Terus
terang, sebelumnya sangat minim pengalaman yang berkaitan dengan permasalahan keluarga, apalagi permasalahan suami istri, karena memang belum menikah
:) biasanya berkutat dengan masalah kampus. Namun beginilah katika berada di
tengah masyarakat, membina dan berinteraksi dengan para muslimah yang sudah
menikah, permasalahannya pun akan menjadi permasalahan kita, ujiannya pun
menjadi ujian kita, bebannya juga menjadi beban kita. Semoga Alloh berkenan
melapangkan.
++++++
2. Perbedaan pandangan
hidup
Permasalahan
kedua yang kerapkali menjadi keluhan adalah perbedaan pandangan hidup. Hal ini
muncul saat salah satu nya baik itu suami/istri belum mengkaji islam. Dampaknya
memunculkan banyak sekali perselisihan. Misal, permasalahan menyangkut riba.
Istri yang sudah mengkaji Islam dan memahami bahwa riba hukumnya haram pasti
akan berusaha untuk tidak bertransaksi dengan hal-hal yang berbau ribawi, namun
ternyata suami belum mengkaji islam
secara
intensif sehingga tetap ‘ngotot’ untuk meminjam uang di bank yang kta tau bahwa
pinjaman uang tidak luput dari yang namanya bunga (riba). Suami sebagai qowwam (pemimpin) merasa harus
dipatuhi, nafkah yang diberikan akhirnya terkontaminasi dengan riba. Ada
ketidakridhoan dari istri sehingga Perbedaan pemahaman ini kian menjadi masalah
yang berlarut-larut dan memunculkan pertikaian, bahkan parahnya ada satu kasus
dimana suami yang merasa tidak didukung istrinya untuk meminjam uang di bank
akhirnya memutuskan untuk tidak menafkahi istrinya lagi, fokus suami hanya
mengumpulkan uang kembali dan membayar hutang, tugas istri mencari uang untuk
kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah anak, dll.
Kalu
ditilik lebih jauh, perbedaan pemahaman akan muncul jika kewajiban mengkaji
islam dikesampingkan, jika kedua belah pihak menyadari dan menginginkan
keluarga nya sakinah, maka keduanya wajib mengkaji islam, hingga pemahaman yang
diyakini sama. Hal tersebut haruslah menjadi komitmen pranikah, sungguh tepat
kata-kata yang disampaikan oleh seorang yang sholih/ah : ‘sesungguhnya aku
mencintai dan menikahimu adalah karena agama yang ada padamu, jikalau agama itu
hilang maka hilang pula cinta ini’.
Bagaimana
sikap yang harus diambil dalam menghadapi masalah ini?
Jika
suami melakukan dosa kecil atau malas dalam melakukan kebaikan maka hendaknya
ia bersabar dengan menasihatinya sesuai kemampuan, dan selalu berdoa kepada
Alloh Ta’ala agar memberinya hidayah. Akan tetapi jika maksiat yang dilakukan
termauk dosa besar misal perkara riba, maka hendaknya ia mengambil
langkah-langkah berikut ini:
1.
Menasihatinya dengan cara yang bijak. Sementara itu ia selalu berdoa agar suami/istrinya
dapat kembali ke jalan yang lurus. Dan cara ini hendaknya ditempuh dengan sabar
(tidak terburu-buru), karena bagaimana pun rahasia keluarga hendaknya tidak
bocor kepada pihak ketiga. Kecuali jika perbuatan dosa ini merupakan perbuatan
fakhisyah (perbuatan keji yang menjijikkan).
2.
Langkah kedua, Jika dengan cara pertama tidak mempan, atau bahkan terjadi
keributan, atau perbuatan istri/suami adalah dosa yang sangat keji, maka ia
meminta bantuan pihak ketiga, yaitu orang tua atau saudaranya yang ia segani.
Diharapkan dengan ini akan berubah dengan nasihat dari keluarga dan kerabat
sendiri tanpa melibatkan orang jauh. Namun jika ia tidak mendapatkannya pada
keluarga, maka istri/suami boleh melibatkan orang lain yang dihormati dalam
urusan agama.
3.
Apabila suami tetap tidak berubah maka jalan yang terakhir adalah meminta cerai
(khulu’); yakni apabila dosa besar yang dilakukannya adalah dosa yang sangat
berpengaruh pada agama istri. Namun jika dosa itu hanya kembali pengaruhnya
kepada suami saja maka hendaknya istri bersabar dan terus berusaha semampunya
untuk menasihati, walaupun boleh baginya meminta cerai. Sebagaimana disebutkan
dalam hadits,
Dari
Tsauban semoga Alloh meridhainya berkata, “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa
sallam- bersabda,’Wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa
alasan syar’i maka haram baginya bau surga.’” [Riwayat Abu Dawud no. 2228,
at-Tirmidzi No. 1187. Hadis ini dishahihkan oleh al-Albani dalam ta’liq-nya]
4.
Apabila dosa tersebut merupakan perbuatan syirik akbar atau kekufuran dan istri
atau suami tidak mau tobat dari perbuatan tersebut dan telah iqamatul hujah,
maka wajib bagi istri bercerai dengan suami. Hal ini sebagaimana firman Alloh
Ta’ala : ‘Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka.
Alloh lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui
bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada
(suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang
kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan
berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan
tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya.
Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu
bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah
hukum Alloh yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Alloh Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana [al-Mumtahanah: 10 ]
Kesimpulan yang dapat kita petik
adalah:
1.
Suami adalah pemimpin keluarga maka hendaknya ia mengemban amanah ini dengan
baik, karena ia akan ditanya tentang kepemimpinannya di hari kiamat. Dalam
sebuah hadis disebutkan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Dari Ibnu
Umar – semoga Allah meridhainya – berkata, “Aku mendengar Rasulullah
-shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, ‘Setiap kalian pemimpin dan akan
dimintai tanggung jawab tentang apa yang ia pimpin, dan imam (umaro’) adalah
pemimpin dan akan dimintai tanggung jawab tentang rakyatnya, dan seorang laki
laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia akan dimintai tanggung jawab
tentang apa yang ia pimpin, dan seoarang perempuan di rumah suaminya adalah
pemimpin dan ia akan dimintai tanggung jawab tentang apa yang ia pimpin…’”
[Riwayat Bukhari No. 2751. Muslim No. 4828]
2.
Istri yang shalihah adalah istri yang dapat menyimpan rahasia suaminya. Kecuali
jika keadaan memaksanya untuk menceritakan kepada orang lain. Hal ini seperti
yang dilakukan oleh shahabiyah Hindun yang mengadukan kebakhilan suaminya
kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
3.
Seorang istri hendaknya banyak berintrospeksi diri tentang kondisi agamanya
seta ketaatannya kepada suami, sehingga kenapa suami dapat berbuat demikian,
karena bisa jadi kesalahan yang sama terjadi pada istri, maka akan sangat sulit
perubahan dalam rumah tangga menuju ke arah positif.
4.
Permintaan cerai adalah jalan terakhir yang ditempuh seorang istri dalam
menghadapi suami yang tidak dapat dijadikan imam oleh sebab kedurhakaannya
kepada Alloh Ta’ala.
Semoga
ulasan sederhana ini dapat menjadi pertimbangan dalam memecahkan masalah yang
serupa di saat mengguncang keutuhan rumah tangga. Allohu’alam bishowab..
No comments:
Post a Comment