambali pendiri mazhab Hambali.
Imam Ahmad lahir di Baghdad, pada Rabiul Awal 164 H (Desember 780 M) dalam kondisi yatim dan kemiskinan yang melilit. Masa kecilnya ia habiskan dengan belajar Islam dan menghafal al-Qur’an hingga hafizh pada usia 15 tahun. Minatnya yang tinggi dan daya hafalnya yang kuat mendorongnya untuk bekerja keras menuntut ilmu walaupun harus menjadi kuli.
Setelah menghafal al-Qur’an, Ahmad kecil sangat tertarik mempelajari hadits, maka mengembaralah ia ke kota-kota jauh bertemu dengan ahli hadits di Basrah, Kufah, Yaman, Mekkah, dan Madinah. Awalnya ia belajar ilmu fiqh pada Abu Yusuf, kemudian bertemu dengan Imam Syafi’i dan belajar fiqh kepadanya.
Kecintaan dan konsentrasinya dalam belajar membuat ia tidak terburu-buru untuk membangun rumah tangga. Saat usianya menginjak 40 tahun, barulah ia menikah. Membangun keluarga dan keturunan. Anda mungkin takjub, namun bukan ini yang akan kita buka dari lembaran hidup emas Imam Hambali. Mihnah (cobaan) yang diterima sang Imam inilah yang akan membuat kita tercengang dan mudah-mudahan menjadi pecut untuk kehidupan kita.
“Rumah Abu Abdillah Ahmad bin Hambal sempit dan kecil,” kata seorang ulama, al-Maimuni.
Padahal Imam Hambali telah dikenal di penjuru negeri dan memiliki banyak murid dan pengikut. Realitanya ia wara’ dan zuhud dari kehidupan dunia sehingga ia mengandalkan hasil keringatnya sendiri untuk makan dan kebutuhannya sendiri tanpa meminta dan berharap secuil pun bantuan dari penguasa.
Inilah komentar Imam Syafi’I;
“Ahmad bin Hambal imam dalam delapan hal, Imam dalam hadits, Imam dalam Fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Al Qur’an, Imam dalam kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara’, dan Imam dalam Sunnah.”
Sekarang marilah kita menelisik lebih dalam tentang kadar keimanan yang dimiliki oleh sang Imam. Sinar yang membedakannya dari ulama lain, dari manusia lainnya di zamannya atau bahkan yang membuatnya terus bersinar hingga saat ini jauh lebih benderang dari ulama pejuang yang pernah muncul di muka bumi.
Satu zaman sebelum Imam Hambali, saat khalifah dipegang oleh Harun ar-Rasyid, berbagai macam pemikiran, pemahaman dan aliran dalam Islam mulai berkembang dengan segala bentuknya. Salah satu yang membahayakan akidah Islam saat itu adalah pemikiran Islam liberal yang dikenal sebagai Jahmiyah atau Mu’tazilah. Sebuah pemahaman yang lebih mendahulukan akal dan rasionalitas di atas wahyu Allah. Kontan terjadi perdebatan dan konflik sengit yang tak urung memakan korban jiwa.
Pemikiran sesat liberal saat itu diusung oleh Basyar al-Marisy yang mengklaim bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Syukurlah saat itu khalifah Harun ar-Rasyid berpegang erat dengan al-Qur’an dan Sunnah, sehingga ia melarang tegas pemikiran liberal berkembang bahkan memburu pemimpinnya untuk dihukum mati.
"Sekiranya Allah memberiku usia yang panjang dan aku sempat bertemu Basyar, niscaya ia akan aku hukum bunuh dengan pembunuhan yang tak pernah aku jatuhkan atas orang lain," kata khalifah berang.
Selama 20 tahun Basyar bersembunyi dan menyebarkan aliran pemikirannya secara diam-diam. Sepeninggal Khalifah Harun, yakni Khalifah al-Amin, kebijakan negara tetap melarang keras pemikiran sesat Basyr. Barulah setelah al-Amin, saat al-Makmun memegang kendali kekuasaaan sebagai khalifah, pemikiran liberal-Mu’tazilah mulai masuk di lingkaran kekuasaan.
Siapa yang mampu mempengaruhi penguasa dialah yang menang di dunia. Selain karena pengaruh Mu’tazilah, khalifah al-Makmun ketika masih muda sangat menyukai belajar filsafat dan pemikiran Yunani. Inilah yang meracuni pemahamannya sehingga ia mengutamakan akalnya di atas wahyu Allah.
