Wednesday, August 18, 2010

Hidup harus memilih


Setiap individu ini harus melakukan pilihan. Pilihan itulah yang nantinya akan mendasari seluruh proses kehidupannya. Tidak seorang muslim atau mukmin pun yang dalam posisi tidak memilih. Ia harus menentukan pilihannya. Dan, atas pilihannya itulah, yang akan menentukan nasib manusia, kelak ketika ia sudah meninggalkan dunia yang fana ini. Manusia akan mendapatkan ‘reward’ dan ‘punishment’ oleh Allah Azza Wa Jalla berdasarkan keputusan dalam menentukan pilihannya itu.

Kehidupan ini telah memberi pelajaran yang konkrit dan jelas, terutama bagi manusia yang senantiasa mahu berfikir, khususnya berkenaan fenomena alam semesta. Seperti pergantian waktu. Ada waktu siang yang terang, dan ada waktu malam yang gelap. Ada terang kerana sinar matahari, dan ada gelap ketika matahari sirna oleh datangnya malam. Secara tabiinya, ketika datangnya fajar di pagi hari itulah, yang dinamakan datangnya kehidupan yang selalu dimulai dengan mengingat Allah Ta’ala melalui takbir, tahlil dan tahmid. Manusia melangsungkan kehidupan dan beraktiviti, ketika ada sinar (cahaya), dan adanya sinar ini, alam menjadi terang. Manusia di malam yang gelap dapat melakukan berbagai aktiviti, tetapi ia sangat terbatas, dan tetap saja memerlukan sinar cahaya.

Dalam kehidupan ini ada berbagai pilihan. Ada al-haq dan al-bathil. Ada kafir ada mukmin. Ada amanah dan khianat. Ada siddiq ada kadzib (dusta). Ada halal dan haram. Ada baik ada buruk. Ada hizbullah dan hizbussyaithon. Terdapat banyak lagi ragam karakter di dalam kehidupan ini yang dapat kita ambil sebagai ibroh (pelajaran) dalam kehidupan. Ada kikir, tamak, dan orientasi hidupnya hanya berdasarkan syahwat, dan kenikmatan dunia. Tapi ada pula jenis manusia yang tidak tamak, dan zuhud terhadap kehidupan dunia, serta bersikap hati-hati. Walhasil dari semua itu, manusia harus memilih di antara yang ada dalam kehidupan.

Allah Ta’la berfirman:

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (TQS Al-Baqarah[2]: 256)

Jadi, manusia diberi kebebasan oleh Allah SWT untuk memilih sesuai dengan pemahaman tentang realiti kehidupan ini, dan menentukan pilihannya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Tapi, setiap pilihan akan mempunyai implikasi bagi kehidupannya. Tak ada pilihan yang bersifat neutral bagi manusia. Ia harus menegaskan posisinya ketika berada di dunia ini. Ini kerana, ketika manusia telah menentukan pilihan dan menetapkan posisinya, maka keputusannya menentukan ‘jaza’ (balasan) di akhirat kelak.

Secara eksplisitnya, Allah SWT berfirman:

Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (TQS Al-Baqarah[2]: 257)

Jadi, ayat di atas menjelaskan tentang posisi pilihan manusia, yang mukmin dan yang kafir. Seperti halnya Nabi Allah Ibrahim a.s yang melakukan pilihan yang sangat fundamental dalam kehidupannya. Apakah ia tetap bersama para penyembah patung? Atau meninggalkan para penyembah patung, sekali gus hanya beribadah kepada Allah SWT. Nabi Allah Ibrahim a.s juga harus memilih sama ada bersama ayahnya (Azhar) yang masih menyembah patung, atau meninggalkan ayahnya. Lantas Nabi Ibrahim a.s memilih untuk meninggalkan ayahnya yang mencintai patung, sebagi bentuk kemusyrikan, dan menderhakai Allah SWT. Patung tidak dapat meninggikan derajat manusia, dan tidak layak sebagai bentuk ibadah bagi umat manusia.

Manusia harus meninggalkan ‘ilah-ilah’ (tuhan-tuhan), dan hanya memilih Allah Azza Wa Jalla sebagai Tuhannya. Pengakuan “La ilaha illa-llah”, pasti akan membuat manusia memiliki posisi yang jelas bagi kehidupannya. Bukan mengabdi kepada ‘ilah-ilah’ yang sesungguhnya sangatlah lemah, dan tidak memiliki sebarang kemampuan bagi kehidupan manusia. Maka, memilih dan hanya mengabdi kepada Allah Ta’ala itu, akhirnya dapat membebaskan manusia dari penghambaan kepada manusia lainnya.

Manusia yang sudah memilih Allah SWT sebagai tujuan akhir kehidupannya, maka ia akan terbebas dari segala bentuk penghambaan, dan akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki. Kehidupan mereka tidak lagi dieksploitasi oleh ‘ilah-ilah’ yang bersifat duniawi sekali gus makhluk lemah yang tidak mampu berbuat apa-apa. Seharusnya orientasi kehidupan manusia perlu diarahkan untuk memilih kepada al-haq, bukan kepada al-bathil. Bukan memilih benda-benda yang menyesatkan dan menjerumuskan manusia ke dalam kancah yang celaka dan hina.

Jadi, kewajiban kita bukan memilih rekayasa manusia, yang nisbi, relatif dan terbatas oleh ruang dan waktu. Bahkan semua itu penuh dengan kepalsuan, kekotoran, dan kebohongan yang hanya berorientasi kepada hawa nafsu belaka. Manusia harus memilih segala kehidupan yang didasari oleh nilai-nilai Ilahiyah yang dapat menyelamatkan umat manusia kelak ketika hari pembalasan tiba. Jangan sampai pilihan yang kita lakukan justeru membuat diri kita menjadi hina di hadapan Allah SWT. Kita berharap dan berdoa agar kita mendapatkan kemuliaan di sisi-Nya, dan kita meninggalkan dunia yang fana ini dalam keadaan yang husnul khotimah. Ameen.

Wallahu ‘alam…

No comments:

Post a Comment