Tuesday, June 14, 2011

Perempuan dalam Belenggu kapitalisme

Memandang potret nasib perempuan saat ini kita akan menjumpai betapa perempuan di berbagai belahan dunia saat ini masih jauh dari kemuliaan dan kesejahteraan. Potret buram nasib perempuan di abad 21 ini tak bisa dilepaskan di era globalisasi yang didrive oleh sistem demokrasi-kapitalisme. Gelombang globalisasi saat ini harus dibayar mahal dengan kenyataan bahwa 2/3 angka buta huruf dunia serta 3/5 angka penduduk dunia termiskin masih diwakili oleh kaum perempuan. Inilah paradoks globalisasi yang dipimpin oleh ideologi Kapitalisme. Di Indonesia, data Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebut jumlah perempuan bekerja mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Jumlah perempuan bekerja 38,6 juta orang pada tahun 2006 dan meningkat menjadi 42,8 juta pada tahun 2008.

Maka, Salah satu gerbang utama agar perempuan mencapai prestasi puncak dalam keberhasilan ekonomi adalah pendidikan tinggi. Namun ironisnya, rangkaian kebijakan pendidikan ini bukan hanya gagal dalam memajukan perempuan juga membawa perempuan pada setidaknya dua bahaya besar; yaitu (1) disorientasi perannya sebagai ibu dan pilar utama keluarga, (2) eksploitasi ilmu dan keahliannya untuk kepentingan industri kapitalistik. Untuk bahaya yang pertama, bisa kita lihat dari kemajuan semu yang diklaim oleh gerakan perempuan dalam memperjuangkan kesetaraan gender (gender equality). Alih-alih maju, justru malah membawa perempuan semakin terpuruk dalam kubangan persoalan. Runtuhnya struktur keluarga, meningkatnya angka perceraian, merebaknya free seks, meningkatnya kasus-kasus aborsi, dilema perempuan karir, eksploitasi perempuan, pelecehan seksual, anak-anak bermasalah dan lain-lain ditengarai kuat menjadi efek langsung dari gagasan kebebasan perempuan. Bahaya yang kedua juga tidak kalah destruktifnya, bahkan menimbulkan multiplier effect. Bahaya ini datang dari penerapan sistem pendidikan yang kapitalistik. Kebijakan otonomi kampus, misalnya, sejatinya hanya penegasan belaka atas kenyataan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia telah berkembang menjadi industri. Di negara-negara kapitalis besar, seperti AS, Kanada, Inggris, atau Australia, pendidikan tinggi memang merupakan lahan industri strategis yang menjadi bagian dari dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan.

Komersialisasi pendidikan tinggi menjadikan kehancuran peran intelektual terpelajar dan jatuhnya kedudukan mereka sekedar sebagai agen ekonomi dan buruh murah yang memperkuat bercokolnya para kapitalis. Kapitalisme telah menjatuhkan ilmu pengetahuan dan para pemilik ilmu pengetahuan pada derajat budak-budak mereka. Ilmu dan profesionalitas mereka dibajak untuk melegitimasi sepak terjang para kapitalis dalam merampok kekayaan alam negeri ini. Undang-undang (UU) Penanaman Modal, UU migas, UU ketenagalistrikan, UU sumber daya air, semua itu adalah hasil karya para intelektual pesanan para kapitalis yang sangat menyengsarakan rakyat. Kalangan Intelektual dalam sistem kapitalistik juga ditelikung untuk menjadi pemadam kebakaran dari masalah yang terus menerus diproduksi para kapitalis. Mereka diminta untuk mereklamasi lahan bekas tambang, menemukan tanaman yang tahan terhadap pencemaran, menemukan teknik bioenergi terbaik dan berbagai teknologi yang semua itu dalam rangka menghapus dosa-dosa para kapitalis dari berbagai kerusakan yang mereka perbuat. Perempuan terpelajar yang sudah menikah pun kemudian mengalami dilema antara profesi dan peran sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Tuntutan pekerjaan yang sangat sibuk menjadikan anak-anak dan keluarga terbengkalai sehingga perceraian menjadi satu hal yang tidak asing.

Walhasil, dua bahaya ini akan selalu membayangi kehidupan perempuan terpelajar. Mereka akan terus menerus berada di bawah dilema antara tekanan profesionalitasnya dengan dedikasi keilmuan yang dimilikinya, demikian juga dilema antara tuntutan kesejahteraan dan peran kodratinya sebagai perempuan.

No comments:

Post a Comment