Basyar dan pengikutnya berhasil mendekati al-Makmun secara diam-diam dan rupanya melakukan komunikasi intensif sehingga jatuhlah khalifah dalam perangkap kesesatan Mu’tazilah. Akibatnya, pada tahun 212 H, kebijakan Negara pun mendukung pendapat Basyar yang mengatakan al-Qur’an adalah makhluk, bukan wahyu Allah Ta’ala. Ancaman besar mendera Islam. Selain itu beberapa kebijakan al-Makmun cenderung memihak aliran Syi’ah sehingga banyak menimbulkan konflik dan kekisruhan. Siapakah yang berani menentang penguasa?
Jika sebelumnya ‘ulama-ulama’ sesat yang diancam hukuman mati, kini justru sebaliknya, ulama-ulama yang teguh berpegang pada al-Qur’anlah yang mendapat hukuman siksaan tiada tara. Inilah dampak jika kita membiarkan penguasa terpengaruh oleh pemikiran yang sesat, seluruh umat mendapatkan fitnah cobaan iman dan kesabaran.
Pada tahun 218 H barulah pernyataan al-Qur’an sebagai makhluk ditegakkan. Siapa yang menolaknya akan mendapatkan hukuman. Segera dilakukan penangkapan besar-besaran terhadap ulama-ulama yang menentang kebijakan Negara. Mereka di penjara, disiksa, dan diancam hukuman mati. Pada dasarnya terdapat keringanan dalam Islam untuk mengakui atau mengikuti keinginan penguasa demi mempertahankan nyawa. Semua yang disiksa akhirnya memilih keringanan ini, mengakui dengan lisan, namun mengingkari dengan hati. Hanya segelintir ulama yang bertahan, hati dan lidah tetap tegas mengatakan bahwa al-Qur’an adalah wahyu, bukan makhluk, di antaranya dialah Imam Hambali.
Seorang ulama, Maimmun bin al Ashbagh, yang menyaksikan prosesi penyiksaan Imam Hambali bertutur,
"Saya datang menghadiri majelis pengadilan negara yang akan memeriksa perkara Imam Hambali. Dalam majelis pengadilan itu terlihat pedang-pedang telah dihunuskan, tombak-tombak telah ditegakkan, panah-panah telah disiapkan, dan cambuk siap diayunkan untuk Imam Hambali. Khalifah al-Ma'mun lalu duduk di atas kursi yang telah disiapkan di balai persidangan. Imam Hambali dipanggil menghadap kemudian khalifah berkata, “Atas nama saya sebagai kerabat Rasulullah saw saya akan memukul engkau dengan cambuk sampai engkau membenarkan apa yang telah saya benarkan, atau engkau menyatakan seperti apa yang saya katakan.”
"Cambuk dia!" perintah khalifah pada algojo.
Sang Algojo segera bertindak tanpa ragu. Imam Hambali diseret lalu dicambuk. Cambukkan pertama tepat mengenai punggung beliau.
"Bismillah.."ucap Imam Hambali menahan sakit.
Pada cambukkan yang kedua beliau mengucapkan kalimat, "Laa haula wala quwwata illa billah."
Pada cambuk yang ketiga dengan lantang beliau berucap, "al-Qur'an kalamullahi ghairu makhluqin!"
Mendaratlah cambuk yang keempat dan kali ini beliau bahkan sempat membacakan ayat al-Qur’an, "Qul lan yushiibanaa illa ma kataballah lana!"
Ucapan-ucapan Imam Hambali tidak menghentikan cambuk sang algojo hingga lebih 20 cambuk menghantam punggungnya. Darah segar pun mengucur dan menetes di lantai. Khalifah tidak merasa iba sedikit pun. Kezaliman mendera kebenaran, kebatilan tertawa-tawa di atas keimanan, inilah ujian Allah yang hanya bisa dihadapi oleh hamba-hamba-Nya tertentu.
Imam Hambali sadar bahwa ia harus bertahan dan menggigit kuat keimanan dengan gigi gerahamnya. Ia sadar ia pegangan umat terakhir. Jika ia mengakui, maka ribuan bahkan ratusan ribu umat di belakangnya akan ikut pula mengakui kesesatan penguasa.
Cambukkan algojo membuat tali sarung sang Imam putus hingga sarungnya hampir melorot. Saat itu yang ada dipikiran Imam Hambali bukan bagaimana bisa mendapat keringanan atau ampunan, yang berkecamuk dalam pikirannya adalah bagaimana jika auratnya terlihat di muka umum. Hanya itu yang dipikirkan beliau. Dalam kondisi terzalimi, doa yang dipanjatkan beliau hanyalah doa agar celananya tidak melorot sehingga auratnya tidak terbuka. Doa itu dikabulkan sehingga sarungnya terjaga tidak turun hingga ia dikembalikan ke dalam penjara dengan kondisi yang memprihatinkan
Banyak sahabat dan orang-orang yang prihatin dengan kondisi Imam Hambali, meminta beliau untuk mengikuti saja keinginan penguasa. Apa jawab beliau?
