Demokrasi sering indah diucapkan, tetapi kecut dirasakan. Banyak yang tertipu karena tidak memahami hakikat demokrasi yang sesungguhnya. Ketika pemerintah memutuskan kenaikan harga BBM, apakah itu mencerminkan suara rakyat? Apakah wakil rakyat merupakan representasi dari suara rakyat? Sayangnya, TIDAK!. Tapi bukankah sistem demokrasi mengatakan berdasarkan suara mayoritas? Jika iya, seharusnya pemerintah tidak menaikkan harga BBM, tapi lagi-lagi, kebijakan diambil TANPA pernah melihat suara mayoritas rakyat (bukan wakil rakyat).
Jika ada yang mengatakan itu hanya orang nya yang salah menerapkan demokrasi, jika orangnya bener, pasti demokrasi terlaksana dengan semestinya dan sesuai amanah rakyat! Baiklah, mari kita tengok sejarah, asas, dan fakta penerapan demokrasi di berbagai Negara, adakah yang sesuai konsepsi awal? Ataukah ini sesungguhnya hanya sebuah ide yang ABSURD!
Sejarah dan Perkembangan Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari kata “demos” yang artinya rakyat dan “cratein” yang artinya pemerintah. Abraham Lincoln (1809-1865) mendefinisikan demokrasi sebagai “Government of the people” (suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat).
Kemunculan demokrasi terinspirasi fakta Negara kota (polis) di kota Athena, Yunani pada sekitar tahun 450 SM yang mempraktekkan pelibatan seluruh warga kota dalam proses pengambilan keputusan. Konsep Yunani kuno tersebut digali kembali di Eropa pada zaman “pencerahan/renaissance”, yakni era perlawanan terhadap kekuasaan gereja dan kaisar (pada zaman pertengahan) yang sarat dengan penimpangan dan penindasan terhadap rakyat dengan mengatasnamakan agama (gereja). Oleh karena itu, muncullah gerakan reformasi gereja yang menentang dominasi gereja, dan menghendaki disingkirkannya agama dari kehidupan, dan menuntut kebebasan. Puncaknya adalah Revolusi Perancis tahun 1789 yang berujung pada sekularisasi, yakni upaya kompromistik untuk memisahkan agama (gereja) dari masyarakat, Negara dan politik, bahwa agama (gereja) tak boleh lagi mengatur kehidupan publik, hanya ranah individu saja.
Pada masa itu, orang mencari suatu model agar kekuasaan tidak dimonopoli oleh satu orang, keluarga kerajaan, kaum bangsawan atau penguasa gereja. Ironinya, satu-satunya bahan yang tersedia bagi para pemikir di abad pertengahan adalah dari sejarah Yunani kuno yang dianggap sistem yang terbaik oleh mereka dan mempopulerkannya dengan nama “demokrasi”. Dari sini jelas, demokrasi demokrasi lahir dari rahim sekulerisme yang menolak campur tangan agama untuk mengatur seluruh aspek kehidupan, dan juga murni berasal dari rekacipta dan hawa nafsu manusia, bukan dari agama samawi manapun, apalagi Islam!.
Dalam perkembangannya, ide ini terlalu “utopis” untuk diwujudkan sesuai konsepsi awalnya, bahkan bergeser menjadi alat legitimasi para wakil rakyat (atas nama rakyat) untuk melegalisasi hukum sesuai kepentingan mereka. Istilah pemerintahan rakyat hanyalah jargon yang dipropagandakan untuk menipu rakyat agar mereka merasa ikut serta dalam menentukan arah pemerintahan dengan merasa telah “berpartisipasi” dalam mekanisme demokrasi (pemilu).
