Suatu hari ketika berkumpul dengan para sahabatnya, Rasulullah saw yang mulia bertanya, “Wahai para sahabatku, ada suatu kaum yang keimanannya mengagumkanku, tahukah kalian siapakah mereka?” para sahabat menjawab, "Kami para sahabat yang selalu setia kepadamu.” Rasulullah saw bersabda, “Bukan. Kalian bergaul denganku, melihatku beribadah, dan mengetahui saat wahyu turun maka wajar jika kalian beriman kepada Alloh juga padaku” Para sahabat pun berkata,” Alloh dan Rasul-Nya lebih tahu.” Penutup para nabi itu pun bersabda,”Aku mengagumi kaum di akhir zaman, mereka tidak pernah bertemu denganku, melihat aku beribadah ataupun melihat wahyu turun, namun mereka beriman kepada Alloh serta kepadaku tanpa keraguan sedikitpun”. Allohu Akbar!
Tidak terbayangkan pilunya hati Rasulullah saw yang mulia jika melihat kenyataan saat ini, umat Islam bagaikan buih, banyak namun tak berdaya. Mereka menjadi bulan-bulanan orang-orang kafir yang membencinya.
Dibantai, dianiaya, tanahnya dirampas dan diusir dari negeri sendiri. Diperlakukan sangat tidak adil, kebebasan menjalankan ajaran agama dibatasi, bahkan saat ini diberitakan kitab sucinya pun sampai dinistakan kafir laknatulloh alaih itu, namun negara-negara mayoritas muslim banyak yang tetap bungkam.
Umat Islam banyak yang malu mengaku sebagai muslim, Barat sudah menjadi kiblat kebudayaan remajanya dan kemaksiatan menjadi tontonan yang lumrah.
Adakah yang masih dapat beliau banggakan dari ummatnya ini? Umat yang oleh Alloh dalam QS. 3:110 disebut sebagai umat terbaik. Umat akhir zaman yang beliau kagumi dan pernah dibanggakan dihadapan para sahabatnya.Umat yang beliau khawatirkan hingga menjelang ajalnya beliau panggil dengan harap cemas, “Ummatii...ummatii...” Adakah yang salah dengan kebanggaan Rasulullah saw pada kita? Adakah yang salah pada sebutan umat terbaik dari Alloh untuk kita?
Lantas bagaimana caranya agar gelar umat terbaik dari Alloh bagi kita mampu kita wujudkan? Jawabannya adalah tak lain dengan melakukan apa yang menjadi syarat dari umat terbaik itu sendiri, yakni memerintahkan berbuat ma'ruf, mencegah berbuat munkar, serta beriman kepada Alloh.
Beriman kepada Alloh tak cukup hanya mengaku percaya, namun ia menuntut konsekuensi lebih jauh. Keimanan pada Alloh menuntut kemurnian akidah tanpa noda-noda kemusyrikan. Keimanan juga mesti diwujudkan dengan penyerahan diri yang total pada hukumnya dalam setiap aspek kehidupan. Kualitas keimanan dapat terlihat langsung dari amal saleh yang dilakukan. Tak cukup kita berbuat baik sendiri tanpa merasa perlu mengajak orang lain untuk berbuat baik, karena menyebarkan kebaikan bukan hanya kewajiban para dai namun ia adalah kewajiban setiap diri yang mengaku muslim. Mencegah orang lain berbuat kemungkaran itu memang lebih berat daripada mengajak berbuat baik. Saat kita mengajak dan orang tidak mau, urusan selesai, namun saat kita mencegah orang berbuat munkar dan mereka tidak mau bisa saja urusan berbuntut panjang. Inilah tantangannya.
Tak ada alasan kita untuk hanya menjadi penonton orang lain beraksi tanpa sedikit pun tergerak untuk menjadi penuntun. Kita harus ingat, jika adzab Alloh ditimpakan pada suatu kaum karena kemaksiatan mereka, maka adzab itu akan menimpa siapapun yang ada di sana sekalipun ia tidak termasuk orang yang suka bermaksiat.
Sabda Rasulullah saw, "Sesungguhnya Alloh tidak menyiksa orang-orang tertentu karena dosa-dosa orang umum, sehingga ia melihat kemunkaran dihadapan mereka tetapi mereka tidak mengingkari (menolak, mencegah) padahal mereka Mampu melakukannya. (HR Ahmad dari 'Addi bin 'Umairah)