“Bagaimana kalian menyikapi sabda Rasulullah Saw, ‘Sesungguhnya orang-orang sebelum Khabbab, ada yang digergaji kepalanya namun tidak membuatnya berpaling dari agamanya.’
Aku tidak peduli dengan penjara, bagiku penjara dan rumahku sama saja!”
Keteguhan Imam Hambali seperti dikomentari seorang ulama Ishak bin Ibrahim,
“Aku belum pernah melihat seseorang yang berada di depan penguasa di mana ia lebih tegar dari Imam Ahmad bin Hambal. Kami saat itu di mata penguasa hanya seperti lalat.”
Apa yang membuat sang Imam begitu tegar?
“Semenjak terjadinya fitnah, aku belum pernah mendengar suatu kalimat yang lebih mengesankan dari kalimat yang diucapkan oleh seorang Arab Badui kepadaku,
‘Wahai Ahmad, jika Anda terbunuh karena kebenaran maka Anda mati syahid, dan jika Anda selamat maka anda hidup mulia!’. Mendengarnya membuat hatiku semakin kuat.”
Kesabaran sang Imam tidak mampu digoyang oleh penguasa yang kekuasaannya saat itu telah menaungi negeri Iran di Timur hingga Maroko di Barat. Sampai akhirnya Khalifah al-Makmun wafat dan digantikan oleh al-Mu’tashim. Kebijakan Negara pun belum berubah hingga wafat pula al-Mu’tashim digantikan oleh al-Watsiq sebagai khalifah.
Sepanjang tiga periode kekhalifahan Abbasiyah dari al-Makmun, al-Mu’tahsim, dan al-Watsiq, paham liberalisme begitu kuat mencengkeram pemikiran khalifah sehingga fatwa al-Qur’an adalah makhluk terus berdendang. Padahal sangat besar dampak buruknya jika al-Qur’an dikatakan sebagai makhluk. Tentu al-Qur’an tidak sempurna, bisa salah dan bisa benar, itulah yang difatwakan Mu’tazilah untuk menghancurkan Islam.
Saat kekhalifahan dipegang al-Mu’tashim, kepala ulama pemerintah (semacam MUI) dipegang oleh Ahmad bin Abu Dawud, seorang Mu’tazilah. Terjadi perdebatan sengit antara Imam Hambali dan Ibnu Abu Dawud. Semua argumentasi Ibnu Abu Dawud bisa dipatahkan oleh sang Imam, namun penguasa tetaplah penguasa yang otoriter dan tidak mau mengakui kesalahannya.
"Wahai amirul mu'minin, berikan dan ajukanlah kepadaku suatu alasan yang terang berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah, biar nanti aku sadar dan insaf, lalu aku ikut mengatakan bahwa al-Qur'an itu makhluk. Bagaimana aku harus mengikuti pendapat dan pendirian orang lain yang tidak didasari alasan yang benar?" ungkap Imam Hambali sebelum akhirnya ia meringkuk lagi di penjara.
Pada masa al-Watsiq Imam Hambali tetap terkungkung di penjara. Bahkan seorang ulama Ahmad bin Nashr dipancung dan tubuhnya disalib selama 6 tahun lamanya karena penolakannya terhadap fatwa sesat pemerintah.
“Sebenarnya yang berbohong adalah kamu sendiri!” ungkap Ahmad tegas pada khalifah. Orang-orang Mu’tazilah yang berada di sekitar khalifah lantas menyatakan kehalalan Ahmad untuk dihukum mati. Saat khalifah al-Watsiq wafat barulah jasadnya diturunkan oleh Khalifah Mutawakkil dari tiang salib di Samura.
Selain Ahmad bin Nashr, seorang murid utama Imam Syafi’i yang bernama al-Buwaithi juga wafat dipenjara karena penolakannya terhadap fatwa sesat penguasa. Ia wafat dalam keadaan terikat di dalam penjara. Kini hanya tinggal Imam Hambali yang meringkuk dalam penjara yang kejam. Tidak beberapa lama lagi pertolongan Allah tiba untuk menyudahi ujian-Nya kepada hamba pilihan-Nya.
