Wednesday, April 16, 2014

Manage #2

Terus terang, sebelumnya sangat minim pengalaman yang berkaitan dengan permasalahan keluarga, apalagi permasalahan suami istri, karena memang belum menikah :) biasanya berkutat dengan masalah kampus. Namun beginilah katika berada di tengah masyarakat, membina dan berinteraksi dengan para muslimah yang sudah menikah, permasalahannya pun akan menjadi permasalahan kita, ujiannya pun menjadi ujian kita, bebannya juga menjadi beban kita. Semoga Alloh berkenan melapangkan.
++++++
2. Perbedaan pandangan hidup
Permasalahan kedua yang kerapkali menjadi keluhan adalah perbedaan pandangan hidup. Hal ini muncul saat salah satu nya baik itu suami/istri belum mengkaji islam. Dampaknya memunculkan banyak sekali perselisihan. Misal, permasalahan menyangkut riba. Istri yang sudah mengkaji Islam dan memahami bahwa riba hukumnya haram pasti akan berusaha untuk tidak bertransaksi dengan hal-hal yang berbau ribawi, namun ternyata suami belum mengkaji islam
secara intensif sehingga tetap ‘ngotot’ untuk meminjam uang di bank yang kta tau bahwa pinjaman uang tidak luput dari yang namanya bunga (riba).  Suami sebagai qowwam (pemimpin) merasa harus dipatuhi, nafkah yang diberikan akhirnya terkontaminasi dengan riba. Ada ketidakridhoan dari istri sehingga Perbedaan pemahaman ini kian menjadi masalah yang berlarut-larut dan memunculkan pertikaian, bahkan parahnya ada satu kasus dimana suami yang merasa tidak didukung istrinya untuk meminjam uang di bank akhirnya memutuskan untuk tidak menafkahi istrinya lagi, fokus suami hanya mengumpulkan uang kembali dan membayar hutang, tugas istri mencari uang untuk kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah anak, dll. 
Kalu ditilik lebih jauh, perbedaan pemahaman akan muncul jika kewajiban mengkaji islam dikesampingkan, jika kedua belah pihak menyadari dan menginginkan keluarga nya sakinah, maka keduanya wajib mengkaji islam, hingga pemahaman yang diyakini sama. Hal tersebut haruslah menjadi komitmen pranikah, sungguh tepat kata-kata yang disampaikan oleh seorang yang sholih/ah : ‘sesungguhnya aku mencintai dan menikahimu adalah karena agama yang ada padamu, jikalau agama itu hilang maka hilang pula cinta ini’.
Bagaimana sikap yang harus diambil dalam menghadapi masalah ini?
Jika suami melakukan dosa kecil atau malas dalam melakukan kebaikan maka hendaknya ia bersabar dengan menasihatinya sesuai kemampuan, dan selalu berdoa kepada Alloh Ta’ala agar memberinya hidayah. Akan tetapi jika maksiat yang dilakukan termauk dosa besar misal perkara riba, maka hendaknya ia mengambil langkah-langkah berikut ini:
1. Menasihatinya dengan cara yang bijak. Sementara itu ia selalu berdoa agar suami/istrinya dapat kembali ke jalan yang lurus. Dan cara ini hendaknya ditempuh dengan sabar (tidak terburu-buru), karena bagaimana pun rahasia keluarga hendaknya tidak bocor kepada pihak ketiga. Kecuali jika perbuatan dosa ini merupakan perbuatan fakhisyah (perbuatan keji yang menjijikkan).
2. Langkah kedua, Jika dengan cara pertama tidak mempan, atau bahkan terjadi keributan, atau perbuatan istri/suami adalah dosa yang sangat keji, maka ia meminta bantuan pihak ketiga, yaitu orang tua atau saudaranya yang ia segani. Diharapkan dengan ini akan berubah dengan nasihat dari keluarga dan kerabat sendiri tanpa melibatkan orang jauh. Namun jika ia tidak mendapatkannya pada keluarga, maka istri/suami boleh melibatkan orang lain yang dihormati dalam urusan agama.
3. Apabila suami tetap tidak berubah maka jalan yang terakhir adalah meminta cerai (khulu’); yakni apabila dosa besar yang dilakukannya adalah dosa yang sangat berpengaruh pada agama istri. Namun jika dosa itu hanya kembali pengaruhnya kepada suami saja maka hendaknya istri bersabar dan terus berusaha semampunya untuk menasihati, walaupun boleh baginya meminta cerai. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
Dari Tsauban semoga Alloh meridhainya berkata, “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,’Wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan syar’i maka haram baginya bau surga.’” [Riwayat Abu Dawud no. 2228, at-Tirmidzi No. 1187. Hadis ini dishahihkan oleh al-Albani dalam ta’liq-nya]
4. Apabila dosa tersebut merupakan perbuatan syirik akbar atau kekufuran dan istri atau suami tidak mau tobat dari perbuatan tersebut dan telah iqamatul hujah, maka wajib bagi istri bercerai dengan suami. Hal ini sebagaimana firman Alloh Ta’ala : ‘Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Alloh lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Alloh yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Alloh Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana [al-Mumtahanah: 10 ]
Kesimpulan yang dapat kita petik adalah:
1. Suami adalah pemimpin keluarga maka hendaknya ia mengemban amanah ini dengan baik, karena ia akan ditanya tentang kepemimpinannya di hari kiamat. Dalam sebuah hadis disebutkan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Dari Ibnu Umar – semoga Allah meridhainya – berkata, “Aku mendengar Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, ‘Setiap kalian pemimpin dan akan dimintai tanggung jawab tentang apa yang ia pimpin, dan imam (umaro’) adalah pemimpin dan akan dimintai tanggung jawab tentang rakyatnya, dan seorang laki laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia akan dimintai tanggung jawab tentang apa yang ia pimpin, dan seoarang perempuan di rumah suaminya adalah pemimpin dan ia akan dimintai tanggung jawab tentang apa yang ia pimpin…’” [Riwayat Bukhari No. 2751. Muslim No. 4828]
2. Istri yang shalihah adalah istri yang dapat menyimpan rahasia suaminya. Kecuali jika keadaan memaksanya untuk menceritakan kepada orang lain. Hal ini seperti yang dilakukan oleh shahabiyah Hindun yang mengadukan kebakhilan suaminya kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
3. Seorang istri hendaknya banyak berintrospeksi diri tentang kondisi agamanya seta ketaatannya kepada suami, sehingga kenapa suami dapat berbuat demikian, karena bisa jadi kesalahan yang sama terjadi pada istri, maka akan sangat sulit perubahan dalam rumah tangga menuju ke arah positif.
4. Permintaan cerai adalah jalan terakhir yang ditempuh seorang istri dalam menghadapi suami yang tidak dapat dijadikan imam oleh sebab kedurhakaannya kepada Alloh Ta’ala.
Semoga ulasan sederhana ini dapat menjadi pertimbangan dalam memecahkan masalah yang serupa di saat mengguncang keutuhan rumah tangga. Allohu’alam bishowab..

No comments:

Post a Comment