Asas Demokrasi
Menurut konsep dasar demokrasi, seluruh rakyat harus berkumpul di satu tempat umum dan mereka membuat aturan yang akan mereka terapkan, serta memberikan keputusan terhadap masalah yang perlu diselesaikan. Namun fakta yang berkembang karena rakyat tidak mungkin lagi dikumpulkan di satu tempat, maka dibentuklah legislatif, eksekutif dan yudikatif. Selanjutnya, agar rakyat dapat menjadi penguasa bagi dirinya sendiri (menentukan hukum) dan menjalankan kehendaknya secara sempurna (tanpa penentangan agama), maka kebebasan yang bersifat universal merupakan prinsip atau asas yang harus diwujudkan dalam sistem demokrasi, yang meliputi 4 aspek (HAM) yaitu :
- Kebebasan beragama
- Kebebasan berpendapat
- Kebebasan kepemilikan
- Kebebasan berperilaku
Dan akhirnya, atas nama HAM akhirnya semua orang bebas berbuat semaunya, homo, lesbi, waria, prostitusi, pornografi, penyimpangan dan penodaan agama, penguasaan sektor-sektor publik oleh individu, marak terjadi.
Fakta Penerapan Demokrasi
Kepala Negara dan anggota parlemen yang diklaim dipilih oleh mayoritas rakyat sejatinya tidak sesuai dengan fakta yang sesungguhnya. Di Indonesia sendiri bisa dilihat pada kasus pilkada, pemilihan anggota DPR dan pesiden beberapa waktu lalu. Hasil tersebut memperlihatkan mereka lolos hanya karena suaranya menang diantara para calon yang lain, bukan karena kehendak mayoritas rakyat, belum lagi jika terjadi kecurangan disana-sini. Bahkan pemilihan presidenpun memperlihatkan MAYORITAS rakyat tidak menghendakinya, terbukti angka golput yang mencapai hingga 40%.
Di Amerika sendiri yang meupakan dedengkotnya demokrasi, pendukung utama partai penguasa parlemen adalah para pemilik modal yang notabene dikuasai oleh Yahudi. Para pemilik modal akan membiayai seluruh atribut pencalonan hingga berhasil terpilih, walhasil kebijakan yang diambilpun kebijakan yang sarat kepentingan para kapital (Yahudi). Apakah penyerangan ke Afganistan paska tagedi WTC adalah keinginan mayoritas rakyat Amerika? Apakah mayoritas rakyat Amerika menyetujui pengiriman pasukan ke Irak? Apakah mayoritas rakyat Amerika menyetujui penjajahan Israel atas Palestina? TIDAK, tapi selama itu sesuai dengan kepentingan para pemilik modal, kebijakan itu akan tetap diambil.
Di Inggris yang berkuasa adalah orang-orang dari partai konservatif yang mewakili para konglomerat, pengusaha, tuan tanah dan aistokrat. Partai buruh tidak dapat menduduki pemerintahan kecuali jika ada kondisi politis yang mengharuskan tersingkirnya partai konservatif dari pemerintahan.
Di negeri-negeri muslim lebih parah lagi. Parlemen Yordania yang dipilih dengan slogan “Mengembalikan demokasi dan mewujudkan kebebasan”, ternyata tidak berani mengkritik raja Husein maupun pemerintahannya, padahal saat itu mereka mengetahui kebobrokan rezim keluarga kerajaan. Pemerintahan negeri-negeri Arab tak berani menentang penjajahan Israel bahkan merelakan pangkalan militernya untuk digunakan membantai saudara mereka sendiri, dan rakyat yang menentang kebijakan kerajaan Saud akan dibungkam! Dan kasus yang terakhir bagaimana pemerintahan Mesir dengan pongahnya menyetujui pembangunan tembok baja yang memasung dan memenjara Gaza, saudara sesama muslim! Padahal rakyat Mesir sendiri menolak! Sungguh menyedihkan !
Untuk memperjuangkan kepentingan ideologi kapitalismenya, mereka menjadikan demokrasi sebagai standar, persepsi serta keyakinan yang berlaku di segala aspek kehidupan. Untuk itu Negara kapitalis seperti AS melakukan internasionalisasi ideologi sebagai asas interaksi dan UU Internasional, yang kemudian membentuk PBB dengan hak vetonya, dan inilah yang selanjutnya menjadi ALAT PALING AMPUH untuk melegitimasi seluruh kebijakan internasionalnya!
Sumber :
- Ad-Dimukratiyah Nizham al-Kufr. Abdul Qadim Zallum. 1990. Pustaka Thariqul Izzah
- Menggugat Demokrasi. Mujiyanto. Al-Wa’ie No 104 Tahun IX, April 2009
- Islam Menolak Demokrasi. Luthfi Affandi. Al-Wa’ie No 104 Tahun IX, April 2009