Khalifah al-Mutawakkil menggantikan al-Watsiq yang wafat pada tahun 232 H. Ia sangat dekat dengan ahlus Sunnah sehingga pada tahun 234 H, ia mencabut fatwa bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Maka bebaslah Imam Ahmad bin Hambali menghirup udara segar di mana jutaan umat telah menanti nasihat dan ilmunya.
Khalifah lantas melakukan tindakan balasan terhadap kaum Mu’tazilah. Semua pejabat sesat yang berkuasa sebelumnya, ia singkirkan dan dihukum keras. Salah satunya seorang Hakim Agung Mesir yang juga gembong Mu’tazilah, Abu Bakar bin al-Laits. Jenggotnya dicukur habis, dipukul kemudian digelandang keliling kota dengan keledai.
Hampir 16 tahun Imam Hambali menjalani fitnah kesesatan yang dilancarkan Mu’tazilah liberal. Betapa dahsyatnya mereka mengobok Islam saat mereka mampu mempengaruhi kekuasaan. Itulah mengapa pentingnya ulama yang lurus harus terlibat dalam kancah politik untuk bisa mempengaruhi penguasa sehingga mengeluarkan kebijaksanaan yang sejalan dengan Islam yang benar.
Kini Imam Hambali bisa tidur kembali di rumahnya yang kecil namun penuh ketenangan dan ketentraman. Benarkah ia mendapatkan ketenangan dan selesai dari ujian Allah. Ternyata tidak. Ujian Allah kembali datang namun dalam bentuk yang lain. Khalifah al-Mutawakkil sangat mencintai ulama dan ia memberikan banyak hadiah dan penghormatan kepada Imam Hambali. Datanglah khalifah membawa 10.000 dinar (ratusan juta rupiah) untuk diberikan kepada sang Imam. Apa tanggapan beliau?
”Aku telah selamat dari bahaya mereka selama ini, tetapi saat ajal saya sudah hampir datang seperti saat ini, aku diuji oleh mereka dengan harta benda dan dunia mereka.”
Saat khalifah pulang, ia segera membagikan semua pemberian khalifah kepada orang-orang di sekitarnya dan yang membutuhkan tanpa secuil ia ambil. Pakaian kehormatan khalifah dilepaskannya kembali dan digantikannya dengan pakaian lusuh yang biasa ia pakai.
”Ini tidak lain hanyalah fitnah dunia, dan penderitaan pada masa lalu itu adalah fitnah bagi agama.”
Yahya bin Ma’in berkata, “Saya tidak pernah melihat orang yang seperti Imam Ahmad bin Hambal, saya berteman dengannya selama lima puluh tahun dan tidak pernah menjumpai dia membanggakan sedikitpun kebaikan yang ada padanya kepada kami.”
Popularitas Imam Hambali memuncak, sinarnya keimanannya menyilaukan mata, namun apa kata hati beliau?
“Saya ingin bersembunyi di lembah Makkah hingga saya tidak dikenal, saya diuji dengan popularitas.”
Imam Hambali pernah bermuka masam karena ada seseorang yang memujinya dengan mengatakan,
“Semoga Allah membalasmu atas kebaikan dan jasamu kepada Islam.”
“Jangan begitu tetapi katakanlah, semoga Allah membalas kebaikan Islam atas jasanya kepadaku, siapa saya dan apa (jasa) saya?!”
Dialah sang Imam yang tegar dan teguh dalam jihadnya mempertahankan kebenaran sekalipun di depan penguasa. Siapakah yang menyerupainya di zaman ini? Bahkan ulama-ulama saat ini yang mengaku sebagai pengikutnya, sebagai salafush shalih di Arab Saudi, tidak berani sedikit pun mengkritik rajanya yang begitu mesra dengan Amerika dan Israel yang membantai muslimin di berbagai belahan dunia.
Menjelang akhir hayatnya, Imam Hambali sakit keras selama sembilan hari lamanya. Pada pagi hari Jumat tanggal dua belas Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77 tahun beliau menghembuskan nafas terakhirnya menghadap Allah Ta’ala. Jenazah beliau dihantar lebih lima ratus ribu muslimin di Bahgdad. Maha Suci Allah.
INI bukan kisah ulama yang menyebut dirinya pejuang, namun takut akan aroma kematian. Ini bukan penggalan cerita tentang pembela kebenaran yang ciut di hadapan taji penguasa. Ini bukan dongeng tentang sosok manusia yang menyebut dirinya pejuang umat, tetapi berdiam diri melihat agama diobok-obok, kebenaran dijungkirbalikkan, kebatilan dibiarkan menjadi dasar Negara. Ini tentang istiqomah, kesabaran, dan kecintaan pada negeri akhirat.
Dialah panutan sejuta umat. Mazhabnya menjadi pegangan Arab Saudi saat ini. Ia menghafal 700.000 hadits, kemudian menyeleksi dan merangkumnya menjadi 30.000 hadits dalam kitabnya al-Musnad. Ia mengilhami Ibnu Taimiyah dan Ibnu Abdul Wahhabi pada 4 dan 10 abad setelah wafatnya. Dialah penantang tiga khalifah Abbasiyah sesat demi kebenaran. Tidak ada yang tidak mengenalnya, dialah Imam Ahmad bin Hambali pendiri mazhab Hambali.
Imam Ahmad lahir di Baghdad, pada Rabiul Awal 164 H (Desember 780 M) dalam kondisi yatim dan kemiskinan yang melilit. Masa kecilnya ia habiskan dengan belajar Islam dan menghafal al-Qur’an hingga hafizh pada usia 15 tahun. Minatnya yang tinggi dan daya hafalnya yang kuat mendorongnya untuk bekerja keras menuntut ilmu walaupun harus menjadi kuli.
Setelah menghafal al-Qur’an, Ahmad kecil sangat tertarik mempelajari hadits, maka mengembaralah ia ke kota-kota jauh bertemu dengan ahli hadits di Basrah, Kufah, Yaman, Mekkah, dan Madinah. Awalnya ia belajar ilmu fiqh pada Abu Yusuf, kemudian bertemu dengan Imam Syafi’i dan belajar fiqh kepadanya.
Kecintaan dan konsentrasinya dalam belajar membuat ia tidak terburu-buru untuk membangun rumah tangga. Saat usianya menginjak 40 tahun, barulah ia menikah. Membangun keluarga dan keturunan. Anda mungkin takjub, namun bukan ini yang akan kita buka dari lembaran hidup emas Imam Hambali. Mihnah (cobaan) yang diterima sang Imam inilah yang akan membuat kita tercengang dan mudah-mudahan menjadi pecut untuk kehidupan kita.
“Rumah Abu Abdillah Ahmad bin Hambal sempit dan kecil,” kata seorang ulama, al-Maimuni.
Padahal Imam Hambali telah dikenal di penjuru negeri dan memiliki banyak murid dan pengikut. Realitanya ia wara’ dan zuhud dari kehidupan dunia sehingga ia mengandalkan hasil keringatnya sendiri untuk makan dan kebutuhannya sendiri tanpa meminta dan berharap secuil pun bantuan dari penguasa.
Inilah komentar Imam Syafi’I;
“Ahmad bin Hambal imam dalam delapan hal, Imam dalam hadits, Imam dalam Fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Al Qur’an, Imam dalam kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara’, dan Imam dalam Sunnah.”
Sekarang marilah kita menelisik lebih dalam tentang kadar keimanan yang dimiliki oleh sang Imam. Sinar yang membedakannya dari ulama lain, dari manusia lainnya di zamannya atau bahkan yang membuatnya terus bersinar hingga saat ini jauh lebih benderang dari ulama pejuang yang pernah muncul di muka bumi.
Satu zaman sebelum Imam Hambali, saat khalifah dipegang oleh Harun ar-Rasyid, berbagai macam pemikiran, pemahaman dan aliran dalam Islam mulai berkembang dengan segala bentuknya. Salah satu yang membahayakan akidah Islam saat itu adalah pemikiran Islam liberal yang dikenal sebagai Jahmiyah atau Mu’tazilah. Sebuah pemahaman yang lebih mendahulukan akal dan rasionalitas di atas wahyu Allah. Kontan terjadi perdebatan dan konflik sengit yang tak urung memakan korban jiwa.
Pemikiran sesat liberal saat itu diusung oleh Basyar al-Marisy yang mengklaim bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Syukurlah saat itu khalifah Harun ar-Rasyid berpegang erat dengan al-Qur’an dan Sunnah, sehingga ia melarang tegas pemikiran liberal berkembang bahkan memburu pemimpinnya untuk dihukum mati.
"Sekiranya Allah memberiku usia yang panjang dan aku sempat bertemu Basyar, niscaya ia akan aku hukum bunuh dengan pembunuhan yang tak pernah aku jatuhkan atas orang lain," kata khalifah berang.
Selama 20 tahun Basyar bersembunyi dan menyebarkan aliran pemikirannya secara diam-diam. Sepeninggal Khalifah Harun, yakni Khalifah al-Amin, kebijakan negara tetap melarang keras pemikiran sesat Basyr. Barulah setelah al-Amin, saat al-Makmun memegang kendali kekuasaaan sebagai khalifah, pemikiran liberal-Mu’tazilah mulai masuk di lingkaran kekuasaan.
Siapa yang mampu mempengaruhi penguasa dialah yang menang di dunia. Selain karena pengaruh Mu’tazilah, khalifah al-Makmun ketika masih muda sangat menyukai belajar filsafat dan pemikiran Yunani. Inilah yang meracuni pemahamannya sehingga ia mengutamakan akalnya di atas wahyu Allah.
Basyar dan pengikutnya berhasil mendekati al-Makmun secara diam-diam dan rupanya melakukan komunikasi intensif sehingga jatuhlah khalifah dalam perangkap kesesatan Mu’tazilah. Akibatnya, pada tahun 212 H, kebijakan Negara pun mendukung pendapat Basyar yang mengatakan al-Qur’an adalah makhluk, bukan wahyu Allah Ta’ala. Ancaman besar mendera Islam. Selain itu beberapa kebijakan al-Makmun cenderung memihak aliran Syi’ah sehingga banyak menimbulkan konflik dan kekisruhan. Siapakah yang berani menentang penguasa?
Jika sebelumnya ‘ulama-ulama’ sesat yang diancam hukuman mati, kini justru sebaliknya, ulama-ulama yang teguh berpegang pada al-Qur’anlah yang mendapat hukuman siksaan tiada tara. Inilah dampak jika kita membiarkan penguasa terpengaruh oleh pemikiran yang sesat, seluruh umat mendapatkan fitnah cobaan iman dan kesabaran.
Pada tahun 218 H barulah pernyataan al-Qur’an sebagai makhluk ditegakkan. Siapa yang menolaknya akan mendapatkan hukuman. Segera dilakukan penangkapan besar-besaran terhadap ulama-ulama yang menentang kebijakan Negara. Mereka di penjara, disiksa, dan diancam hukuman mati. Pada dasarnya terdapat keringanan dalam Islam untuk mengakui atau mengikuti keinginan penguasa demi mempertahankan nyawa. Semua yang disiksa akhirnya memilih keringanan ini, mengakui dengan lisan, namun mengingkari dengan hati. Hanya segelintir ulama yang bertahan, hati dan lidah tetap tegas mengatakan bahwa al-Qur’an adalah wahyu, bukan makhluk, di antaranya dialah Imam Hambali.
Seorang ulama, Maimmun bin al Ashbagh, yang menyaksikan prosesi penyiksaan Imam Hambali bertutur,
"Saya datang menghadiri majelis pengadilan negara yang akan memeriksa perkara Imam Hambali. Dalam majelis pengadilan itu terlihat pedang-pedang telah dihunuskan, tombak-tombak telah ditegakkan, panah-panah telah disiapkan, dan cambuk siap diayunkan untuk Imam Hambali. Khalifah al-Ma'mun lalu duduk di atas kursi yang telah disiapkan di balai persidangan. Imam Hambali dipanggil menghadap kemudian khalifah berkata, “Atas nama saya sebagai kerabat Rasulullah saw saya akan memukul engkau dengan cambuk sampai engkau membenarkan apa yang telah saya benarkan, atau engkau menyatakan seperti apa yang saya katakan.”
"Cambuk dia!" perintah khalifah pada algojo.
Sang Algojo segera bertindak tanpa ragu. Imam Hambali diseret lalu dicambuk. Cambukkan pertama tepat mengenai punggung beliau.
"Bismillah.."ucap Imam Hambali menahan sakit.
Pada cambukkan yang kedua beliau mengucapkan kalimat, "Laa haula wala quwwata illa billah."
Pada cambuk yang ketiga dengan lantang beliau berucap, "al-Qur'an kalamullahi ghairu makhluqin!"
Mendaratlah cambuk yang keempat dan kali ini beliau bahkan sempat membacakan ayat al-Qur’an, "Qul lan yushiibanaa illa ma kataballah lana!"
Ucapan-ucapan Imam Hambali tidak menghentikan cambuk sang algojo hingga lebih 20 cambuk menghantam punggungnya. Darah segar pun mengucur dan menetes di lantai. Khalifah tidak merasa iba sedikit pun. Kezaliman mendera kebenaran, kebatilan tertawa-tawa di atas keimanan, inilah ujian Allah yang hanya bisa dihadapi oleh hamba-hamba-Nya tertentu.
Imam Hambali sadar bahwa ia harus bertahan dan menggigit kuat keimanan dengan gigi gerahamnya. Ia sadar ia pegangan umat terakhir. Jika ia mengakui, maka ribuan bahkan ratusan ribu umat di belakangnya akan ikut pula mengakui kesesatan penguasa.
Cambukkan algojo membuat tali sarung sang Imam putus hingga sarungnya hampir melorot. Saat itu yang ada dipikiran Imam Hambali bukan bagaimana bisa mendapat keringanan atau ampunan, yang berkecamuk dalam pikirannya adalah bagaimana jika auratnya terlihat di muka umum. Hanya itu yang dipikirkan beliau. Dalam kondisi terzalimi, doa yang dipanjatkan beliau hanyalah doa agar celananya tidak melorot sehingga auratnya tidak terbuka. Doa itu dikabulkan sehingga sarungnya terjaga tidak turun hingga ia dikembalikan ke dalam penjara dengan kondisi yang memprihatinkan
Banyak sahabat dan orang-orang yang prihatin dengan kondisi Imam Hambali, meminta beliau untuk mengikuti saja keinginan penguasa. Apa jawab beliau?
“Bagaimana kalian menyikapi sabda Rasulullah Saw, ‘Sesungguhnya orang-orang sebelum Khabbab, ada yang digergaji kepalanya namun tidak membuatnya berpaling dari agamanya.’
Aku tidak peduli dengan penjara, bagiku penjara dan rumahku sama saja!”
Keteguhan Imam Hambali seperti dikomentari seorang ulama Ishak bin Ibrahim,
“Aku belum pernah melihat seseorang yang berada di depan penguasa di mana ia lebih tegar dari Imam Ahmad bin Hambal. Kami saat itu di mata penguasa hanya seperti lalat.”
Apa yang membuat sang Imam begitu tegar?
“Semenjak terjadinya fitnah, aku belum pernah mendengar suatu kalimat yang lebih mengesankan dari kalimat yang diucapkan oleh seorang Arab Badui kepadaku,
‘Wahai Ahmad, jika Anda terbunuh karena kebenaran maka Anda mati syahid, dan jika Anda selamat maka anda hidup mulia!’. Mendengarnya membuat hatiku semakin kuat.”
Kesabaran sang Imam tidak mampu digoyang oleh penguasa yang kekuasaannya saat itu telah menaungi negeri Iran di Timur hingga Maroko di Barat. Sampai akhirnya Khalifah al-Makmun wafat dan digantikan oleh al-Mu’tashim. Kebijakan Negara pun belum berubah hingga wafat pula al-Mu’tashim digantikan oleh al-Watsiq sebagai khalifah.
Sepanjang tiga periode kekhalifahan Abbasiyah dari al-Makmun, al-Mu’tahsim, dan al-Watsiq, paham liberalisme begitu kuat mencengkeram pemikiran khalifah sehingga fatwa al-Qur’an adalah makhluk terus berdendang. Padahal sangat besar dampak buruknya jika al-Qur’an dikatakan sebagai makhluk. Tentu al-Qur’an tidak sempurna, bisa salah dan bisa benar, itulah yang difatwakan Mu’tazilah untuk menghancurkan Islam.
Saat kekhalifahan dipegang al-Mu’tashim, kepala ulama pemerintah (semacam MUI) dipegang oleh Ahmad bin Abu Dawud, seorang Mu’tazilah. Terjadi perdebatan sengit antara Imam Hambali dan Ibnu Abu Dawud. Semua argumentasi Ibnu Abu Dawud bisa dipatahkan oleh sang Imam, namun penguasa tetaplah penguasa yang otoriter dan tidak mau mengakui kesalahannya.
"Wahai amirul mu'minin, berikan dan ajukanlah kepadaku suatu alasan yang terang berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah, biar nanti aku sadar dan insaf, lalu aku ikut mengatakan bahwa al-Qur'an itu makhluk. Bagaimana aku harus mengikuti pendapat dan pendirian orang lain yang tidak didasari alasan yang benar?" ungkap Imam Hambali sebelum akhirnya ia meringkuk lagi di penjara.
Pada masa al-Watsiq Imam Hambali tetap terkungkung di penjara. Bahkan seorang ulama Ahmad bin Nashr dipancung dan tubuhnya disalib selama 6 tahun lamanya karena penolakannya terhadap fatwa sesat pemerintah.
“Sebenarnya yang berbohong adalah kamu sendiri!” ungkap Ahmad tegas pada khalifah. Orang-orang Mu’tazilah yang berada di sekitar khalifah lantas menyatakan kehalalan Ahmad untuk dihukum mati. Saat khalifah al-Watsiq wafat barulah jasadnya diturunkan oleh Khalifah Mutawakkil dari tiang salib di Samura.
Selain Ahmad bin Nashr, seorang murid utama Imam Syafi’i yang bernama al-Buwaithi juga wafat dipenjara karena penolakannya terhadap fatwa sesat penguasa. Ia wafat dalam keadaan terikat di dalam penjara. Kini hanya tinggal Imam Hambali yang meringkuk dalam penjara yang kejam. Tidak beberapa lama lagi pertolongan Allah tiba untuk menyudahi ujian-Nya kepada hamba pilihan-Nya.
Khalifah al-Mutawakkil menggantikan al-Watsiq yang wafat pada tahun 232 H. Ia sangat dekat dengan ahlus Sunnah sehingga pada tahun 234 H, ia mencabut fatwa bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Maka bebaslah Imam Ahmad bin Hambali menghirup udara segar di mana jutaan umat telah menanti nasihat dan ilmunya.
Khalifah lantas melakukan tindakan balasan terhadap kaum Mu’tazilah. Semua pejabat sesat yang berkuasa sebelumnya, ia singkirkan dan dihukum keras. Salah satunya seorang Hakim Agung Mesir yang juga gembong Mu’tazilah, Abu Bakar bin al-Laits. Jenggotnya dicukur habis, dipukul kemudian digelandang keliling kota dengan keledai.
Hampir 16 tahun Imam Hambali menjalani fitnah kesesatan yang dilancarkan Mu’tazilah liberal. Betapa dahsyatnya mereka mengobok Islam saat mereka mampu mempengaruhi kekuasaan. Itulah mengapa pentingnya ulama yang lurus harus terlibat dalam kancah politik untuk bisa mempengaruhi penguasa sehingga mengeluarkan kebijaksanaan yang sejalan dengan Islam yang benar.
Kini Imam Hambali bisa tidur kembali di rumahnya yang kecil namun penuh ketenangan dan ketentraman. Benarkah ia mendapatkan ketenangan dan selesai dari ujian Allah. Ternyata tidak. Ujian Allah kembali datang namun dalam bentuk yang lain. Khalifah al-Mutawakkil sangat mencintai ulama dan ia memberikan banyak hadiah dan penghormatan kepada Imam Hambali. Datanglah khalifah membawa 10.000 dinar (ratusan juta rupiah) untuk diberikan kepada sang Imam. Apa tanggapan beliau?
”Aku telah selamat dari bahaya mereka selama ini, tetapi saat ajal saya sudah hampir datang seperti saat ini, aku diuji oleh mereka dengan harta benda dan dunia mereka.”
Saat khalifah pulang, ia segera membagikan semua pemberian khalifah kepada orang-orang di sekitarnya dan yang membutuhkan tanpa secuil ia ambil. Pakaian kehormatan khalifah dilepaskannya kembali dan digantikannya dengan pakaian lusuh yang biasa ia pakai.
”Ini tidak lain hanyalah fitnah dunia, dan penderitaan pada masa lalu itu adalah fitnah bagi agama.”
Yahya bin Ma’in berkata, “Saya tidak pernah melihat orang yang seperti Imam Ahmad bin Hambal, saya berteman dengannya selama lima puluh tahun dan tidak pernah menjumpai dia membanggakan sedikitpun kebaikan yang ada padanya kepada kami.”
Popularitas Imam Hambali memuncak, sinarnya keimanannya menyilaukan mata, namun apa kata hati beliau?
“Saya ingin bersembunyi di lembah Makkah hingga saya tidak dikenal, saya diuji dengan popularitas.”
Imam Hambali pernah bermuka masam karena ada seseorang yang memujinya dengan mengatakan,
“Semoga Allah membalasmu atas kebaikan dan jasamu kepada Islam.”
“Jangan begitu tetapi katakanlah, semoga Allah membalas kebaikan Islam atas jasanya kepadaku, siapa saya dan apa (jasa) saya?!”
Dialah sang Imam yang tegar dan teguh dalam jihadnya mempertahankan kebenaran sekalipun di depan penguasa. Siapakah yang menyerupainya di zaman ini? Bahkan ulama-ulama saat ini yang mengaku sebagai pengikutnya, sebagai salafush shalih di Arab Saudi, tidak berani sedikit pun mengkritik rajanya yang begitu mesra dengan Amerika dan Israel yang membantai muslimin di berbagai belahan dunia.
Menjelang akhir hayatnya, Imam Hambali sakit keras selama sembilan hari lamanya. Pada pagi hari Jumat tanggal dua belas Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77 tahun beliau menghembuskan nafas terakhirnya menghadap Allah Ta’ala. Jenazah beliau dihantar lebih lima ratus ribu muslimin di Bahgdad. Maha Suci Allah.
No comments:
Post a Comment